PT BSP Kelola Blok CPP, Nawazir Kadir: Ibarat Beli Kijang Seharga Alphard

Nawazir Kadir. (Foto: Istimewa)

PEKANBARU, FOKUSRIAU/COM-Wilayah Kerja Costal Plains Pekanbaru (WK CPP) mulai 8 Agustus 2022 mendatang 100 persen dikelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Bumi Siak Pusako (PT BSP). Pengelolaan baru berakhir 8 Agustus 2042.

Sepintas, tentu hal ini membanggakan. Karena BUMD Riau dianggap mampu dan dipercaya pemerintah pusat, yakni Kementerian ESDM untuk melanjutkan pengelolalan blok minyak CPP di Riau.

Namun benarkah PT BSP sudah mumpuni mengelola blok CCP tersebut? Ahli Perminyakan asal Riau, Nawazir Kadir dalam perbincangan dengan Fokus Riau di Pekanbaru menyampaikan beberapa pandangan.

Untuk diketahui, Nawazir merupakan salah satu ahli manajemen perminyakan di Indonesia. Dia pernah memimpin perjuangan mendapatkan blok CPP untuk Riau tahun 2001-2002 dan ikut mendirikan serta orang pertama yang menjadi direktur utama PT BSP, sekaligus memimpin Tim Negosiasi Blok CPP Riau bekerja sama dengan Pertamina melakukan negosiasi dengan PT. Caltex Pacific Indonesia.

Berikut petikan bincang santai dengan Bang Ace –sapaan akrab Nawazir— ditemani IT Migas Amerika Maxus Inc, Masdar Simbolon.

Apa tanggapan Anda terkait akan dikelolanya blok CPP oleh PT BSP?

Kan hanya dua perusahaan yang boleh ikut lelang pengelolaan blok CPP untuk 20 tahun ke depan. Keduanya adalah operator (patungan) blok CPP saat ini, yakni PT BSP dan Pertamina.

Dari sisi produksi, apakah pengambilalihan blok CPP menguntungkan?

Ini dia persoalannya. blok CPP sudah sangat mature produksi puncak ketika dikelola PT CPI mencapai lebih 65.000 barel per hari. Dan ketika blok CPP diserahkan kepada BOB CPP tahun 2002 produksinya 40.000 barel per hari. Sekarang produksi tinggal 8.000 barel per hari.

Apa yang mau diharapkan dengan produksi segitu?

Sayangnya, PT BSP sangat tertutup dan terlalu percaya diri. Sehingga mengabaikan untuk melibatkan pihak kedua yang lebih berpengalaman dalam operasi produksi maupun alih kelola blok migas yang penuh risiko itu.

Kita sejak awal sudah memperkirakan blok CPP akan dilepas Pertamina Hulu. Karena Pertamina sudah mendapat blok Rokan, sebuah blok migas raksasa di Indonesia.

Sehingga sumber daya Pertamina sepenuhnya akan didedikasikan ke blok Rokan yang memang memerlukan sumber daya lebih. Baik berupa uang (pendanaan), human capital (SDM) dan teknologi canggih/mahal (tinggi).

Dari analisa Anda, mengapa PT BSP mau mengambil resiko mengelola blok CPP tersebut?

Dari penjelasan Kepala SKK Migas Dwi Sucipto dan Dirjen Migas Tutuka Ariadji saat rapat dengar pendapat (RDP) beberapa waktu lalu dengan Komisi VII DPR RI, tentang kinerja PT Bumi Siak Pusako mengambilalih penuh pengelolaan Blok CPP 20 tahun mendatang, saya melihat ada tiga kelemahan menyolok dari PT BSP.

Pertama, keikutsertaan Pertamina dalam blok CPP lebih bersifat formal dan tak terlalu terbebani. Jika menang ya bagus, tetapi kalau kalah juga gak masalah.

Artinya Pertamina dalam lelang pengelolaan blok CPP tidak terlalu sulit untuk di challenge oleh PT BSP.

Kedua, pembuatan proposal PT BSP terkesan dibuat jauh dari memadai dan kurang akurat, sehingga terjadi kesalahan mendasar yang kemudian harus direvisi besar-besaran.

Contohnya, komitmen kerja pasti (KKP) untuk investasi yang diajukan awalnya US$ 41 juta, sedangkan Pertamina mengajukan US$ 61 juta. Tetapi setelah bernegosiasi dengan Dirjen Migas KKP, pengajuan PT BSP naik 3x lipat atau 318 persen menjadi US$ 130,4 juta.

Padahal itu baru KKP lima tahun pertama (fase 1). Bagaimana kalau produksi tidak meningkat seperti yang diharapkan? Apakah PT BSP masih sanggup melanjutkan operasi produksi fase 2 dan fase selanjutnya?

Atau apakah Pemkab Siak sebagai pemegang 70 persem saham PT BSP mau nombok membantu pendanaan? Begitu juga pemkab lain yang juga mempunyai saham di blok CPP, apakah siap menutupi bila terjadi ketekoran?

Terkejut kita. Dan maaf, itu KKP yang naik hingga berlipat tidak lazim dalam lelang. Apalagi lelang professional migas yang pasti juga dimonitor perusahaan/pengamat industri migas dunia.

Itu mengesankan manajemen PT BSP jauh dari professional, kurang mumpuni dan proposal dibuat kurang bermutu.

Ketiga, bonus tanda tangan (signature bonus) yang dibayarkan PT BSP juga sangat tinggi, yakni US$ 10 juta tanpa diskresi (tanpa tambahan split minyak).

Di lain pihak, Pertamina yang tanpa beban hanya bersedia memberi signature bonus US$ 1 juta tanpa diskresi atau US$ 5 juta dengan diskresi (tambahan split 5 persen) dan US$ 20 juta dengan diskresi 10 persen. Lagi-lagi terlihat betapa sangat mahalnya PT BSP memberikan tawaran.

Bagaimana kondisinya dibanding saat Anda memimpin PT BSP?

Tahun 2002 produksi minyak blok CPP masih bisa didapat 40.000 barel per hari. Saat itu, gabungan Tim Negosiasi Blok CPP Riau yang saya pimpin dan Pertamina mengajukan proposal bonus tanda tangan (signature bonus) US$ 5 juta dan disetujui Dirjen Migas serta dibayar patungan antara PT BSP dan Pertamina masing-masing US$ 2,5 juta.

Sehingga sangat logis dan wajar Pertamina sekarang hanya menawarkan signature bonus US$ 1 juta. Karena produksi minyak blok CPP kan tinggal seperlima dari produksi tahun 2002 dan tambahan sumur-sumur minyak blok CPP sudah tua dan memiliki resiko.

Terakhir, bagaimana anda menilai komitmen kerja PT BSP ini?

Sangat tidak rasional. Bukankah ini ibarat orang beli mobil kijang seharga Alphard? Kata orang tue-tue kite dulu, mike tetipu di tempat terang. Takiciuah di nan tarang kato urang awak. Hahahaha.. Nah, kalau sudah begini, siapa yang bertanggung jawab? (sier/bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *