Kasus Murid SD di Inhu Korban Perundungan, Pihak Keluarga Desak Polisi Usut Tuntas

DR Viator Butar Butar didampingi penasehat hukum Rendi Butar Butar berbicara soal lambatnya penanganan kasus dugaan perundungan di Inhu. (Foto: FokusRiau.Com)

PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Pihak keluarga korban dugaan perundungan atau bullying di SDN 012 Buluh Rampai, Kecamatan Siberida, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau inisial KB (8) mendesak kepolisian mengusut tuntas kasus tersebut secara transparan.

Sejak kematian korban 26 Mei 2025 lalu, sampai sekarang kasusnya tak kunjung mengalami kemajuan. Sampai sekarang, rencana gelar perkara tak pernah dilakukan dengan berbagai alasan. Pihak keluarga menduga, kasus tersebut terkesan ditunda-tunda dan dibuat senyap.

“Kami terus menerus menindaklanjutinya. Bahkan penasehat hukum kami juga sering bertanya kepada penyidik. Namun belum ada kemajuan. Ada kesan, kasus ini dibuat lambat dan bisa saja akhirnya senyap,” ujar pihak keluarga, DR Viator Butarbutar saat kopi bareng dengan wartawan dan sejumlah organisasi massa, Sabtu (26/7/2025) di Pekanbaru.

Karena itu, kata Viator, pihak keluarga meminta kepolisian segera mengusut kasus ini dengan seadil-adilnya. Sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali di Inhu.

“Kami hanya meminta polisi bersikap profesional dalam menangani kasus ini. Supaya kasus perundungan seperti ini tidak terjadi lagi di masa datang,” ujarnya.

Wamen PPPA Batal Bertemu
Sebelumnya, harapan keluarga korban sempat muncul setelah Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan memberikan atensi atau perhatian khusus dan berencana menemui mereka untuk mendengarkan langsung kasus tersebut.

Mereka berharap bisa menyampaikan kisah duka yang dialami kepada pejabat penting yang memang menangani persoalan tersebut. Namun, harapan mereka kembali pupus.

Wamen PPPA Veronica Tan yang sudah berjanji datang dan bahkan sudah berada di Inhu bersama Mentri PPPA mengikuti peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2025 di Inhu, Rabu (23/7/2025) lalu, membatalkan pertemuannya dengan pihak keluarga.

“Alasan ibu Wamen Veronica saat itu, jadwal yang cukup padat dan mengagendakan ulang pertemuan. Tentu kami kecewa. Karena yang ingin bertemu adalah ibu wamen sendiri. Kami pihak keluarga tentu saja bahagia dan memperoleh harapan baru adanya penyelesaian kasus tersebut. Namun kenyataanya batal,” ujar Viator.

Kini, pihak keluarga berharap kepolisian segera menindaklanjuti kasus tersebut sampai ketahap penyidikan.

Diduga Terjadi Penganiayaan
Sebagai informasi, kasus kematian KB (8) diduga tak wajar. Karena itu, orang tua korban menempuh langkah hukum dengan melaporkan teman-teman korban yang sebelumnya terlibat cekcok dan diduga telah menganiaya korban hingga berujung kematian.

Kapolres Inhu AKBP Fahrian Saleh Siregar, Selasa (27/5/2025) lalu kepada wartawan mengatakan, polisi telah menerima laporan orang tua korban.

Dijelaskan, autopsi sudah dilakukan Senin (26/5/2025) sekitar pukul 17.30 WIB di ruangan kamar mayat RSUD Indrasari Pematang Reba, Rengat Barat.

Tim yang melakukan autopsi terdiri dari ahli forensik yang kompeten di bidangnya. Mereka adalah AKBP Suprianto AMK, SKM, MH (Kasubid Dokpol Biddokes Polda Riau), Dr. M. Tegar Indrayana, Sp. FM (Dokter Spesialis Forensik), serta Tim Forensik Biddokes Polda Riau.

Dari hasil pemeriksaan ditemukan beberapa tanda kekerasan pada jenazah KB. Mayat anak laki-laki itu menunjukkan adanya memar pada perut sebelah kiri bagian bawah dan tungkai atas sebelah kiri sisi depan.

“Selain itu, ditemukan pula resapan darah pada jaringan lemak di bawah kulit daerah perut yang mengindikasikan adanya kekerasan tumpul,” kata AKBP Fahrian.

Namun, beberapa hari berselang, Polda Riau dalam press releasenya menyebut, kasus tersebut bukan akibat perundungan, tetapi akibat korban mengalami infeksi akut pasca pecahnya usus buntu.

Disebutkan, berdasarkan hasil visum et repertum dan autopsi, ditemukan memar pada bagian perut, paha kiri dan resapan darah pada jaringan lemak perut sebelah kiri korban.

Polisi menyimpulkan, luka-luka itu akibat kekerasan dari benda tumpul. Pun begitu, polisi juga menyimpulkan penyebab kematian korban adalah karena infeksi sistemik yang dipicu infeksi luas dan akut dalam rongga perut korban akibat pecahnya appendix.

Selain itu, kepolisian menegaskan, karena usia kelima anak pelaku perundungan masih di bawah 12 tahun, polisi memutuskan mereka tidak dapat dihukum.

Kelima anak tersebut kemudian dikembalikan kepada orang tuanya, sesuai Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pihak keluarga korban tidak terima dengan hal itu. “Sakit hati kami pak saat polisi mengatakan kami lalai dalam menjaga anak. Padahal semua pelaku sudah mengakui melakukan pemukulan terhadap anak kami. Kok dibilang anak kami meninggal karena infeksi usus buntu. Dia itu anak kami tertua dan menjadi harapan kami dimasa depan, kini ia telah tiada,” ujar orang tua korban, Gimson Butarbutar, Sabtu (7/6/2025) di Pekanbaru.

Meski banyak pihak menyebut, kasus tersebut berbau SARA, namun pihak keluarga korban tidak mau terseret dalam ranah itu. “Kami hanya ingin polisi mengusut tuntas kasus tersebut, agar menjadi pelajaran bagi seluruh masyarakat dan kejadian serupa tidak terulang di masa datang,” tukasnya. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *