JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap audit soal Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Alhasil, BPK menyebut, tahun 2021 ada dana simpanan 124.960 pensiunan atau ahli waris dengan total Rp567.457.735.810 belum dikembalikan.
Laporan ini tercantum dalam dokumen Bernomor 202/LHP/XVI/l2/2021 yang disusun Auditorat Utama Keuangan Negara III pada 31 Desember 2021.
Laporan berjudul “Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan Atas Pengelolaan Tapera dan Biaya Operasional Tahun 2020 dan 2021 pada Badan Pengelola Tabungan (BP) Tapera dan Instansi Terkait Lainnya di DKI Jakarta, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali” itu menyebut, PNS yang pensiun sebelum 31 Desember 2020 mengikuti Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.05/2020 tentang Tata Cara Pengalihan dan Pengembalian Dana Tabungan Perumahan PNS.
Dalam pengembalian dana, BP Tapera tidak hanya mengembalikan simpanan tetapi juga hasil pengelolaan simpanan kepada pensiunan atau ahli waris (jika peserta meninggal dunia).
“Peserta pensiun belum menerima pengembalian sebanyak 124.960 orang sebesar Rp 567.457.735.810,” dikutip dari laporan tersebut, Senin (3/6/2024) dilansir Kompas TV.
Seharusnya, BP Tapera mengembalikan simpanan paling lambat tiga bulan setelah kepesertaan berakhir. Data menunjukkan BP Tapera mengelola 4.016.292 PNS aktif.
Namun, hasil konfirmasi Tim BPK dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (Taspen) mengungkapkan bahwa 124.960 peserta yang telah pensiun atau meninggal hingga triwulan III masih tercatat sebagai peserta aktif.
Rinciannya, sebanyak 25.764 peserta meninggal dunia dengan saldo Rp91.035.338.854 dan 99.196 peserta pensiun dengan saldo Rp476.422.396.956.
Karena tercatat sebagai peserta aktif, ahli waris atau pensiunan PNS tersebut tidak dapat menerima pengembalian simpanan dan hasil pengelolaannya.
“Pensiunan PNS/ahli warisnya sebanyak 124.960 orang tidak dapat memanfaatkan pengembalian tabungan yang menjadi haknya sebesar Rp 567.457.735.810,” tulis laporan tersebut.
Masalah Pemutakhiran Data
Berdasarkan konfirmasi dengan BKN dan Taspen, Tim Auditor BPK kemudian mengonfirmasi data dari lima pemberi kerja sebagai sampel.
Dari 191 nama peserta Tapera yang diajukan, terbukti bahwa mereka telah meninggal atau pensiun, dengan bukti berupa Surat Keputusan (SK) Pensiun atau Surat Keterangan Penghentian Pembayaran (SKPP). Namun, pemberi kerja belum memperbarui data status kepesertaan di BP Tapera.
“Sehingga, status kepesertaan di BP Tapera masih tercatat sebagai peserta aktif dan belum dapat diberikan haknya berupa pengembalian tabungan,” tulis laporan tersebut.
Tidak hanya masalah pemutakhiran status meninggal atau pensiun peserta, pengembalian simpanan juga memerlukan pemutakhiran nomor rekening oleh pekerja. “Sesuai proses bisnis normal BP Tapera,” tulis laporan itu.
Setelah mengonfirmasi pemberi kerja, Tim Auditor BPK mewawancarai Direktur Operasi dan Pengerahan.
Mereka mendapatkan keterangan bahwa proses bisnis BP Tapera bergantung pada pemutakhiran data yang diperoleh dari pemberi kerja melalui portal.
Selama status peserta tidak diubah oleh pemberi kerja menjadi meninggal atau pensiun, mereka tetap dinyatakan aktif dan tidak bisa menerima pengembalian dana.
Direktur tersebut menyatakan bahwa BP Tapera telah mengadakan sosialisasi pemutakhiran data dan perubahan status.
“Namun, karena banyaknya data dan jumlah peserta yang harus diinput oleh pemberi kerja dan keterbatasan sumber daya di pihak pemberi kerja memungkinkan terjadi ketidaktertiban/kekurangcermatan,” tulis laporan tersebut.
Berdasarkan permasalahan dan temuan tersebut, BPK merekomendasikan agar BP Tapera mengembalikan tabungan ratusan ribu peserta yang telah meninggal dan pensiun.
“Mengembalikan tabungan peserta yang sudah meninggal dan pensiun kepada 124.960 orang sebesar Rp567.457.735.810,” tulis laporan BPK dikutip FokusRiau.Com dari Kompas.com.
Sebelumnya, program Tapera sudah mendapat banyak kritikan karena akan menarik iuran dari karyawan swasta mulai tahun 2027. Program ini hanya memotong gaji pegawai negeri sipil (PNS), namun telah menerima catatan negatif.
Bahkan Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK), mengajak semua elemen masyarakat menolak program tersebut. (bsh)