JAKARTA, FOKUSRIAU.COM-Perkebunan sawit di Sumatera hasil pelepasan kawasan hutan akan dikembalikan menjadi hutan. Ini merupakan imbas bencana banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
“Saya kemarin rapat, termasuk Menteri Kehutanan juga sedang mengevaluasi beberapa kebun-kebun yang dulunya hasil pelepasan kawasan hutan, kemungkinan besar dengan adanya bencana ini nanti akan ada evaluasi besar-besaran dan ada salah satu keputusan ekstremnya adalah dikembalikan menjadi fungsi hutan lagi,” kata Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid di Jakarta Pusat, Senin (08/12/2025).
Nusron menegaskan perlunya dilakukan revisi penataan ruang di Pulau Sumatera, imbas banjir yang telah menelan hampir ribuan korban jiwa tersebut, menurut data per 8 Desember 2025.
“Keputusan yang lebih baik itu apa? Revisi tata ruang, supaya kejadian yang sama tidak berulang,” ujar Nusron.
Ulasnya, wilayah Sumatera sudah kehilangan daerah resapan air, sehingga air tidak bisa terserap ke tanah dan akhirnya mengisi ruang-ruang yang ada, yakni permukiman.
“Karena penyangga serapannya dulunya adalah tumbuh-tumbuhan, pohon-pohon, pohonnya hilang. Terus gimana caranya supaya enggak ini? Ya kembalikan, yang dulunya itu ruang untuk pohon, yang sekarang diganti menjadi ruang untuk lainnya, kembalikan ruang itu untuk pohon,” kata Nusron.
Dikatakan, perlunya revisi 415 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota, karena hanya 100 RTRW yang sudah sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029.
“Belum lagi perubahan RTRW kabupaten/kota dari tiga provinsi, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, pasca-bencana ini pasti impact-nya nanti adalah perubahan RTRW secara besar-besaran, yang lebih mengedepankan mitigasi terhadap bencana,” katanya.
Cabut HGU Perusahaan Sawit
Nusron juga siap melaksanakan instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan kelapa sawit untuk lahan pembangunan hunian korban terdampak banjir Sumatera.
Kata Nusron, HGU perusahaan sawit yang akan dicabut adalah yang berdiri di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) milik negara.
“Ya siap, enggak masalah. Artinya kalau masyarakat membutuhkan hunian tetap dan tidak ada lahan yang tersedia, nanti kita akan minta lahan negara yang hari ini menjadi HGU-HGU di kota tersebut,” kata Nusron.
Sebelumnya, Prabowo menegaskan, pemerintah harus segera memastikan ketersediaan lahan untuk pembangunan hunian sementara (huntara) bagi warga yang terdampak bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Ia bahkan menyatakan siap mencabut sementara HGU apabila langkah itu diperlukan, misalnya HGU kelapa sawit.
Pernyataan tersebut disampaikan setelah Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto melaporkan, salah satu kendala utama percepatan pembangunan huntara bagi korban banjir Sumatera adalah terbatasnya lahan yang dapat disediakan pemerintah daerah.
Menanggapi hal itu, Prabowo kembali menekankan urgensi penyediaan lahan dan meminta adanya koordinasi penuh antara pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten, termasuk seluruh kementerian atau lembaga (K/L) teknis seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kehutanan.
“Saya kira ini harusnya adalah nanti koordinasi pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, pemerintah pusat semua K/L dan terutama ATR, Kehutanan, ATR/BPN dicek semua,” ujar Prabowo dalam Rapat Koordinasi Penanganan Banjir Aceh, seperti dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Senin (8/12/2025).
“Kalau perlu HGU-HGU bisa dicabut sementara, dikurangi. Ini kepentingan rakyat, lebih penting. Lahan harus ada (untuk hunian korban banjir Sumatera),” tegasnya.
Ia menilai, semua data pemanfaatan lahan harus ditelusuri secara menyeluruh, termasuk mempertimbangkan opsi pencabutan sementara atau pengurangan HGU bila itu menjadi jalan keluar agar lahan untuk warga terdampak dapat segera tersedia.
Dalam rapat tersebut, Prabowo juga meminta agar pemerintah mempertimbangkan penggunaan konstruksi pre-fabrikasi demi efisiensi lahan dan biaya.
Ketika pembahasan beralih ke pembangunan hunian tetap, ia mempertanyakan apakah anggaran Rp 60 juta per unit yang selama ini digunakan masih memadai.
Suharyanto menjelaskan, angka itu sebenarnya sudah sangat minimal, namun masih bisa diterapkan.
Ditambahkan, penerima bantuan diperbolehkan menambah biaya sendiri untuk meningkatkan kualitas rumah, meski bantuan dari pemerintah tidak boleh diberikan dalam bentuk uang tunai demi menghindari penyalahgunaan. (kps/bsh)




