Seiring waktu, Megawati memutuskan mengusung Gibran sebagai calon wali kota Solo. Gibran didampingi Teguh Prakosa yang juga kader PDIP. Situasi serupa terjadi di Pilkada Kota Medan. Partai banteng moncong putih lebih memilih mengusung menantu Jokowi, Bobby Nasution daripada kadernya sendiri Akhyar Nasution.
Keputusan tersebut mendapat perlawanan dari Akhyar. Pelaksana tugas Wali Kota Medan itu pun membelot ke Partai Demokrat. Akhyar kemudian diusung menjadi bakal calon wali kota Medan 2020 oleh koalisi Demokrat-PKS.
Merespons langkah Akhyar yang membelot, PDIP langsung memecat sosok yang merupakan Wakil Ketua DPD PDIP Sumut tersebut. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, partainya tak bisa mencalonkan Akhyar sebagai calon wali kota Medan 2020 karena diduga memiliki masalah hukum.
“Selain karena ambisi kekuasaan juga ada indikasi dugaan berkaitan dengan faktor hukum tersebut,” kata Hasto.
Teranyar, perlawanan terhadap rekomendasi yang dikeluarkan PDIP di Pilkada 2020 terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Wakil Bupati Banyuwangi yang juga kader PDIP, Yusuf Widyatmoko menerima pinangan dari sejumlah parpol lain untuk maju di Pilbup Banyuwangi 2020.
Yusuf mengaku kecewa DPP PDIP lebih memilih mengusung istri Abdullah Azwar Anas, Ipuk Fiestiandani di Pilkada Banyuwangi 2020. Menurutnya Ipuk hanya seorang ibu rumah tangga biasa, yang kebetulan adalah istri seorang bupati.
“Ya tentunya kan, (Ipuk) bukan kader partai, tidak pernah jadi pengurus partai, dia ibu rumah tangga biasa. Hanya karena istri bupati jadi ketua penggerak PKK. Ya, kecewa dong,” kata Yusuf, kepada CNNIndonesia.com, Senin (31/8).
Wakil Bupati Banyuwangi dua periode ini mengatakan, keputusan DPP PDIP tersebut telah menjatuhkan kader-kadernya sendiri, yang selama ini telah mengabdi dan berdedikasi kepada partai.
“Masa partai memberi rekomendasi kepada orang yang (di luar partai), ini kan sangat menjatuhkan. Menjatuhkan kader-kader partai yang sebenarnya punya potensi. Yang mana melalui proses panjang, kader partai ini kan mengabdi,” ujarnya.