PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Sebanyak 36 provinsi di Indonesia, Rabu (24/12/2025) lalu telah menetapkan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2026.
Penentuan UMP 2026 dilakukan berdasarkan formula pengupahan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025, yang merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dalam penerapannya, pemerintah daerah turut mempertimbangkan kondisi inflasi di setiap provinsi.
Ketentuan ini bersifat nasional dan wajib diikuti seluruh pemerintah daerah. Kebijakan UMP 2026 tersebut mulai diberlakukan secara resmi 1 Januari 2026.
Meski demikian, sejauh ini masih ada dua provinsi yang belum merilis besaran UMP 2026, yakni Aceh dan Papua Pegunungan.
Selain menetapkan UMP, pemerintah provinsi juga sudah menentukan komponen pengupahan lainnya tahun 2026, yakni Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
Berikut 10 Provinsi dengan UMP 2026 tertinggi:
DKI Jakarta: Rp 5.729.876
Papua Selatan: Rp 4.508.850
Papua: Rp 4.436.283
Papua Tengah: Rp 4.285.848
Kepulauan Bangka Belitung: Rp 4.035.000
Sulawesi Utara: Rp 4.002.630
Sumatera Selatan: Rp 3.942.963
Sulawesi Selatan: Rp 3.921.234
Kepulauan Riau: Rp 3.879.520
Papua Barat: Rp 3.841.000.
10 Provinsi dengan UMP 2026 terendah:
Banten: Rp 3.100.881
Kalimantan Barat: Rp 3.054.552
Lampung: Rp 3.047.734
Bengkulu: Rp 2.827.250
Nusa Tenggara Barat: Rp 2.673.861
Nusa Tenggara Timur: Rp 2.455.898
Jawa Timur: Rp 2.446.880
DI Yogyakarta: Rp 2.417.495
Jawa Tengah: Rp 2.327.386
Jawa Barat: Rp 2.317.601
Pengamat ekonomi sekaligus Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance, M. Rizal Taufikurahman mengatakan, UMP pada dasarnya lebih berfungsi sebagai batas minimum untuk bertahan hidup.
“UMR lebih berfungsi sebagai batas minimum untuk bertahan hidup, bukan standar hidup layak,” ujar Rizal, Sabtu (27/12/2025).
Dicontohkan, struktur biaya hidup di kota-kota besar seperti Jakarta kini didominasi pengeluaran non-makanan, terutama untuk perumahan dan transportasi yang relatif sulit ditekan.
Kenaikan kecil pada pos pengeluaran tersebut dapat langsung menggerus pendapatan pekerja.
Dalam jangka panjang, Rizal mengingatkan bahwa kondisi ini berisiko menurunkan produktivitas tenaga kerja sekaligus memperlebar ketimpangan sosial.
“Jika mayoritas pekerja hidup dalam kondisi cukup tetapi rapuh, kota berisiko menjadi mahal namun tidak sejahtera,” tukasnya. (bsh)
Sumber: Kompas.com
