APRIL Grup Ternyata Masih Membabat Hutan Alam di Riau

Temuan Jikalahari pada Areal PT SAU.(Foto: Jikalahari)

PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkap temuan lapangan di lokasi APRIL Grup di Jakarta, 31 Mei 2024.

Jikalahari melakukan pemantauan di bagian dalam dan luar lahan konsesi PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) Estate Sungai Mandau dan PT. Selaras Abadi Utama (SAU) sepanjang Maret 2024.

Di lokasi PT RAPP Estate Sungai Mandau, tim menemukan penebangan hutan alam, pembukaan kanal baru, sisa tebangan kayu alam, tanaman akasia di luar konsesi PT RAPP, satu unit eskavator, satu unit alat pengangkut kayu serta konflik horizontal antara masyarakat Kampung Olak akibat kerja sama PT NPM (APRIL Grup) dengan Penghulu Olak.

Berdasarkan analisis GIS, penebangan hutan alam dilakukan dalam satu bentangan seluas hampir 60 hektar.

Pembukaan berada di APL dan di luar konsesi PT RAPP seluas 83,32 ha dan di APL di dalam konsesi PT RAPP seluas 9,20 ha. Pembukaan hutan alam langsung berbatasan dengan konsesi PT RAPP yang baru saja melakukan pemanenan dan penanaman akasia baru.

Hasil analisa citra satelit dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bentuk bukaan yang sama antara bukaan hutan alam di APL di luar konsesi dengan bukaan pemanenan akasia di dalam konsesi PT RAPP.

“Di lapangan, tim melihat langsung kanal-kanal baru yang dibuka oleh PT RAPP yang berukuran lebar 4 meter dengan kedalaman 2 meter dan lebar 3 meter dengan kedalaman 1,5 meter,” kata Made Ali.

Kanal baru tersebut tidak hanya terdapat pada lahan yang sudah ditanami akasia, namun terdapat juga kanal baru di dalam hutan di luar areal yang sudah ditanami akasia, yaitu kanal yang dibuka mengarah ke dalam hutan alam.

“Anak usaha APRIL Grup menanam akasia di luar konsesi dan di luar kawasan hutan (APL), seharusnya menggunakan skema HR. Tanpa itu, seharusnya perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana peraturan perundang-undangan sektor kehutanan,” kata Difa Shafira, Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan ICEL dilansir dari jikalahari.or.id, Sabtu (6/7/2024).

Lebih lanjut, dugaan pelanggaran berupa pembukaan kanal di fungsi lindung ekosistem gambut, kata Difa seharusnya dikenakan sanksi berupa paksaan pemerintah yang kemudian dapat dieskalasi hingga pencabutan izin berdasarkan PP tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Sedangkan di lokasi PT. SAU tim juga menemukan bukaan hutan alam puluhan hektar di dalam konsesi, pembuatan kanal baru, akasia baru tanam di areal bukaan hutan alam dan sisa tegakan kayu alam.

Dari informasi masyarakat, areal ini dibuka tahun 2023 menggunakan alat berat jenis eskavator oleh PT SAU untuk kemudian ditanami akasia. Areal yang dibuka lebih dari 50 hektar.

Pohon yang ditebang digunakan untuk galangan jalan alat berat dan sebagian kayu yang tumbang dibiarkan di lokasi. Di sekitar areal yang dibuka masih terdapat tegakan kayu alam dengan diameter 20-40 cm.

“Seharusnya ini merupakan temuan pemerintah, kita masuk ke era penggunaan serba digital dan teknologi. Tetapi pemerintah malah banyak ketinggalan informasi, bayangkan, dari dua perusahaan sudah ditemukan berbagai pelanggaran, bagaimana kondisi aktual di seluruh Indonesia? Apakah instrumen dan regulasi yang ada saat ini efektif? Jika melihat temuan ini tentunya tidak. Temuan ini menunjukkan bahwa instrumen pengawasan saat ini tidak memadai,” kata Prof. Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB menanggapi hal itu.

Pengaruhi Sertifikasi
Di sisi lain, temuan Jikalahari tersebut bisa mempengaruhi proses sertifikasi APRIL Grup yang sedang berjalan.

“Saat proses sertifikasi FSC, Jikalahari masih menemukan APRIL Grup melalui anak usahanya PT SAU dan PT RAPP Estate Sungai Mandau menebang hutan alam, membuka kanal baru, merusak ekosistem gambut yang memiliki fungsi lindung hingga menanam akasia di luar konsesi tanpa izin,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari Forest Stewardship Council (FSC) atau Dewan Pengelolaan Hutan adalah lembaga sertifikasi bidang kehutanan yang menyiapkan pengembangan standar pengelolaan hutan berkelanjutan.

FSC berdiri sejak 1994 dan kini beranggotakan lebih dari 1.200 anggota di lebih dari 90 negara, terdiri dari organisasi masyarakat adat, serikat pekerja, kelompok lingkungan hidup, individu dan perusahaan, besar dan kecil.

FSC menerbitkan kebijakan baru yang berlaku efektif 1 Juli 2023 dan menegaskan posisi serta prinsip dasar mengenai konversi hutan alam dan kawasan Nilai Konservasi Tinggi, termasuk kegiatan yang tidak dapat diterima dan perlu diperbaiki dengan memenuhi persyaratan sosial dan lingkungan yang diatur dalam kerangka perbaikan

Kebijakan baru FSC tersebut, membuka peluang bagi korporasi yang melakukan konversi hutan alam dari 1 Desember 1994 hingga 31 Desember 2020 untuk memperoleh sertifikasi pengelolaan hutan FSC dengan menyusun dan menjalankan remedy framework dan tidak menerima perusahaan yang melakukan konversi hutan alam sebelum Desember 1994 dan setelah 31 Desember 2020.

November 2023 lalu, APRIL dan FSC menandatangani perjanjian kerangka kerja perbaikan yang menjadi awal penerapan proses perbaikan APRIL.

Karena itu, APRIL harus mematuhi semua persyaratan kerangka kerja perbaikan dari FSC sebelum mendapat kelayakan sertifikasi dari FSC. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *