Oleh: Boy Surya Hamta*
Mahasiswa merupakan bagian dari kaum intelektual. Di kampus, mereka dilatih berpikir kritis dan mengasah nalar untuk terus menghasilkan konsep pemikiran cerdas.
Sayangnya, tradisi berpikir kritis mahasiswa kini mulai memudar dan tidak lagi bisa diwujudkan dalam bentuk tulisan. Semua tak terlepas dari derasnya kemajuan teknologi, khususnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Dunia kampus kini harus berhadapan dengan paradoks, akses pengetahuan semakin luas, tetapi keberanian mahasiswa untuk menulis dan menyatakan sikap malah menyempit.
Jika terus dibiarkan, mahasiswa akan menghadapi risiko kehilangan fungsi historisnya sebagai penjaga nalar publik.
Menulis pemikiran atau opini adalah kerja intelektual yang paling mendasar, sekaligus paling menuntut. Ia memaksa penulis untuk membaca realitas, memilah informasi, membangun argumen dan mengambil posisi.
Dalam tulisan opini, pemikiran diuji di ruang publik. Dipersoalkan, dikritik bahkan dibantah. Proses ini penting dalam tradisi akademik yang sehat.
Tanpa menulis, pemikiran mahasiswa hanya menjadi monolog sunyi yang tidak pernah berkontribusi pada diskursus sosial.
Bagi mahasiswa, terutama mahasiswa ilmu komunikasi, menulis seharusnya menjadi praktik utama.
Karena ilmu komunikasi tidak berhenti pada tahapan teori seputar pesan, media atau audiens. Ia menyoal bagaimana sebuah makna diproduksi, siapa yang diuntungkan dan siapa yang disingkirkan dalam sebuah wacana dan gagasan.
Semua pertanyaan itu akan menemukan relevansinya, kala mahasiswa berani menulis. Tanpa tulisan, ilmu komunikasi mudah tereduksi menjadi sekadar kumpulan istilah akademik yang steril dari realitas sosial.
Masalahnya, kebiasaan menulis kini berhadapan dengan kenyamanan instan yang ditawarkan AI. Teknologi ini terbukti mampu menghasilkan teks rapi dan sistematis dalam waktu singkat.
Namun, yang harus disadari bahwa AI membawa risiko serius bila digunakan tanpa kesadaran kritis. Ketika mahasiswa menyerahkan proses berpikir kepada mesin, maka yang terjadi sesungguhnya bukan efisiensi akademik, melainkan pemiskinan intelektual.
Karena AI sebenarnya tidak berpikir. Dia hanya mengolah data. Ia tidak memiliki pengalaman sosial, keberpihakan moral atau tanggung jawab etis.
Ketergantungan pada AI, berpotensi memutus relasi antara berpikir dan menulis. Padahal, menulis merupakan sarana utama melatih otak agar tetap bekerja secara reflektif.
Proses menulis, menyusun kalimat, merangkai argumen dan mempertanggungjawabkan sebuah gagasan yang terlahir dari pemikiran merupakan mode latihan kognitif yang tidak bisa digantikan sebuah teknologi.
Mahasiswa yang jarang atau bahkan tak pernah menulis ide dan pemikiran dalam sebuah opini, akan kehilangan ketajaman analisis dan kedalaman berpikir, meski dikelilingi kelimpahan informasi dan data.
Di sisi lain, menulis memiliki dimensi etis dan politik. Jauh dari itu semua, opini mahasiswa jangan hanya jadi sekadar tugas akademik, melainkan bentuk hadirnya generasi inteletual muda di ruang publik.
Sadarkah kita mahasiswa, bahwa di tengah dominasi narasi elite politik, ekonomi dan media, suara mahasiswa sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang.
Mahasiswa memiliki posisi independen, karena tidak sepenuhnya terikat kepentingan kekuasaan. Sehingga mampu menghadirkan kritik yang lebih jujur dan berpihak pada kepentingan publik.
Namun, kritik itu hanya akan bermakna bila disampaikan dalam tulisan dan dapat diakses masyarakat luas.
Budaya diam kini justru makin menguat di kampus.
Diskusi berhenti di ruang kelas, seminar berakhir tanpa tindak lanjut dan kegelisahan sosial tidak pernah menjelma menjadi gagasan tertulis.
Kampus berubah menjadi ruang administratif yang sibuk mengurus kelulusan, bukan arena pertarungan ide. Jika kondisi ini terus berlangsung, mahasiswa akan kehilangan relevansi sosialnya dan hanya menjadi penonton dalam dinamika demokrasi.
Sejarah menunjukkan, perubahan sosial selalu diawali gagasan yang ditulis dan disebarluaskan. Dari pamflet, esai hingga artikel opini, tulisan menjadi medium utama perlawanan terhadap ketidakadilan dan kebekuan berpikir.
Mahasiswa yang menulis sedang menempatkan dirinya dalam tradisi intelektual tersebut, sebuah tradisi yang menolak tunduk pada kemapanan dan berani mempertanyakan keadaan.
Karena itu, menulis harus kembali dijadikan kebiasaan intelektual mahasiswa. Tidak perlu menunggu sempurna, tidak perlu takut salah. Karena menulis adalah proses belajar berpikir.
Kampus dan organisasi mahasiswa perlu menciptakan ekosistem yang mendorong lahirnya tulisan-tulisan kritis, bukan justru mengagungkan kepatuhan dan formalitas akademik semata.
Media massa juga memiliki peran penting membuka ruang bagi suara mahasiswa.
Di era AI, tantangan mahasiswa bukan lagi soal keterbatasan sumber informasi, melainkan keberanian menggunakan nalar sendiri.
Pilihannya jelas. Menulis dan tetap berpikir atau berhenti menulis dan perlahan kehilangan daya kritis. Bagi mahasiswa, terutama yang mengaku sebagai kaum intelektual, menulis bukan pilihan tambahan, namun sebuah keharusan. (*)
* Penulis adalah Kolumnis FokusRiau.Com dan mahasiswa Universitas Hang Tuah Pekanbaru
