Banner Bupati Siak

Istilah Anggota DPRD Riau Soal ‘Pitih Sanang’ Lukai Hati Warga Sumbar

Debit air waduk PLTA Koto Panjang di Kabupaten Kampar meningkat. (Foto: Istimewa)

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Sumbar Maswar Dedi menyatakan, selama ini Pemprov Sumbar terus menjaga daerah tangkapan air itu, padahal daerah hutan lindung itu dapat diajukan perubahan fungsi pada RTRW menjadi kawasan budi daya HP (hutan produksi) atau area penggunaan lain (APL) untuk kepentingan daerah.

“Sebenarnya banyak investor bidang perkebunan yang tertarik berinvestasi di daerah tangkapan air Waduk Koto Panjang itu. Hal itu bisa dimungkinkan dengan menjadikan kawasan tersebut menjadi hutan produksi atau area penggunaan lainnya. Namun karena ini menyangkut ketersediaan air untuk waduk Koto Panjang dan mempertimbangkan warga Riau, hal itu tidak dilakukan,” katanya.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPRD Sumbar Afrizal menyatakan, persoalan jatah pembagian hasil Pajak Air Permukaan itu menyangkut harga diri rakyat Sumbar yang dilecehkan.

“Dari pembagian pajak hanya dapat sekitar Rp1,5 miliar, namun Pemprov Sumbar menganggarkan tiap tahun lebih dari Rp2 miliar di APBD. Kalau soal untung rugi, rugi kami. Yang sebenarnya terima yang senang itu siapa? Kalau boleh saya nyatakan Pemprov Riau lah yang banyak dapat untung dari adanya waduk PLTA Koto Panjang ini,” ujarnya.

“Rakyat kami yang selalu tertimpa bencana banjir tiap tahun, namun kami tetap ikhlas menjaga persaudaraan dengan masyarakat Riau. Ke depan, kami akan mempertimbangkan opsi pengalihan air sungai ke tempat lain, jika persoalan ini tidak segera diselesaikan Kemendagri dan permintaan maaf oknum anggota DPRD Riau yang bicara seperti itu,” imbuhnya.

Diketahui, pemicu kisruh polemik antara DPRD Riau dengan masyarakat Sumbar berawal dari lahirnya surat Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Nomor 973/2164/KEUDA tanggal 5 Mei 2020 tentang Penyelesaian Pajak Air Permukaan ULPLTA Koto Panjang ke General Manager PT PLN (Persero) UIK Sumatera Bagian Utara pada poin Nomor 3:

a. DAS, Hulu dan HILIR dapat dipandang sebagai satu kesatuan sumber daya air, tetapi dalam konteks perpajakan titik pajaknya adalah dimana air tersebut dimanfaatkan.

b. Pemerintah Daerah yang berwenang memungut pajak air permukaan adalah pemerintah daerah yang memiliki wilayah di mana air permukaan tersebut berada sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (*)

Editor: Boy Surya Hamta
Sumber: Merdeka.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *