BENGKALIS, FOKUSRIAU.COM-Keberadaan hutan bakau atau mangrove di Kabupaten Bengkalis, Riau terancam punah. Bahkan, masyarakat yang mengandalkan hidup dari mencari ikan di kawasan mangrove tersebut juga mulai terancam akibat rusaknya hutan mangrove tersebut.
Berkurangnya jumlah bakau di kawasan tersebut tak terlepas dari adanya Dapur Arang di Pulau Rupat, Bengkalis. Pasalnya, Dapur Arang yang didominasi pengusaha besar itu memproduksi besar-besaran dan diduga tidak memiliki izin.
Ketua Aliansi Tokoh Masyarakat Peduli Pulau Rupat, H Said Amir Hamzah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (31/3/2022) menyebut, produksi arang dengan bahan bakunya kayu bakau tersebut secara tidak langsung telah merusak lingkungan sekitar.
“Miris kita melihat. Hutan mangrove dibabat untuk kepentingan pengusaha. Sementara upaya revitalisasi tidak ada. Ini yang membuat masyarakat tempatan kelimpungan. Apalagi areal mereka mencari ikan sudah tak ada, lantaran hutan sekitar lepas pantai dirusak sekolompok orang,” kata Amir Hamzah.
Dikatakan, beberapa desa yang memiliki kawasan bakau seperti Suka Damai, Titi Akar, Hutan Samak kini sudah rusak. Sementara, mangrove merupakan merupakan tempat berkembang biaknya habitat laut. Dan masyarakat desa menggantungkan hidup dari mencari ikan.
Karena itu, Amir berharap, tim Kemenko Polhukam bisa turun ke Rupat untuk menyelesaikan persoalan yang telah menggangu kehidupan sosial masyarakat itu.
Pulau Rupat sendiri merupakan salah satu pulau kecil terluar di Riau dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) melalui Keputusan Presiden no 6 tahun 2017 tentang penetapan pulau-pulau kecil terluar.
“Dulu hutan mangrove disini sangat luas, sekarang tinggal sekitar 5-6 Ha saja. Ini semua akibat tidak adanya upaya peremajaan. Dibabat dan dibiarkan tumbuh sendiri. Menjelang tumbuh, kayu yang ada sudah habis,” tuturnya.
Salah satu pengusaha, kata Amir Hamzah adalah A Thian. Dimana dia memiliki lahan seluas 100 Ha. Oknum itu mempunyai LSM sebagai backup dari semua aktifitas yang dilakukannya.
“Itu baru satu orang. Investigasi kami, banyak pengusaha lainnya yang memiliki lahan disana. Padahal sebagian besar lahan di Rupat merupakan hutan lindung yang tak boleh diganggu,” ujarnya.
Parahnya, menurut Amir, produksi arang yang dilakukan sampai puluhan ton. Artinya, dapur arang yang mereka buat dalam kapasitas sangat besar. Sementara rakyat biasa disana hanya memproduksi belasan ton saja.
“Apa tak rusak ekosistim mangrove dibuatnya. Sementara upaya pelestarian hutan tidak dlakukan. Makanya kita minta pihak terkait untuk meninjau kembali izin usaha mereka. Dalam waktu dekat Kita akan sampaikan persoalan ini ke Kemenko Polhukam,” tukasnya.
Hal senada disampaikan Tokoh Masyarakat Bengkalis, Azmir. Menurutnya, aktifitas para pengusaha Dapur Arang saat ini sudah tidak terkendali (Open access).
“Siapa saja bisa melakukan penjarahan mangrove. Ini akibat regulasi yang semuanya diatur oleh pemerintah pusat. Yang jadi persoalan sekarang, apakah para pengusaha arang ini memiliki izin dalam pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan baku utamanya,” ucap Azmir.
Disebutkan, bila masalah ini tidak ditata ulang dengan baik, maka kerusakan lingkungan akan semakin parah. Saat ini, menurut Azmir, nelayan sudah sulit untuk meningkatkan hasil tangkapan karena tempat ikan dan udang bersarang sudah habis dibabat pengusaha.
Jebolan Fahutan UGM itu juga meminta perhatian pusat untuk turun dalam rangka menata kembali tata ruang agar kerusakan ekosistim tidak semakin parah.
“Jika open akses ini terus berlangsung kita khawatir ekosistim laut akan semakin hancur akibat hantaman abrasi yang sangat luar biasa. Bahkan kemungkinan besar berpotensi menenggelamkan pulau pulau kecil terluar yang ada disana,” tukasnya. (*)
Penulis: M Yasier
Editor: Boy Surya Hamta