Binaan CSR Semen Padang, Pemilik Konveksi Ini Menjadi Miliuner

Anasril bersama usaha konveksinya. (Foto: Istimewa)

PADANGKegagalan adalah keberhasilan tertunda. Pribahasa itu sepantun benar dengan perjalanan sukses Anasrizal, pelaku Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) yang mendapat pinjaman modal usaha melalui Program Kemitraan Corporate Social Responsibility (CSR) PT Semen Padang yang sukses melakoni usaha konveksi tas di Kota Padang.

Meski berulang kali gagal memajukan usaha konveksinya, namun pria asal Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat itu tak kenal kata menyerah. Kini, pemilik usaha konveksi dengan nama Tas Baceno itu, telah memiliki aset hingga mencapai miliaran rupiah.

“Semua aset itu merupakan buah dari kerja keras saya selama 32 tahun. Tak mudah untuk mendapatkannya, berbagai cobaan saya lalui. Jatuh bangun saya memulai usaha konveksi tas ini,” kata Anasrizal ketika ditemui di tempat usaha konveksinya, Jalan Juanda No. 51 Padang, Rabu (30/9/2020).

Sebelum menjadi pengusaha yang terbilang cukup sukses di bidang konveksi, suami dari Yusni Mardalena (57) itu sempat bekerja dengan kakak kandungnya yang juga pengusaha konveksi di kawasan Ulak Karang Padang selama 10 tahun, yaitu sejak 1978-1988.

Waktu satu dekade bekerja menjadi anak buah dari saudaranya sendiri, kemampuan Anasrizal membuat tas kian terasah, hingga akhirnya di penghujung 1987, timbulah keinginan untuk merintis usaha konveksi sendiri.

Selain dorongan dari sang kakak dan istri, keinginan untuk mandiri juga tak lepas dari semakin tingginya kebutuhan ekonomi, apalagi ketika itu dirinya sudah berkeluarga dan punya tiga orang anak. Tentunya, ia pun membutuhkan pendapatan yang lebih.

Untuk itu, ia pun mulai menyisihkan pendapatannya sedikit demi sedikit hingga akhirnya di pertengahan 1989, tabungannya pun mencapai Rp175 ribu. Uang sebesar itu, kata Anasrizal, nilainya cukup besar ketika dan cukup untuk memulai usaha konveksi dengan skala kecil.

Anasrizal kemudian menyewa sepetak rumah di Jalan Bahari, Kampuang Tangah, Ulak Karang, yang dijadikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha konveksi. Selain uang tersebut digunakan untuk menyewa rumah kontrakan, sebagian uang itu juga dipergunakan untuk membeli bahan baku pembuatan tas seperti terpal.

“Untuk mesin jahit ketika itu saya sudah punya. Saya beli ketika masih bekerja di tempat konveksi kakak saya. Untuk tipe mesinnya masih “dangdut”, yaitu digerakkan dengan menggoyangkan kaki,” ungkapnya.
Meski sudah memproduksi tas sendiri, ternyata tak mudah untuk memasarkannya. Bahkan ketika dijual ke Pasar Raya Padang, tak satu pun ada toko tas yang berminat. Berbagai alasan secara halus, diungkapkan pemilik toko untuk menolak tas yang diproduksinya.

Kendati semua toko tas menolak, Anasrizal tak langsung menyerah. Saban hari dia terus mendatangi satu persatu toko tas yang ada di kawasan Pasar Raya Padang. Namun sayangnya, hasilnya di luar dugaan. Semua toko menolak membeli tas yang ia produksi, termasuk beberapa toko langganan kakaknya.

Keesokan harinya, Anasrizal kembali mendatangi beberapa toko tas di lokasi yang sama. Salah satunya, toko tas di Pasar Fase VII yang berada di kompleks pertokoan Padang Theater. Kedatangannya kala itu, katanya mengenang, penuh dengan harapan, apalagi saat itu Ia butuh uang untuk biaya makan keluarga.

“Karena butuh biaya untuk makan, saya tawarkan dengan harga murah, satu lusin itu Rp50 ribu dan ada lima lusin yang saya punya. Pemilik toko berminat. Dari Rp50 ribu per lusin itu, saya dapat Rp2000 untuk satu tas. Itu hanya upah dan bukan untung,” kata bapak tujuh orang anak itu mengenang.

Setelah semua tas habis dijual, dia pulang ke rumah dengan langkah lunglai. Sepanjang perjalanan dari pasar ke rumah, Ia pun terus merenung nasib yang tak kunjung berubah, meskipun sudah memulai usaha konveksi sendiri.

Setiba di rumah, Anasrizal mengatakan kepada istrinya untuk kembali bekerja di tempat usaha konveksi kakaknya, karena merintis usaha sendiri itu ternyata sagat susah dan butuh perjuangan yang begitu sulit dilalui. Namun istrinya menolak dan meminta dirinya untuk terus lebih berusaha lagi.

Bahkan istrinya juga marah mendengar adanya keinginan untuk kembali menjadi anak buah di tempat konveksi, meskipun konveksi tersebut miik kakaknya.

Mendengar apa yang disampaikan istrinya, Anasrizal pun kembali bangkit, apalagi ketika itu istri saya juga ikut membantu mencarikan langganan tas di Pasar Raya Padang. Usaha istri mencari langganan pun membuahkan hasil. Usaha konveksinya pun perlahan-lahan mulai bangkit.

Meski tak berkembang, tapi sebagian dari hasil usaha tersebut dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun di pertengahan 1989, usaha yang baru mulai bangkit itu kembali diterpa persoalan pendapatan yang tak sesuai dengan kebutuhan, hingga akhirnya Anasrizal terpaksa menjadi pelaku usaha konveksi musiman.

Sebelum usaha konveksinya besar seperti sekarang ini, Anasrizal sudah empat kali jatuh bangun. Penyebabnya, selain tidak punya modal yang cukup besar, persaingan pasar ketika itu juga sulit. Bahkan tak mudah untuk meraih simpati pemilik toko yang mau menampung tas yang diproduksi.

Merasa tak ada kemajuan, akhir 1997 ia pun pindah ke Jalan Veteran. Aura usaha pun mulai bersinar di tempat yang baru. Bahkan, satu persatu pelanggan didapat.

Namun, keuntungan yang didapat hanya cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari, dan belum bisa digunakan untuk menambah modal usaha. Tak sampai satu tahun lamanya di tempat yang baru, tawaran dari sebuah distributor tas di Pasar Raya Padang datang dan mereka siap mendukung semua kebutuhan bahan baku untuk membuat tas, asalkan semua tas yang diproduksi harus dijual kepada distributor tersebut.

Tawaran tersebut langsung diterima Anasrizal dengan senang hati. “Tapi untungnya kecil, karena semua kebutuhan seperti bahan baku untuk tas itu harganya naik 5 persen untuk 1 bulan. Meski begitu, saya gak pikir panjang menerima tawaran tersebut. Namanya merintis harus seperti itu,” bebernya.

Jadi Mitra Binaan CSR Semen Padang
Usaha Anasrizal untuk merintis konveksi tas terus menampakkan hasil. Bahkan, Ia terus intens mencari pinjaman modal usaha kepada berbagai bank. Namun karena prosesnya cukup rumit, keinginan untuk mendapatkan pinjaman itu gagal, hingga akhirnya di tahun 2003, dia mendapat informasi adanya pinjaman lunak dari Semen Padang.

Namun ketika itu, Ia tidak tahu bagaimana caranya, dan tak tahu kemana dan kepada siapa bertanya tentang pinjaman lunak tersebut. Bahkan beberapa pelaku usaha yang mengaku mendapat pinjaman modal dari Semen Padang, juga enggan menunjukkan bagaimana proses peminjamannya.

Meski begitu, yang namanya rezeki sudah ada yang mengatur. Di awal tahun 2004, Anasrizal bertemu denan seorang karyawan PT Semen Padang yang sudah pensiun beberapa tahun lalu. Namanya Syafrizal, dan dia merupakan teman sekolah adiknya.

Anasrizal kemudian menanyakan kepada Syafrizal kerjanya di mana. Kemudian dia jawab di Semen Padang, sehingga dirinya langsung menanyakan soal program pinjaman lunak di Semen Padang. Gayung pun bersambut, ternyata Syafrizal merupakan orang yang tepat di saat dirinya sedang membutuhkan bantuan pinjaman lunak untuk memodali usahanya.

“Pinjaman lunak di Semen Padang itu ternyata bagian dari pekerjaan Syafrizal. Dengan senang hati, Syafrizal langsung membantu saya, termasuk membantu membuatkan surat permohonan pinjaman modal usaha ke Semen Padang,” katanya.

Sejak 2004 hingga sekarang, sudah lima kali Anasrizal mendapatkan pinjaman modal usaha dari CSR Semen Padang. Pada pinjaman pertama tahun 2004, yaitu sebesar Rp7 juta dengan lama cicilannya 2 tahun. Semua pinjaman itu dimanfaatkannya untuk beli bahan tas.

Begitu modal usaha sudah ada, hubungan Anasrizal dengan distributor tas di Pasar Raya pun juga berakhir. Namun di balik itu, pesanan pembuatan tas untuk seminar dari berbagai instansi pun mulai meningkat dan sejalan dengan pendapatannya, sehingga tak butuh waktu 2 tahun bagi Anasrizal untuk melunasi pinjaman ke CSR Semen Padang.

“Hanya dalam waktu 19 bulan saya bisa melunasinya. Begitu lunas, saya pun kembali mengajukan pinjaman untuk periode kedua dengan besar modal yang dipinjaman CSR Semen Padang lebih dari dua kali lipat dengan pinjaman pertama, yaitu sebesar Rp15 juta. Kata pihak CSR Semen Padang ketika itu, saya bisa dapat pinjaman modal Rp15 juta, karena grafik usaha saya cukup bagus. Saya pun senang ketika itu,” bebernya.

Seiring pendapatan meningkat dan bertamabahnya jumlah pinjaman, usahanya kian berkembang dan pesanan dari berbagai intansi dan toko tas pun juga meningkat. Bahkan, ketika itu Ia pun sudah bisa mempekerjakan tiga orang karyawan dengan keuntungan bersih Rp3 juta sebulan.

Padahal sebelum dapat pinjaman dari CSR semen Padang, rata-rata keuntungan hanya cukup untuk makan, yaitu di kisaran Rp1,5 juta per bulan.

Tak puas dengan perkembangan usahanya yang terus menanjak, Anasrizal kemudian kembali mengajukan pinjaman ke CSR Semen Padang untuk ketiga kalinya. Bahkan pada pinjaman ke tiga tersebut, jumlahnya mencapai Rp30 juta. Setelah lunas, ia pun kembali mengajukan pinjaman sebesar Rp40 juta dan Rp50 juta untuk tahap kelima.

Uang dari pinjaman itu kemudian dibelikannya ke mesin jahit sebanyak tiga unit dengan merek Brader dan Tipical yang merupakan mesin jahit kualitas bagus. Sedangkan sisanya, digunakan untuk membeli bahan tas. “Semua pinjaman saya gunakan untuk mengembangkan usaha. Bahkan tak ada satu persen pun yang digunakan untuk biaya makan,” bebernya.

Sering bertambahnya pinjaman, jumlah pekerja pun juga ikut bertambah. Bahkan saat ini jumlah tenaga kerja di konveski milik Anasrizal itu berjumlah 10 orang. Semua pekerjanya merupakan orang kampungnya di Sungai Limau. Untuk pendapatan bersih dari usaha konveksi ini, rata-rata Rp10 juta per bulan. (*)

Penulis: Obrin
Editor: Boy Surya Hamta

Exit mobile version