Kolom  

Senja Kala Wahabi di Arab Saudi

Mohammad Nuruzzaman. (Foto/Dok. SINDOnews)

Oleh: Mohammad Nuruzzaman

TIDAK ada satu pun orang atau kelompok yang bisa lolos dari hukum perubahan. Perubahan adalah hukum mendasar dari kehidupan. Kehidupan disebut kehidupan karena ia terus menerus dalam perubahan.

Karena itu, setiap bentuk konservatisme pada akhirnya akan menemui konflik dalam dirinya. Inilah yang kita temui di Arab Saudi.

Setiap Muslim yang datang ke Mekkah, terutama bagi yang diliputi perasaan rindu kepada Nabi Muhammad SAW, akan penasaran mencari-cari di mana dulu bayi mungil Rasulullah dilahirkan Sayyidah Aminah.

Mudah sekali mencari informasi di mana lokasi tempat kelahiran sang Rasul. Seluruh informasi yang disediakan oleh internet memberi petunjuk ke sebuah bangunan sederhana bercat kuning yang bertuliskan Maktabah Makkatul Mukarramah (Perpustakaan Makkatul Mukarramah).

Perpustakaan ini terletak di Al-Masjid Al-Haram Rd, Shib Amir/Shib Ali, Mekkah. Dekat Masjidilharam. Lebih tepatnya: Jika Anda keluar dari Masjidilharam melalui pintu 25 (Bukit Shafa), belok kiri ke arah Terminal Shib Amir. Sekitar setengah kilometer, Anda akan menemukan perpustakaan itu.

Lokasi bangunan akan berada di kanan Anda. Tapi ketika mendatangi bangunan perpustakaan itu, kita akan menemukan tulisan yang ditempel di beberapa sudut dinding luarnya yang menerangkan bahwa tidak ada sumber otoritatif yang menerangkan bahwa ini adalah tempat kelahiran Rasulullah.

Keterangan ini disertai larangan untuk melakukan ritual baik di luar maupun di dalam perpustakaan. Penyangkalan dan larangan ini juga dengan mudah kita baca di malam hari melalui tulisan jalan (running text) yang ada di video tron yang dipasang di teras depan.

Intinya, tak ada informasi yang dikeluarkan oleh otoritas resmi Pemerintah Arab Saudi terkait di mana lokasi kelahiran Nabi Muhammad SAW. Saya ragu untuk menyebut perpustakaan ini sebagai tempat kelahiran Nabi tercinta sekalipun hampir semua sumber informasi mengarahkan kita ke bangunan Perpustakaan Makkatul Mukarramah ini.

Apakah ini cara dakwah Wahabi yang sejak awal menghancurkan berbagai situs sejarah kenabian untuk menghindari berbagai praktik yang mereka anggap sebagai syirik dan khurafat? Sekalipun penghancuran beberapa situs memang dengan alasan perluasan Masjidilharam atau Masjid Nabawi, namun ada beberapa situs bersejarah yang dihancurkan karena dianggap menyebabkan umat Islam berlaku syirik.

Jika benar demikian, maka Wahabisme Arab Saudi sebetulnya sedang terdesak oleh berbagai perubahan. Datanglah ke Mina! Sekitar setengah kilometer dari jamarat aqabah (tempat melempar jumrah aqabah), Anda akan menemukan masjid kecil tak beratap yang disebut Masjid Baiah Aqabah.

Ini adalah lokasi ketika orang-orang Madinah berbaiat kepada Nabi Muhammad SAW dan memintanya untuk hijrah ke Madinah di tahun kesepuluh kenabian. Situs ini terawat dengan baik. Bahkan di depannya ada board bertuliskan keterangan resmi tentang riwayat sejarah masjid ini.

Pada saat musim haji, ada seorang kurator yang ditugaskan Kementerian Kebudayaan untuk melayani pengujung yang datang ke masjid ini. Dari kurator resmi inilah saya mendapatkan konfirmasi bahwa Pepustakaan Makkatul Mukarramah memang tempat kelahiran Baginda Rasul.

Terlepas dari adanya sumber yang menolak Perpustakaan Makkatul Mukarramah sebagai lokasi kelahiran Nabi, juga seberapa jauh keahlian si kurator dalam memahami sejarah perpustakaan tersebut, saya langsung mempertanyakan spanduk dan video tron di perpustakaan yang justru memberi informasi sebaliknya.

