News  

Ustaz Abdul Somad Jelaskan Soal Hukum Mandi Balimau dan Hutang Puasa

Tradisi mandi balimau sudah ada sejak zaman dulu. (Foto: Istimewa)

PEKANBARU-Beberapa jam lagi, umat muslim di seluruh dunia akan menjalankan ibadah puasa. Berbagai persiapan menyambut bulan penuh berkah tersebut sudah dilaksanakan. Salah satu tradisi yang biasanya dilakukan sebagian masyarakat di Indonesia menjelang tibanya bulan Ramadan adalah mandi belimau.

Lantas, bagaimanakah hukum mandi balimau tersebut dalam Islam?

Tradisi ini bertujuan untuk mensucikan lahir dan batin menyongsong bulan penuh berkah. Berkaitan dengan tradisi ini, Ustad Abdul Somad menyebut, tradisi ini tidak lepas dari Islam.

Lalu, ada yang menyebut mandi belimau tidak ada dalam ajaran agama. “Orang Melayu mandi belimau apa masalahnya. Orang Melayu dulu banyak tinggal di tepian sungai. Nah, ada tradisi Melayu tua mandi belimau di dalam hutan pakai jeruk, asam. Kenapa mereka mandi di sungai, karena rumah dekat sungai. Kok pakai limau, ya untuk membersihkan tubuh,” ujarnya.

“MUI bilang haram, haramnya di mana mandi belimau. Ternyata saat ada mandi belimau, diundang artis keyboard (orgen) tunggal lalu joget-joget, itu yang haram. Jangan sampai bilang nenek moyang kita tidak berilmu. Haram kalau laki-laki dan perempuan bukan muhrim mandi bersama di sungai, ada orgen. Ini local wisdom, tidak ada kaitan lain. Kalau disebutkan tidak mandi (belimau) maka puasa tidak sah itu baru tidak boleh,” kata Ustaz Abdul Somad.

Ustaz Abdul Somad mencontohkan peristiwa lain. Sebelum Nabi Muhammad datang, orang Arab jahiliah biasa melakukan budaya potong kambing saat kelahiran. Lalu, darah kambing diusap ke kepala anaknya yang baru lahir.

Ketika Nabi Muhammad datang, dia membuang tradisi yang kotor itu. “Tidak ada lagi darah kambing diusap ke kepala anak baru lahir. Potong kambing tetap, daging dimasak dan dibagikan kepada tetangga. Ambil yang baiknya,” ungkap ustadz yang akrab disapa UAS dan alumni Al Azhar, Kario serta Darul Hadits Maroko tersebut.

Lantas bagaimana dengan bayar hutang puasa?

Menurut UAS, bagi seseorang yang ingin membayar utang puasa di Ramadan tahun lalu, batas waktunya adalah sampai bulan Ramadan tahun ini. Artinya, termasuk di bulan Syaban pada hari terakhir pun, seorang muslim masih bisa melakukan qadha puasa Ramadan tahun lalu.

“Batasnya (qadha puasa Ramadhan tahun lalu) kapan? Sampai Ramadhan (tahun) ini,” ungkapnya.

UAS pun memaparkan hukumnya seseorang yang hendak membayar utang puasa di bulan Syaban pada hari Senin.

Maka dijelaskan UAS, orang tersebut akan mendapatkan tiga keuntungan, yakni utang puasanya lunas satu hari, mendapat keutamaan puasa sunah Syaban dan juga puasa hari Senin. “Siapa yang mengganti puasa di bulan Syaban hari Senin, otomatis dapat tiga, puasa qada lunas satu hari, puasa sunah syaban dapat, puasa hari Senin dapat,” imbuhnya.

Meski begitu, niatan puasa untuk mendapatkan tiga keuntungan itu dijelaskan Ustaz Abdul Somad hanya diucap satu saja, yakni niat untuk qadha puasa Ramadhan. “Niatnya satu aja, saya niat puasa qada. Otomatis dapat tiga. Jadi enggak perlu niatnya tiga,” tukasnya.

Lalu bagaimana bila kita tidak juga membayar utang puasa Ramadan tahun lalu, karena bulan Ramadan tahun ini telah tiba?

UAS menjabarkan,seseorang itu masih bisa membayarkan utang puasanya itu setelah bulan Ramadhan tahun ini berakhir. Namun di qadha puasa selanjutnya itu, orang tersebut tak hanya harus membayarnya, melainkan juga harus membayar fidiah.

“Kalau sampai Ramadan dia belum men-qadha juga ? maka dia dapat qadha setelah Ramadhan plus fidiah. Fidiah apa? memberi makan fakir miskin selama satu hari,” ucap Ustaz Abdul Somad.

“Bukan satu kali makan, tapi satu hari makan. Paling tidak tiga kali, makan pagi, siang, makan malam,” sambungnya.

Kapan Batas Waktu Bayar Utang Puasa atau Qadha Menurut Hadis?

Penjelasan mengenai batas waktu perihal qadha puasa Ramadhan terdapat di beberapa hadis. Dilansir dari laman konsultasisyariah.com, ada hadis yang melarang melakukan puasa setelah masuk pertengahan bulan sya’ban.

Di antaranya hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‎إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud 2337)

Dalam hadis yang lain, yang juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‎لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).

Di sisi lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merutinkan puasa selama sya’ban. Bahkan beliau melakukan puasa sya’ban sebulan penuh. Dari A’isyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

‎لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Bukhari 1970 dan Muslim 1156)

Karena itu, sebenarnya larangan berpuasa setelah masuk pertengahan bulan sya’ban, tidak berlaku mutlak.

Hal tersebut berarti bahwa larangan itu berlaku ketika seseorang melakukan puasa sunah tanpa sebab, sementara dia tidak memiliki rutinitas puasa sunah tertentu atau tidak dimulai dari awal sya’ban.

Ada pula hadis kedua dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memberikan pengecualian,
“kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.”

Dengan demikian, puasa qadha dibolehkan sekalipun telah masuk pertengahan sya’ban.

Batas akhirnya adalah sampai datang bulan Ramadhan berikutnya.
Dan itulah yang dilakukan oleh Ummul Mukminin, Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Beliau pernah menuturkan,
‎كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Dulu saya punya utang puasa Ramadhan. Dan saya tidak bisa mengqadhanya kecuali di bulan sya’ban. (HR. Bukhari 1950, Muslim 2743, dan yang lainnya). (*)

Sumber: TribunPekanbaru

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *