Pindah ke Bukittinggi
Hari sama di Bukitinggi, Sumatera Barat, Sjafruddin Prawiranegara selaku Menteri Kemakmuran RI mengunjungi Teuku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatera/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya untuk merundingkan situasi terkini.
Bersama beberapa tokoh lain, mereka mendeklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia atau PDRI. Sementara beberapa jam sebelum Sukarno-Hatta ditangkap, digelar pula sidang kabinet di Yogyakarta. Dua keputusan dihasilkan.
Pertama, Sukarno dan Hatta tetap tinggal di Yogyakarta meski menghadapi risiko penangkapan. Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk membentuk pemerintah Republik Darurat. Maka, sejak 22 Desember 1948 ibu kota RI pindah ke Bukittinggi.
“Pembentukan PDRI oleh Sjafruddin didasarkan pada inisiatifnya sendiri,” tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Biografi Politik. Alasannya, hasil rapat kabinet itu tak pernah diterima Sjafruddin karena para petinggi RI dan staf keburu ditahan Belanda.
Ibu kota RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Dan pada 10 Juli 1949 Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogyakarta. Sjafruddin bertindak sebagai inspektur upacara penyambutan para pemimpin RI yang akhirnya dibebaskan Belanda dan kembali ke Yogya.
Selanjutnya digelarlah Sidang Kabinet Sukarno-Hatta untuk yang pertama kalinya sejak Agresi II Belanda. Agenda pokok pada sidang tersebut adalah penyerahan Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Sukarno-Hatta.
Sekitar setahun kemudian, atau pada 17 Agustus 1950, setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini sekaligus menjadikan Jakarta kembali sebagai ibu kota RI.
Sama seperti Konstitusi RIS, UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 menyebut: Pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain.
Pemberlakuan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat kedudukan ibu kota negara kembali kabur. Baru pada 1960-an Jakarta mendapat status Daerah Khusus Ibu Kota melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1961 dan Kemudian UU No 10 Tahun 1964. (*)
Editor: Boy Surya Hamta
Sumber: Liputan6.com