Dengan senyum ramah dan agak sedikit “malu-malu”, dia menjelaskan bahwa itu sekadar untuk mencegah orang-orang agar tidak melakukan ritual di tempat kelahiran Nabi.

Mendapatkan penjelasan seperti ini dari petugas resmi pemerintah, saya shock. Selalu ada orang-orang yang melakukan ritual berlebihan di setiap tempat yang dianggap suci, bahkan di depan Kakbah sekalipun.

Sekalipun begitu, melenyapkan jejak sebuah situs sejarah penting tetap patut disayangkan. Umat Islam telah mengambil pelajaran dari umat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa. Apa yang mungkin akan dilakukan umat Islam terhadap sang Junjungan Rasul Muhammad?

Sebagian besar mereka akan bershalawat. Terjauh, mereka akan meminta syafaat kepada Nabi, yang itu sekalipun ikhtilaf pada beberapa ulama, namun tidak akan menjerumuskan umat Islam pada menuhankan Nabi Muhammad SAW.

Sejauh pengalaman saya berkunjung ke beberapa situs penting yang masih terpelihara, saya tidak menemukan praktik syirik seperti yang begitu ditakutkan oleh kalangan Wahabi.

Para pengunjung Masjid Baiah Aqabah, atau Masjid Ku’ di Thaif (lokasi di mana Rasulullah dilempari batu penduduk Thaif), atau Masjid Istiqbal Madinah (lokasi Nabi berpidato saat datang pertama kali hijrah ke Madinah), atau Majid al-Mustarah (tempat istirahat Nabi sepulang dari Perang Uhud), tidak ada orang yang melakukan ritual berlebihan.

Mereka akan melakukan ziarah antarwaktu dalam pikiran masing-masing membayangkan perjuangan Nabi. Terucap shalawat dan salam baik di bibir maupun di hatinya kepada Nabi, kemudian salat sunah. Jika situs-situs bersejarah itu dipelihara, itu akan memberi keuntungan pada berbagai pihak.

Bagi Pemerintah Arab Saudi, situs-situs ini memperkaya destinasi peziarahan bagi umat Muslim yang berkunjung ke Mekkah dan Madinah. Bagi umat Islam, hal itu akan menjadi pelajaran yang luar biasa.

Para Muslim yang berziarah ke Mekkah akan memiliki kesempatan menapaktilasi perjuangan Nabi junjungannya, yang itu memberi dampak positif dalam kehidupannya. Mengamati berbagai perkembangan saat ini, jelas bahwa Wahabisme mau tak mau dipaksa untuk menyadari bahwa konservatisme yang ekstrem bertentangan dengan hukum perubahan.

Keinginan Wahabi untuk menutupi tempat kelahiran Nabi diam-diam dibongkar oleh juru bicara resmi Pemerintah. Di berbagai lokasi, Pemerintah Arab Saudi melalui kementerian Kebudayaan merawat situs-situs penting masa lalu dan memberi informasi secara resmi.

Sekalipun ziarah kubur kurang mendapat tempat di kalangan Wahabi karena dianggap bisa menggelincirkan peziarah pada praktik syirik dengan berdoa kepada si mayat atau menjadikan si mayat sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, namun Pemakaman Ma’la, tempat di mana jasad Sayyidah Khadijah dibaringkan, pada jam-jam tertentu dibuka untuk umum.

Bahkan ketika Masjidilharam dianggap sebagai wilayah suaka Wahabisme Arab Saudi, siapa yang bisa membatasi berbagai ragam mazhab yang dibawa umat Muslim yang datang dari seluruh penjuru dunia. Para pengunjung Masjid Nabawi di Madinah mengantre untuk bisa masuk ke Raudlah, untuk berdoa dan memberi hormat kepada Sang Nabi kekasih hati.

Ini beberapa perkembangan di Arab Saudi. Wahabi jelas masih menjadi mazhab dominan. Namun berbagai perkembangan membuat Wahabi harus menerima kenyataan bahwa saat ini mereka hidup di milenium ketiga, bukan abad keenam Masehi di mana segalanya masih sangat sederhana.

Menghentikan gerak perubahan dalam hidup, apalagi bersikeras memutar kehidupan ke masa lalu, sama dengan menyangkal kehidupan itu sendiri. Dan, itu berarti menutup sejarahnya sendiri. (sindonew.com/bsh)

* Penulis adalah Staf Khusus Menteri Agama Republik Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *