Realisasi Dana Peremajaan Sawit Jauh dari Target

Ilustasi perkebunan sawit. (Foto: Antara)

JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Kementerian Pertanian mencatat, realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) medio 2017-2022 baru mencapai 278.200 ha. Jumlah itu jauh dari total target 2,8 juta ha lahan sawit potensial yang akan diremajakan.

Bila dihitung, angka tersebut baru sekitar 9,93 persen dari total lahan potensial sawit yang ada.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Andi Nur Alamsyah mengatakan, target per tahun realisasi PSR sebenarnya mencapai 10.000 ha. Acuan itu didapat dari penyaluran program yang dilaksanakan di 21 provinsi dan 123 kabupaten/kota.

“Kita bersama memahami, realisasi PSR masih sangat rendah. Sejak tahun 2017-2022, capaian kita sebesar 278,2 ribu ha. Setidaknya, terdapat 2,8 juta ha luasan sawit rakyat yang potensial kita remajakan,” terangnya dalam Rakornas Kelapa Sawit 2023 di Pullman Central Park, Jakarta, Senin (27/2/2023).

Untuk mengakselerasi penyaluran dana PSR, Kementan pun berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Masalahnya, percepatan program peremajaan sawit masih terkendala dalam pengurusan administrasi untuk pihak petani di kedua instansi tersebut.

“Dengan adanya komitmen bersama ini diharapkan dapat menganulir tantangan pada tingkat lapangan, khususnya dalam pengurusan administrasi untuk kelengkapan pengajuan persyaratan PSR,” ungkapnya.

Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Eddy Abdurrachman menyampaikan, angka realisasi peremajaan sawit rakyat baru sekitar 273.000 ha sejak 2016.

“Sampai dengan saat ini mulai PSR 2016 sampai 2022 itu sudah rekomendasi teknis 278.000 ha. Dari situ sudah direalisasikan penyalurannya 273.000 ha, dengan jumlah nilai penyalurannya sebesar Rp 7,5 triliun,” papar Eddy dikutip FokusRiau.Com dari liputan6.com.

Eddy menjabarkan kendala realisasi yang masih jauh di bawah target. Menurutnya, itu karena proses pemenuhan persyaratan kepada petani yang masih rumit.

“Misalnya, dia tidak berada di kawasan hutan, dia tidak berada di dalam kawasan usaha. Kemudian legalitas lahannya terpenuhi, itu yang menjadi persoalan,” kata Eddy. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *