PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2025. Alhasil, skor integritas Pemerintah Provinsi Riau hanya 62,8 atau turun 5 poin dari tahun sebelumnya.
Hasil ini sekaligus menempatkan Riau dalam kategori daerah rentan korupsi. Kondisi itu kian memprihatinkan, ketika hampir seluruh kabupaten/kota di Riau berada dalam zona merah atau wilayah dengan tingkat kerentanan korupsi tinggi.
Hanya Kota Dumai dan Kabupaten Kampar saja yang berada di zona kuning. Parahnya, tak satupun daerah di Riau berada dalam zona hijau atau zona pemerintahan dengan tingkat integritas tinggi dan relatif bebas korupsi.
Hasil SPI KPK tersebut sejalan dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2024. Dimana terdapat 93 temuan, terkait ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dan indikasi pemborosan serta in efisiensi anggaran.
Di sisi lain, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau mencatat, terdapat 31 kasus korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran, suap dan gratifikasi dengan jumlah tersangka mencapai sekitar 76 orang dan tersebar di seluruh kabupaten dan kota Riau.
Ironisnya, tren tersebut belum menunjukkan perbaikan. Tahun 2025 justru diwarnai dengan pengembangan kasus dugaan SPPD fiktif DPRD Riau dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Dinas PUPR Riau.
“Fakta ini semakin menegaskan bahwa korupsi di Riau bersifat sistemik, terorganisir, dan melibatkan aktor-aktor kunci kekuasaan,” kata Kordinator Fitra Riau Tarmidzi, Minggu (14/12/2925).
Rendahnya skor integritas di Riau, menurut penilaian FITRA Riau akibat beberapa faktor. Di antaranya komitmen antikorupsi bersifat formalitas dan tidak diterjemahkan dalam kebijakan serta praktik nyata.
Masalah lain, lemahnya pengawasan internal dan DPRD serta minimnya tindak lanjut atas rekomendasi BPK.
Untuk keluar dari zona merah dan memulihkan kepercayaan publik, Tarmidzi menyebut, FITRA Riau mendorong langkah-langkah konkret seperti reformasi tata kelola anggaran secara menyeluruh.
Pemerintah daerah harus membuka akses publik terhadap seluruh siklus APBD. “Mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga pelaporan dengan data yang mudah diakses dan dipahami,” harapnya.
Tarmidzi mengingatkan, rendahnya skor integritas bukan sekadar reputasi buruk, tetapi ancaman serius bagi pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan masa depan pembangunan Riau.
“Jika tidak ada perubahan, korupsi akan terus menggerogoti APBD dan merampas hak dasar masyarakat,” tukasnya. (trp/bsh)
