Oleh: Bagindo Yohanes Wempi*
SAATNYA peringatan hari raya atau lebaran Umma Islam perlu dilakukan kontruksi ulang yang sesuai dengan adab dan pelaksanaan secara agama Islam yaitu merayakan Idhul Fitri, tapi tidak lebaran ala kehidupan hedonis.
Lebaran dengan budaya merayakan berlebih-lebihan, bisa menyebabkan terjadinya pesta kaum hedonis, akhirnya dapat memiskinkan orang secara ekonomi atau material paska lebaran itu.
Memperingati Hari raya Idhul Fitri itu sangat sederhana prosesi yang dilakukan dan sudah ada adabnya misal menjelang hari raya (id), umat Islam dianjurkan menghidupkan suasana di malam hari sebelumnya. Artinya umat Islam tidak sebaiknya tidur awal, tetapi menyibukkan diri terlebih dahulu dengan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan pelaksanaan shalat id di pagi harinya.
Sebelum shalat id disunahkan mandi di pagi hari dengan mengguyur seluruh tubuh dan anggota badan, yakni dari rambut di kepala hingga telapak kaki dengan air. Adapun bacaan niatnya sebagai berikut ;
Aku niat mandi untuk merayakan Idul Adha/Idul Fitri sebagai sunah karena Allah Taála.
Setelah berpakaian bersih dan suci, jangan pakaian baru yang dipakai karena baju baru tersebut belum tentu suci dan bersih disaat pembuatan, penjualan dan penyimpanan sebelum Kita membelinya, baiknya baju baru itu dicuci terlebih dahulu agar diyakini ini bersih dan suci.
Sesampai ditempat ibadah, semua melaksanakan sholat Idhul Fitri berjamaah, serta dianjurkan dilapangan, disini Kita melaksanakan sholat dengan tingkat kekhusyukan ibadah harus prima karena pahalanya besar.
Setelah itu, selama dalam perjalanan pulang menuju rumah hendaknya kita bertegur sapa dengan ramah. Hal ini pertanda sebagai kegembiraan umat Islam di hari raya sekaligus untuk menghindari gunjingan, misalnya karena dianggap bersikap sombong dan sebagainya.
Sesampai dirumah saling maaf memaafkan dan diusahakan dilakukan silaturahmi ketempat saudara untuk mengokohkan ukuwah islamiah dan kebersamaan paska sholat Idhul Fitri tersebut.
Dari uraian pelaksanaan hari raya Idhul Fitri tidak ada tradisi memboroskan material secara ekonomi, tidak ada uang keluar, semua proses sangat simpel sekali, tampa adanya, dengan proses lebaran ini ummat akan miskin dalam situasi erekonomian sulit
Himbawan mari Kita lakukan efesiensi lebaran secara ketat namun lakukanlah peringatan Idhul Fitri sesuai dengan ajaran agama Islam yang tidak membebani ummat.
Setelah itu budaya THR juga perlu dihapuskan karena dalam agama Islam budaya itu tidak ada, sedangkan ummat hanya disuruh memberi/membayarkan zakat fitrah, tidak diatur THR kecuali hanya kebijakan populis yang dilakuan pada era 1950an.
Tunjangan Hari Raya (THR) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi perayaan hari raya di Indonesia. Bagi banyak pekerja, THR bukan hanya sekadar tunjangan, tetapi juga menjadi momen yang ditunggu-tunggu setiap tahun. Namun, tahukah Anda bagaimana awal mula kebijakan THR dan bagaimana perjalanannya hingga menjadi bagian penting dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia?
Pemberian THR pertama kali diperkenalkan tahun 1951, saat Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo.
Pada awalnya, kebijakan ini hanya berlaku untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai bagian dari program kesejahteraan pamong praja. Dalam bentuk yang sederhana, THR kala itu diberikan dalam bentuk pinjaman awal atau uang persekot yang nantinya harus dikembalikan melalui pemotongan gaji bulanan.
Berarti awal THR itu adalah pinjaman bukan pemberian pada masyarakat, menurut Penulis sudah saatnya THR ini dihapus dalam budaya umat Islam, jika tidak dihapuskan suatu masa THR akan bisa menjadi nilai yang dianggap bagian dari agama Islam. (*)
* Kandidat Ketua KONI Provinsi Sumatera Barat