BENGKALIS, FOKUSRIAU.COM-Riau merupakan salah satu daerah dengan lahan gambut terbesar di Indonesia. Lahan gambut yang ada ternyata memiliki potensi besar untuk budidaya kopi liberika.
Mengapa harus kopi liberika? Alasannya, karena hanya jenis kopi ini saja satu satunya yang bisa dan cocok hidup di lahan gambut.
Demikian disampaikan Dr M Amrul Khoiri SP., M.P., C.APO kepada peserta workshop Agroforestry Budidaya Tumpang Sari Kopi di Kebun Sawit yang digelar Yayasan Gambut bersama Badan Pengelolaan Dana Perkebunan (BPDP) di Aula Kantor Desa Temiang, Selasa (28/10/2025).
Amrul juga menjelaskan cara budidaya kopi liberika mulai dari penyemaian, pembibitan sampai penanaman, terutama dalam hal pemilihan benih berkualitas dan bersertifikat.
“Langkah awal budidaya kopi ini sangat penting diperhatikan agar tanaman Kopi bisa tumbuh baik dan menghasilkan biji kopi yang maksimal,” ujarnya.
Sementara itu, pembicara kedua yang merupakan Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau Puan Habibah SP., MP tampil mengupas potensi penyakit kopi liberika, yakni jamur dan bakteri.
Berdasarkan penelitian, 50 – 70 persen menurunnya produktivitas kopi akibat jamur dan bakteri. Inilah yang menjadi tantangan utama petani nantinya.
“Penyakit kopi disebabkan jamur, berupa bercak kuning dan menyebabkan kopi mati perlahan-lahan. Selain itu juga akibat bakteri yang membuat warna cepat berubah,” urainya.
Terakhir, Puan menyampaikan solusi tepat mengatasi tanaman yang terkena jamur dan bakteri. Caranya, melakukan pemangkasan, sanitasi kebun, bakar daun yang terkena penyakit, melakukan pemupukan seimbang dan menggunakan alat panen dan gunting yang bersih.
Memasuki sesi kedua, giliran Joni Irawan, S.P., M.Si, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau tampil sebagai pembicara.
Joni menekankan aspek teknis pemeliharaan dan pascapanen. Ia menilai, keberhasilan tumpang sari tidak hanya ditentukan oleh keberanian menanam, tetapi juga oleh ketelitian dalam perawatan.
“Sekarang ini kita mencoba mengintegrasikan tanaman kopi dengan kelapa sawit. Untuk itu, pemupukan harus dilakukan seimbang, kombinasi pupuk organik dan kimia penting agar tanaman berproduksi maksimal,” ujarnya.
Khusus untuk lahan gambut, jenis kopi liberika sangat cocok ditanam. Mengapa harus di tanam di kebun sawit? Karena tanaman kopi butuh naungan agar bisa tumbuh dengan baik.
Bagaimana pula perawatannya, apakah tidak mengganggu tumbuhan sawit yang sudah ada? Joni menerangkan, semua bisa diatas dengan teknis penanaman.
“Caranya dengan membuat jarak tanam. Dimana masing-masing gawangan sawit cukup ditanam satu pohon kopi saja. Ini akan mempermudah petani dalam hal perawatan,” ungkapnya.
Selain itu, pemangkasan cabang tua, pembuangan ranting terserang penyakit, serta pengaturan sirkulasi cahaya menjadi langkah penting menjaga vitalitas tanaman.
“Tanaman kopi mulai berbuah pada umur 2,5 hingga 3 tahun. Dengan pemeliharaan baik, umur 3,5 tahun sudah bisa panen perdana,” ulasnya.
Pendekatan teknis ini, menurut Joni, harus disosialisasikan secara berkelanjutan agar petani tidak hanya menanam, tapi juga mampu menjaga kualitas hasilnya.
Pada sesi terakhir, Hisam Setiawan tampil menyampaikan peluang petani dalam mendapatkan ‘cuan’ dari hasil Kopi.
Pendiri Yayasan Gambut ini menutup sesi dengan menekankan dimensi sosial dan ekonomi: tata niaga berbasis kelompok masyarakat.
Menurutnya, keberhasilan agroforestry tidak akan berarti banyak tanpa sistem tata niaga yang adil.
“Selama ini petani sering dikendalikan tengkulak. Padahal mereka bisa mengelola sendiri hasilnya lewat koperasi. Bapak dan ibu tak perlu kuatir soal pemaq1saran kopi ini. Kami siap membantu petani dalam hal ini,” ujarnya.
Sebab, menurut Hisam, tata niaga berbasis masyarakat mencakup seluruh rantai nilai (dari penanaman, panen, pengolahan, hingga pemasaran) yang dikendalikan langsung oleh petani.
“Dengan model ini, mereka bisa menentukan harga, menjaga kualitas, dan membangun kemandirian ekonomi desa,” tuturnya.
Hisam optimistis, ermintaan kopi liberika yang terus meningkat menjadi peluang besar bagi petani di Riau.
“Kopi bukan hanya tanaman tambahan di kebun sawit, tapi simbol perubahan, dari ketergantungan menuju kemandirian,” tukasnya.
Workshop hari pertama diakhiri dengan penyerahan sertifikat kepada narasumber dan foto bersama. (bsh)



