Inilah Bukittinggi, Bekas Ibukota Indonesia Dikenal Lewat Jam Gadang

Jam Gadang yang ada di Bukittinggi, Sumbar. (Foto: Tempo)

BUKITTINGGI-Seandainya tak ada pandemi Covid-19, maka rencana pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Tengah tentu sudah memperlihatkan kemajuan. Namun, fokus pemerintah kini tentu saja untuk mencegah corona virus tak meluas dan sejenak lupa memikirkan ibukota baru.

Perpindahan ibu kota Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru. Faktanya, ibu kota Indonesia sudah beberapa kali berpindah dari Jakarta. Dengan alasan keterpaksaan dan mengamankan eksistensi pemerintah, Jakarta sempat tercerabut dari statusnya sebagai ibu kota RI meski hanya untuk sementara.

Pertama kali ibukota pindah saat keamanan Jakarta terancam akibat ulah Belanda yang kembali datang ke Indonesia membonceng Sekutu. 29 September 1945, Belanda berhasil menduduki Jakarta. Situasi ini membuat eksistensi pemerintah Indonesia di mata dunia internasional menjadi lemah.

Karena itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII pada 2 Januari 1946 mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar Ibu Kota pindah ke Yogyakarta. Tawaran ini diterima Presiden Sukarno.

Pada 3 Januari 1946 jelang tengah malam, sebuah gerbong kereta yang ditarik dengan lokomotif uap C.2809 dan dimatikan lampunya berhenti di belakang rumah Sukarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (Menteng).

Pada 4 Januari dinihari, kereta api tersebut membawa Sukarno dan rombongan ke Yogyakarta di malam buta. Semua penumpang diliputi ketegangan hingga akhirnya tiba dengan selamat di Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Pada hari kedatangan Sukarno itu, ibu kota NKRI secara resmi pindah ke Yogyakarta dan Presiden Sukarno mulai berkantor di Gedung Agung atau Istana Yogyakarta.

Namun, posisi Yogyakarta tak sepenuhnya selalu aman. Belanda tetap berupaya untuk melumpuhkan pemerintah dengan cara menangkap pemimpin republik. Karena itu, pada akhir 1948 Belanda kembali melancarkan agresi keduanya dengan menyerang Yogyakarta.

Dalam waktu sekejap ibu kota RI itu jatuh dan dikuasai Belanda. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang ketika itu berdomisili di Yogyakarta untuk mengendalikan pemerintahan ditangkap dan diasingkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *