JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada di angka 37. Hal ini menjadi sorotan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ibnu Basuki Widodo.
Menurut Ibnu, skor IPK itu merupakan yang terbaru atau tahun 2024 yang menggambarkan situasi korupsi di Indonesia sudah berada dalam zona merah.
“Skor kita hanya 37, kalau kita sekolah itu enggak lulus, nilainya merah semua, merah sekali,” ujar Ibnu dalam sambutan di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Rabu (17/9/2025).
Dikatakan, skor tersebut membuat Indonesia kini berada di urutan ke-99 dari 180 negara di 2024. Kemerosotan IPK itu terjadi karena korupsi di Indonesia begitu banyak dan terjadi di berbagai sektor.
Dicontohkan, banyak aparat penegak hukum yang semestinya menjaga integritas justru terlibat korupsi.
“Bahkan para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum itu pun terkontaminasi dengan korupsi. Kita hanya 37, padahal seharusnya dapat 100 yang bagus,” kata Ibnu.
Tahun 2019, Indonesia pernah meraih menjadi negara dengan nomor urut ke-80, tetapi merosot ke nomor 99.
“Nilai kita pernah naik di 2019 adalah 80, tetapi turun tiba-tiba menjadi 34, baru-baru ini naik ke 37,” ujarnya.
Kata Ibnu, skor IPK yang rendah menampar semua pihak untuk bekerja sama memberantas korupsi karena pemberantasan korupsi bukan hanya tugas penegak hukum.
“Jadi untuk meningkatkan Indeks Anti Korupsi, kita bersama-sama. Ini bukan tugas penegak hukum saja, melainkan tugas negara bersama-sama,” katanya.
Sebagai informasi, skor IPK dirilis Transparency International (TI), lembaga yang mengkaji korupsi di berbagai negara.
Skor 0 menjadi indikator sangat korup, sedangkan 100 paling bersih. Skor IPK 37 membuat Indonesia kalah dari sejumlah negara di ASEAN, yakni Vietnam (40), Timor Leste (44), Malaysia (50) dan Singapura (84).
Banyak Anggota Dewan Korup
Di sisi lain, Ibnu mengungkap, tingginya angka kasus korupsi di Indonesia diisi pegawai swasta dengan jumlah 485 kasus, diikuti eselon I, II, III dan IV dengan jumlah 443 kasus serta anggota DPR RI-DPRD 364 kasus.
Jumlah keseluruhan pelaku tindak pidana korupsi itu mencapai 1.878, berdasarkan profesi dan jabatan, yang telah ditindak hingga triwulan II 2025.
“Tindak pidana yang pernah ditangani ada 1.878 pelaku, antara lain DPR-DPRD 364, kepala lembaga atau kementerian 41, walikota/bupati dan wakil 171, eselon I, II, III, dan IV itu 443, hakim 31, jaksa 13, polisi 6, swasta 485 kasus,” tutur Ibnu.
Menurutnya, penyelenggara negara yang terseret korupsi biasanya tergoda karena adanya kesempatan, iming-iming dari pelaku dan integritas yang lemah.
Beberapa modus korupsi yang menyeret penyelenggara negara, menurut dia, adalah menyangkut pengadaan barang dan jasa, gratifikasi dan penyuapan.
“Modusnya adalah barang dan jasa 428 temuan, perizinan 28, gratifikasi atau penyuapan 1.068, ini yang paling besar. Kadang-kadang kita tidak sadari kita sedang menggunakan gratifikasi,” ungkap Ibnu.
Ibnu juga menyinggung pandangan yang menganggap koruptor bisa diciduk KPK karena sedang sial. Padahal, mereka tidak saja sial. Sebab, mereka kehilangan reputasi, jabatan dan kepercayaan publik.
“Ada yang masih mengatakan kalau (koruptor) ditangkap itu cuma sial doang,” ujarnya.
Dikatakan, akibat perbuatan culas itu, keluarga, terutama istri dan anak-anaknya, menjadi terdampak. Mereka dihujat orang lain karena korupsi yang dilakukan sang ayah, misalnya.
“Yang kasihan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, ‘pantas kaya, orang bapaknya korupsi’,” tukasnya. (kpc/bsh)