Remaja Ini Terjerumus ke Lembah Prostitusi, Sehari Layani 5 Pria

Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

DEPOK-Sepintas tentu orang tidak akan menyangka bila tempat itu merupakan tempat menjalankan bisnis esek-esek. Sejumlah wanita menyewa kamar kontrakan berukuran 4 x 4 meter di kawasan Grogol, Limo, Kota Depok, Jawa Barat.

Di tempat itu, para wanita ini menjalankan praktik prostitusi. Seorang wanita berusia 18 tahun, Leida (bukan nama sebenarnya) mengaku bisa melayani 4 sampai 5 pria hidung belang dalam sehari.

Tarifnya Rp300.000 untuk satu jam pelayanan. Baru satu tahun, wanita berambut sebahu, berkulit cokelat, berwajah tirus, setinggi kurang lebih 165 sentimeter ini menjajakan dirinya di dunia prostitusi.

Awalnya, Leida mengaku diajak teman sehingga bisa terjerumus ke pekerjaan ini. “Baru setahun, diajak teman sih awalnya,” cerita Leida dilansir TribunJakarta.com, Senin malam.

Jarak jalan utama ke kontrakan Leida berkisar 15 meter. Akses masuknya sangat sempit, cukup muat dilintasi satu unit motor untuk masuk keluar. Kamar kontrakan Leida juga dipakai dua temannya melayani tamunya masing-masing.

Di kamar berukuran kurang lebih 4 x 4 meter tersebut tersedia dua kasur lipat, bantal, dan guling. Sekilas sedikit berantakan di kamar dengan tembok berwarna hijau kusam tersebut. Sejumlah alat rias, beberapa bungkus makanan, dan remah-remahnya, berserakan di sudut lantai.

Sebuah kipas angin berukuran kecil, tak mampu menghilangkan hawa panas dari dalam ruangan tersebut. Dalam menjajakan layanan prostitusinya, Leida, sama seperti temannya yang lain mempunyai aturan yang harus dipatuhi pelanggan.

Bisa dibilang ada protokolnya. Kata Leida, satu kali ‘main’ maksimal waktunya selama satu jam. “Satu kali main ya, maksimal satu jam lah,” kata Leida mengingatkan aturan main kepada pelanggannya.

Sementara saat Leida memberikan layanan kepada tamu, dua temannya menunggu di lorong. Teman Leida juga sedang menunggu pesan masuk dari tamu yang ingin memakai jasanya.

Lokasi kontrakan Leida terbilang sulit dijangkau. Terhimpit tembok tetangga kanan kiri. Hanya satu motor yang bisa masuk untuk menuju kontrakan Leida di paling pojok.

Diketuk setelah sejam
Setelah waktu satu jam berlalu, dari luar sudah terdengar ketukan pintu, tanda agar Leida dan pelanggannya segera berbenah.

Pasalnya, kamar tersebut akan dipakai teman Leida yang baru dapat tamu. “Buruan, pelanggan gue sudah datang nih. Jangan lama-lama,” begitu katanya.

Keluar dari sana, Leida menawarkan pelanggannya untuk sekadar rehat. Lebih seringnya ada pelanggan yang suka basa-basi menyoal apa saja.

Selama terjun di bisnis prostitusi, mayoritas pelanggan Leida dari kalangan remaja, hingga pekerja kantoran. Beda orang beda kemauan. Pernah satu kali Leida melayani pelanggan yang memperlakukannya kasar dan banyak maunya. “Banyak minta ganti gaya,” keluh Leida.

Wanita 18 tahun ini mengaku, keretakan rumah tangga orang tuanya di Riau sedikit banyak membuatnya memilih profesi sebagai pekerja seks komersial. “Orang tua sudah pisah, terus aku ngerantau,”

“Kenalan sana-sini, ya sudah jadi tinggal di sini deh,” kata Leida.

Mudahnya mendapat rupiah, membuat Leida anteng melayani para pria hidung belang yang mencari kepuasan dari orang sepertinya. “Lumayan kan, sehari bisa (melayani) empat sampai lima lah. Dikalikan saja tuh uangnya,” ucap Leida.

Leida hanya tamatan sekolah menengah atas ini hanya berpikir, bagaimana bertahan hidup seorang diri tanpa kasih sayang keluarga. “Tadinya sudah ngelamar kerja. Tapi gak pernah dipanggil,”

“Lagian juga gajinya gak seberapa kan namanya juga lulusan SMA,” kata dia.

Satu pelanggan berlalu, Leida kembali melirik ponselnya. Kini, ia siap kembali menebar umpan untuk calon pelanggan berikutnya. Tak butuh waktu lama, Leida mendapat pelanggan baru. Ia langsung mengambil handuk dan menuju kamar mandi untuk bersih-bersih sebelum memberi servis.

Profesi Sampingan
Pengamat Sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati mengatakan, tidak ada hal baru yang mendorong seseorang terjun dalam dunia prostitusi. “Dulu memang ekonomi lebih dominan ya. Nah, berdasarkan penelitian di Eropa 10 tahun lalu, di zaman digital ini siapapun bisa menjadi pelaku prostitusi,” tutur Devie.

Bedanya, kata Devie, dulu pekerja seks komersial full time menjalani profesinya. Saat ini di Eropa, menjadi pekerja seks hanya sampingan. “Nah, orang itu bisa mandiri artinya ketika mereka ada kebutuhan uang mereka bisa mencari kebutuhan tambahan, jadi part time,” ungkap dia.

Menurut Devie, fenomena ini bisa terjadi juga terjadi Indonesia. Apalagi, bisnis prostitusi saat ini peluangnya semakin mudah dengan adanya teknologi. “Di Eropa dan di sini sama ya. Media sosialnya sama, internetnya sama. Jadi tidak menutup kemungkinan (bisnis prostitusi bertahan, red),” terangnya.

Tak hanya prostitusi, perdagangan narkotika menjadikan teknologi sebagai pasarnya. Orang dengan mudah terhubung dengan pasar ini lewat teknologi tanpa diketahui identitasnya.

“Anonimitas. Teknologi memberikan fasilitas untuk mengaburkan identitas. Sehingga, pelaku prostitusi terbebas dari stigma negatif di masyarakat,” kata Devie.

Masa lalu, dunia prostitusi menjadi momok masyarakat karena proses transaksikan offline. Masyarakat mudah mengenali pelakunya. Akses internet telah memotong jalur ‘perdagangan’ orang langsung dari pelaku sendiri, ke target konsumen, tanpa perantara.

Kini, siapapun dapat memilih mempraktikkan bisnis bawah tanah ini secara mandiri, tanpa bantuan perantara.

Hal ini yang dalam konteks orang-orang Eropa, mendorong munculnya pelaku menjadikan prostitusi sebagai kerja sampingan atau paruh waktu. “Mereka tidak menjadikan prostitusi sebagai profesi utama, tetapi, hanya sekedar tambahan pendapatan, bila dibutuhkan,” ucap Devie. (*)


Sumber: TribunJakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *