Kolom  

UDD, UTDRS dan Masalah Kemanusiaan ‎‎

Oleh: Teddy G Chaniago, SH ‎‎

MASALAH kemanusiaan adalah masalah bersama yang perlu dibahas dan dirumuskan bersama terutama bagi para pemangku kebijakan (dececion maker).‎‎

Karenanya, kolaborasi dan koordinasi dalam bentuk sinergitas, perlu dikedepankan ketimbang hanya berbicara tentang gengsi.‎‎

Hal ini pula yang menyeruak ke permukaan saat Rumah Sakit Ahmad Mochtar Bukittinggi (RSAM) menghadirkan Unit Transfusi Darah Rumah Sakit (UTDRS) untuk mengantisipasi kekurangan darah bagi pasien mereka.‎‎Secara umum, itu hal biasa.

Apalagi jika pasokan darah dari Unit Donor Darah (UDD) dari Palang Indonesia (PMI) tersendat.‎‎Tapi, saat ketersediaan darah yang dihimpun PMI tidak bermasalah, masih perlukah RSAM mendirikan UTD demi mengamankan stok darah untuk pasien mereka?

‎‎Baik UDD PMI Kota Bukittinggi maupun UTD RSAM harus ingat, dalam Perpres No. 59 Tahun 2024 , Pasal 47 jelas dan terang akan Hak Peserta BPJS . ‎

Salah satunya adalah kebutuhan darah untuk pasien adalah tanggung jawab rumah sakit untuk menyediakannya sebagai pelayan kesehatan.

‎‎Harusnya kedua lembaga tersebut tidak perlu bersaing. Namun sebaliknya, mereka harus berkolaborasi erat dan bekerja sama dalam suatu sistem yang terintegrasi untuk memastikan ketersediaan dan keamanan pasokan darah di Indonesia.

‎‎Keberadaan UTDRS dalam aturan, dibolehkan saja melakukan pengambilan darah/menyarankan untuk mencari pendonor kepada keluarga pasien.‎‎

Tetapi harus diingat, jangan pernah memaksa keluarga pasien untuk mencari pendonor kalau stok darah di PMI ada.

‎‎Untuk diketahui, tugas Unit UDD dan Unit Transfusi Darah (UTDRS/BDRS) diatur dalam undang-undang Republik Indonesia, terutama UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah. ‎‎

UDD bertanggung jawab untuk mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan mendistribusikan darah. ‎‎

Sementara UTD, yang sering kali berada di rumah sakit bertugas menyimpan darah yang sudah siap pakai dan melakukan uji silang kecocokan sebelum ditransfusikan kepada pasien.‎‎

Jadi jelas, tujuan utama kedua unit ini adalah untuk memenuhi kebutuhan darah pasien secara cepat, aman, dan efisien untuk menyelamatkan nyawa. Persaingan hanya akan menghambat tujuan mulia ini.‎‎

Kolaborasi antara kedua belah pihak, memungkinkan pengelolaan stok darah yang lebih baik, mencegah kekurangan atau kelebihan stok darah yang dapat menyebabkan kadaluarsa serta memaksimalkan partisipasi masyarakat dalam donor darah.‎‎

Regulasi di Indonesia mengamanatkan adanya sistem pelayanan darah yang terkoordinasi. ‎‎UDD PMI berperan sentral dalam pengadaan darah secara nasional, yang kemudian didistribusikan ke UTD di rumah sakit-rumah sakit.‎‎

Mengingat sifat pelayanan darah adalah kemanusiaan dan nirlaba, fokusnya harus pada efisiensi dan efektivitas pelayanan, bukan pada persaingan bisnis. ‎‎

Dengan demikian, alih-alih bersaing, UDD dan UTD perlu merumuskan pola kerja sama yang solid untuk memastikan pelayanan transfusi darah berjalan lancar dan optimal bagi masyarakat. ‎‎

Unit donor darah lebih fokus pada proses pengumpulan darah dari pendonor, sementara unit transfusi darah adalah fasilitas yang bertanggung jawab atas seluruh rangkaian pelayanan darah, mulai dari pengumpulan hingga distribusi darah yang telah diproses kepada pasien yang membutuhkan. ‎‎

Dengan jelasnya rumusan tugas pokok dan kedua institusi tersebut, perlu kiranya kepala dingin yang dikedepankan. ‎‎

Sebab, darah sebagai urat nadi kehidupan harus dikelola dan diberikan kepada sesama anak negeri yang membutuhkan secara baik dan profesional.‎‎

Bukankah ini sebuah ladang amal yang sempurna karena semuanya berbicara tentang kemanusiaan. (*)

Penulis adalah jurnalis di Sumatera Barat

Exit mobile version