PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Sejumlah negara berkembang kini tengah dihadapkan dengan ancaman pemotongan anggaran sebesar Rp220 miliar atau setara Rp3.447,9 triliun (asumsi kurs Rp15.672 per dolar) selama lima tahun ke depan.
Kondisi itu terjadi di tengah krisis utang yang telah mendorong puluhan negara ke ambang gagal bayar (default). Hal tersebut terungkap berdasarkan riset Oxfam International yang dirilis, Senin (9/10/2023) ini.
Laporan tersebut juga mengungkap, negara-negara berpendapatan rendah dan menengah ke bawah, saat ini harus menanggung hampir US$500 juta per hari dalam bentuk bunga dan pembayaran utang.
Dilansir dari CNA, Oxfam Internasional menyatakan sejumlah negara berkembang mengalami kesulitan utang karena kenaikan suku bunga global, melonjaknya inflasi dan guncangan ekonomi pasca pandemi covid-19.
Apalagi, lembaga pemeringkat Fitch mengatakan pada Maret lalu, telah terjadi 14 peristiwa gagal bayar sejak 2020 di sembilan negara berbeda.
Karena itu, Oxfam meminta Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dan Bank Dunia segera menciptakan sistem yang lebih adil. Oxfam menyarankan IMF dan Bank Dunia tidak berfokus pada restrukturisasi utang dan pemotongan belanja.
“Jawaban mereka terhadap krisis utang adalah dengan melakukan penghematan, dan jawaban mereka terhadap kesenjangan pendanaan adalah dengan memberikan lebih banyak pinjaman,” kata Direktur Eksekutif Sementara Oxfam International, Amitabh Behar.
“Keuntungan yang sama-sama menguntungkan, seperti mengenakan pajak yang adil kepada orang kaya, kini dibiarkan begitu saja,” imbuhnya.
Oxfam dan kelompok bantuan dan kampanye lainnya sebelumnya telah meminta kreditur internasional untuk membatalkan utang negara-negara berkembang yang menghadapi krisis ekonomi.
Laporan Oxfam juga mengatakan pembayaran utang negara-negara termiskin melebihi pengeluaran layanan kesehatan sebesar empat berbanding satu. (cnnindonesia/bsh)