Tahun Baru, Menanti Harapan Baru

Oleh: Dr. Syafriadi M.H*

Kini kita telah berada di ambang tahun 2026. Hanya tinggal hitungan hari sebelum tahun 2025 benar-benar menutup lembarannya.

Tahun yang akan kita tinggalkan ini tidak sekadar berlalu sebagai catatan waktu, tetapi menyisakan duka yang mendalam dalam kehidupan banyak orang.

Duka itu patut dicatat sebagai bahan introspeksi bersama, terutama yang bersumber dari tekanan ekonomi yang kian terasa.

Bagi sebagian besar masyarakat, 2025 bahkan dapat dikenang sebagai salah satu tahun tersulit ketika daya tahan hidup diuji, kepastian kerja goyah, dan kesejahteraan menjadi barang yang semakin mahal untuk diraih.

Dulu, kita menaruh harapan besar bahwa Pemilu dan Pilkada akan menjadi jalan keluar dari benang kusut kehidupan yang kian semrawut.

Demokrasi elektoral dipercaya mampu menghadirkan terang, menata ulang arah, dan memberi jeda bagi penderitaan yang menumpuk. Namun ketika pemilu telah usai dan seluruh tahapan pilkada ditutup, kenyataan justru berkata lain.

Benang-benang kusut itu tidak terurai, melainkan semakin membuhul dalam ikatannya. Kian kuat, kian mencengkeram, dan kian sulit dibuka.

Harapan yang semula dijanjikan berubah menjadi beban kekecewaan. Hari-hari pun dijalani seolah berada di lorong-lorong gelap, sempit, dan tanpa cahaya penunjuk arah.

Kita patut mengingat kata-kata Bung Karno, Proklamator Bangsa, bahwa “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” 

Sebuah peringatan yang kian relevan dalam praktik demokrasi lokal hari ini. Mohammad Hatta pun telah jauh-jauh hari menegaskan bahwa demokrasi tidak akan hidup tanpa keadilan sosial.

Namun dalam realitas Pilkada, demokrasi sering kali berhenti sebagai prosedur dan seremonial belaka.

Setelah kepala daerah terpilih dan dilantik, orientasi pemerintahan kerap tersedot pada konsolidasi kekuasaan, pembagian jabatan, serta pemenuhan kepentingan koalisi politik.

APBD lebih banyak diarahkan untuk membiayai program-program simbolik dan proyek jangka pendek yang menguntungkan elite, sementara persoalan mendasar seperti daya beli masyarakat, lapangan kerja, dan layanan publik tetap berjalan di tempat.

Pilkada pun akhirnya hanya melahirkan pergantian elit, bukan perubahan nasib rakyat, sehingga keadilan sosial terus tertunda dan demokrasi kehilangan makna substantifnya.

Pada mulanya, harapan akan hadirnya keadilan sosial itu bertumpu pada sosok Prabowo Subianto. Presiden terpilih ini sejak awal membangun narasi politik dengan jargon-jargon kerakyatan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam berbagai pidato yang sarat retorika nasionalisme, Prabowo sering mengutip Pasal 33 UUD 1945 tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari panggung-panggung politik itu, tersirat citra seorang nasionalis tulen, seolah hidup dan matinya telah diwakafkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Namun justru di titik inilah harapan itu diuji: apakah nasionalisme yang lantang disuarakan mampu menjelma menjadi kebijakan nyata yang benar-benar berpihak, atau kembali berhenti sebagai janji yang indah di telinga tetapi hampa dalam realitas.

Satu tahun telah berlalu sejak kekuasaan berada di puncaknya. Namun hingga kini, banyak orang belum merasakan hadirnya kebijakan yang benar-benar berdampak luas dan mampu menggeser gelap-gulita ekonomi menuju cahaya yang terang benderang.

Janji-janji besar yang dahulu menggugah harapan perlahan berhadapan dengan realitas hidup sehari-hari yang kian berat.

Maka tidak berlebihan jika tahun 2025 dikenang sebagai salah satu fase paling sulit yang pernah dilalui masyarakat, tahun ketika bertahan hidup menjadi agenda utama, sementara kesejahteraan tetap menjadi harapan yang tertunda.

Daerah-daerah yang semula diharapkan mampu menjadi lokomotif trickle-down effect ekonomi, dalam kenyataannya justru ikut terjerat persoalan finansial akibat kebijakan ekonomi pusat yang tidak berpihak.

Banyak kepala daerah mengeluhkan ruang fiskal yang kian menyempit karena pemangkasan dana dari pusat. Bahkan, dengan nada frustrasi, ada kepala daerah yang berujar, “kami dibuat seperti pengemis.” 

Kondisi ini belum termasuk realitas di daerah-daerah bencana, seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh, di mana beban yang dihadapi jauh lebih berat.

Di sana, saudara-saudara kita tidak hanya bergulat dengan kesulitan ekonomi, tetapi juga kehilangan rumah, mata pencaharian, dan seluruh penopang kehidupan mereka.

Lalu bagaimana dengan tahun 2026? Apakah kita masih harus berjalan di lorong-lorong gelap perekonomian?

Pertanyaan ini memang tidak mudah dijawab secara pasti. Sebagian ekonom bersikap pesimistis, melihat tekanan struktural yang belum sepenuhnya terurai.

Namun di sisi lain, ada pula yang optimistis bahwa 2026 akan bergerak ke arah yang lebih baik dibandingkan 2025.

Harapan itu setidaknya disandarkan pada asumsi bahwa denyut ekonomi akan mulai pulih pasca-Lebaran atau Idulfitri, ketika konsumsi meningkat dan aktivitas ekonomi kembali menggeliat.

Meski demikian, optimisme tersebut tetap menuntut kehati-hatian, sebab cahaya di ujung lorong tidak akan hadir dengan sendirinya tanpa keberpihakan kebijakan yang nyata.

Riau adalah provinsi yang secara finansial masih bergantung kuat kepada pusat. Kendati kerap dinisbatkan sebagai daerah kaya, karena dianugerahi sumber daya alam yang melimpah (mulai dari minyak, gas, hingga kehutanan) sentralisasi ekonomi yang dikendalikan pemerintah pusat justru membuat kekayaan itu tidak sepenuhnya kembali ke daerah.

Akibatnya, Riau yang disebut kaya itu tak ubahnya seperti lilin: memberi terang bagi banyak kepentingan, tetapi perlahan meleleh dan habis oleh panas yang ia hasilkan sendiri.

Stigma sebagai daerah rawan korupsi sebagaimana tercermin dalam Survei Penilaian Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2025, ikut membebani provinsi ini dalam menopang perekonomian rakyat.

Label tersebut tidak hanya berdampak pada citra pemerintahan daerah, tetapi juga berimplikasi langsung pada kinerja anggaran. Padahal, salah satu penopang utama denyut ekonomi lokal adalah APBD.

Ketika proyek-proyek yang dibiayai APBD tidak berjalan optimal, mulai dari pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan dan jembatan, hingga penguatan sektor UMKM, maka trickle-down effect yang diharapkan pun tidak terjadi.

Akibatnya, perputaran ekonomi di tengah masyarakat melemah, dan kesejahteraan rakyat kembali tertahan.

Harapan banyak masyarakat Riau—termasuk saya—adalah agar geliat perekonomian dapat kembali berjalan normal pada tahun 2026.

Harapan itu sederhana, namun mendasar: roda ekonomi berputar, kesempatan kerja terbuka, dan kebijakan benar-benar berpihak pada kehidupan rakyat sehari-hari.

Pada akhirnya, harapan itu tidak boleh padam, sebab seperti diingatkan Mohammad Hatta, “kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, tetapi tidak jujur dan tidak beritikad baik sulit diperbaiki.” 

Optimisme akan 2026 hanya akan menjadi nyata jika kejujuran, keberpihakan, dan keberanian mengambil kebijakan yang adil benar-benar dihadirkan dalam praktik kekuasaan.

Selamat datang 2026. Tahun yang kita sambut bukan sekadar dengan angka baru, tetapi dengan harapan baru. (*)

* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *