Kolom  

Kurikulum Baru, Metode Lama Masih Dipertahankan

Oleh : Randa Gusmanedi*

Dalam dunia pendidikan, pergantian kurikulum selalu dianggap sebagai simbol pembaruan. Ia dikemas seolah menjadi solusi atas berbagai kegagalan sistem pendidikan sebelumnya.

Kita menyaksikan bagaimana Kurikulum Merdeka lahir dengan semangat besar untuk melepaskan siswa dari belenggu pembelajaran yang kaku, mengembalikan kemerdekaan belajar pada murid, dan memberi keleluasaan kepada guru untuk merancang pembelajaran yang relevan dan kontekstual.

Namun, realita di lapangan berbicara sebaliknya. Meski kurikulumnya berubah, metode mengajar yang digunakan masih tetap sama seperti puluhan tahun lalu.

Kurikulum mungkin berganti sampul dan istilah, tetapi isi kelas tetap sunyi, dengan guru yang dominan berbicara dan murid yang pasif menyimak, mencatat, dan menghafal.

Fenomena ini menunjukkan adanya jarak antara idealisme kurikulum dengan realitas implementasi. Kurikulum Merdeka dirancang untuk mendorong pembelajaran yang berpihak pada siswa, namun di banyak sekolah, pembelajaran masih bersifat satu arah, berbasis buku teks, dan minim ruang eksplorasi.

Sering kali kita menemukan guru yang masih terjebak pada metode ceramah dari awal hingga akhir pelajaran, seolah-olah siswa adalah gelas kosong yang harus diisi, bukan pribadi yang punya rasa ingin tahu, potensi, dan suara.

Pergeseran kurikulum tidak otomatis membawa transformasi dalam proses belajar-mengajar jika tidak dibarengi dengan perubahan paradigma dan metode mengajar.

Perubahan kurikulum seharusnya membawa pembaruan yang lebih menyeluruh: mulai dari cara pandang guru terhadap perannya, pendekatan belajar yang digunakan, hingga budaya belajar di dalam kelas.

Sayangnya, yang sering berubah hanya aspek administratif. Guru dituntut membuat RPP, modul ajar, dan asesmen diagnostik berbasis kurikulum baru, namun substansi penyampaian materi tetap konvensional.

Alih-alih menjadi fasilitator pembelajaran aktif, guru masih berperan sebagai pusat informasi. Hal ini menyebabkan perubahan kurikulum terasa artifisial, tidak mengakar, dan gagal mencapai tujuan utamanya, yaitu membentuk pembelajaran yang membebaskan dan menyenangkan.

Salah satu alasan utama kegagalan transformasi metode mengajar adalah minimnya pelatihan yang holistik bagi para pendidik. Banyak guru merasa kebingungan menghadapi tuntutan kurikulum yang menggunakan istilah-istilah baru seperti asesmen formatif, diferensiasi, atau pembelajaran sosial-emosional.

Mereka tidak diberikan waktu dan ruang yang cukup untuk memahami filosofi perubahan ini secara menyeluruh. Bahkan di beberapa daerah, pelatihan kurikulum hanya berlangsung beberapa jam melalui Zoom atau WhatsApp, tanpa pendampingan nyata dalam pelaksanaan di kelas. Maka tak heran jika sebagian guru memilih kembali ke zona nyaman: metode lama yang sudah mereka kuasai.

Padahal, perubahan metode mengajar adalah inti dari keberhasilan kurikulum baru. Pembelajaran yang aktif, kolaboratif, dan kontekstual hanya bisa terjadi jika guru berani meninggalkan metode ceramah yang pasif. Pembelajaran berbasis proyek, misalnya, tidak akan bermakna jika tetap disampaikan dalam bentuk diktat dan hafalan.

Guru perlu belajar untuk menjadi fasilitator, bukan hanya pengajar. Mereka harus mampu merancang pengalaman belajar yang membuat siswa berpikir kritis, bekerja sama, dan menciptakan sesuatu dari apa yang mereka pelajari. Ini semua membutuhkan waktu, kesabaran, dan komitmen.

Selain itu, tekanan administratif yang berlebihan juga membuat guru kehilangan waktu dan energi untuk berinovasi. Mereka terlalu sibuk menyusun perangkat ajar yang rumit, mengisi berbagai laporan, dan memenuhi target administratif dari atasan.

Budaya kerja di sekolah yang terlalu birokratis membuat inovasi dianggap sebagai tambahan beban, bukan kebutuhan. Akhirnya, banyak guru merasa lebih aman kembali ke metode lama yang sudah familiar. Inilah sebabnya mengapa kita sering menyaksikan pembelajaran yang stagnan, tidak berkembang, meski kurikulumnya berubah.

Di sisi lain, sekolah sering tidak menjadi ekosistem yang mendukung perubahan. Lingkungan belajar yang kaku, budaya sekolah yang hanya mengejar nilai, serta kepala sekolah yang tidak visioner sering kali menjadi penghambat inovasi.

Guru yang mencoba menggunakan metode baru justru mendapat tekanan karena dianggap tidak sesuai prosedur atau “melanggar tradisi”. Alih-alih diberi penghargaan atas upaya perubahan, mereka justru dikekang oleh aturan yang sempit dan konservatif. Maka tak heran jika transformasi metode mengajar sering kali gagal sejak dari ruang guru.

Sementara itu, siswa zaman sekarang menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibanding generasi sebelumnya. Dunia mereka dipenuhi informasi digital, disrupsi teknologi, dan kebutuhan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kolaborasi, kreativitas, dan literasi digital.

Namun di sekolah, mereka masih dibatasi oleh metode belajar abad ke-20 yang tidak memberi ruang untuk berkembang. Inilah ironi yang membuat banyak siswa merasa sekolah membosankan, tidak relevan, bahkan menyiksa. Padahal, jika pendekatan belajar berubah, mereka bisa menikmati proses belajar yang menyenangkan dan bermakna.

Metode lama juga telah menyebabkan kegagalan dalam membangun karakter dan kompetensi sosial siswa. Dalam pembelajaran satu arah, siswa tidak diajak berdiskusi, berempati, atau bekerja sama. Nilai dan norma hanya disampaikan melalui ceramah, bukan ditanamkan melalui pengalaman nyata.

Padahal pendidikan karakter yang sejati tidak bisa dibentuk lewat pidato moral, melainkan melalui pembiasaan, interaksi, dan refleksi. Kurikulum boleh memuat nilai-nilai luhur, tapi jika metode tidak berubah, siswa tidak akan pernah mengalami nilai-nilai tersebut dalam keseharian belajar mereka.

Lebih dari itu, mempertahankan metode lama juga berarti menunda kemajuan bangsa. Pendidikan adalah fondasi peradaban, dan jika proses belajarnya masih ketinggalan zaman, maka anak-anak bangsa tidak akan siap bersaing di era global.

Kita membutuhkan generasi yang mampu berpikir mandiri, mampu beradaptasi, dan memiliki kepekaan sosial. Semua itu tidak bisa dicapai dengan metode hafalan dan ulangan semata. Butuh pendekatan yang memanusiakan, memberdayakan, dan membangkitkan rasa ingin tahu.

Dalam konteks ini, reformasi pendidikan harus dimulai dari transformasi pola pikir para guru. Guru tidak boleh lagi merasa cukup hanya dengan menyampaikan materi. Mereka harus merasa terpanggil untuk menciptakan pengalaman belajar yang menggugah dan bermakna.

Ini menuntut adanya refleksi terus-menerus, kolaborasi antarguru, serta dukungan dari pemimpin sekolah dan pemerintah. Tidak cukup hanya dengan pelatihan teknis, melainkan harus ada gerakan bersama untuk membangun budaya belajar yang baru di sekolah-sekolah kita.

Reformasi metode belajar juga membutuhkan kebijakan yang berpihak pada guru dan siswa. Pemerintah harus mengurangi beban administratif guru, memberi ruang eksperimen, dan menyediakan pendampingan jangka panjang.

Sekolah perlu menyediakan waktu refleksi bersama, forum diskusi, dan kesempatan magang atau benchmarking untuk guru belajar dari praktik baik di sekolah lain. Hanya dengan cara ini transformasi bisa terjadi dari dalam, bukan sekadar perubahan permukaan.

Selain itu, suara guru harus didengar dalam setiap proses perubahan. Jangan lagi menjadikan mereka sekadar pelaksana kebijakan.

Guru adalah pelaku utama pendidikan, dan mereka harus diajak menjadi mitra dalam menyusun kurikulum, merancang pelatihan, dan mengevaluasi kebijakan. Dengan begitu, mereka akan merasa memiliki terhadap perubahan dan terdorong untuk benar-benar berubah.

Orang tua juga harus dilibatkan dalam proses ini. Banyak orang tua masih berpegang pada nilai-nilai lama, menganggap bahwa nilai tinggi adalah segalanya. Mereka perlu diajak memahami bahwa pendidikan tidak hanya tentang ujian, tetapi tentang proses pembentukan pribadi yang utuh.

Jika orang tua mendukung metode baru dan tidak menekan anak secara akademik semata, maka guru pun akan lebih leluasa berinovasi.

Perubahan metode mengajar bukan hanya urusan teknis, tetapi juga persoalan budaya. Kita perlu membangun budaya sekolah yang terbuka terhadap ide baru, mendorong refleksi, dan menghargai percobaan.

Kesalahan harus dipandang sebagai bagian dari proses belajar, bukan sesuatu yang harus dihindari. Sekolah harus menjadi laboratorium pembelajaran, bukan pabrik nilai.

Jika kita ingin kurikulum baru benar-benar berdampak, maka kita harus berani jujur dan rendah hati mengakui bahwa selama ini kita terlalu banyak mengganti kebijakan tanpa menyentuh jantung pendidikan.

Kita perlu berani menata ulang ruang kelas, memberdayakan guru, dan menghidupkan kembali makna belajar sebagai proses yang manusiawi dan membebaskan. Tanpa itu semua, kurikulum hanya akan menjadi dokumen mati yang tidak mengubah apa pun.

Pendidikan sejati tidak bisa dibangun hanya dengan jargon dan kebijakan. Ia lahir dari ruang kelas yang hidup, dari guru yang penuh semangat, dari siswa yang tumbuh dengan rasa ingin tahu, dan dari lingkungan yang memberi ruang untuk berkembang.

Untuk itu, mari kita mulai perubahan bukan dari nama kurikulum, tetapi dari cara kita memperlakukan proses belajar-mengajar di kelas.

Karena pada akhirnya, esensi dari pendidikan bukanlah seberapa banyak yang kita ajarkan, tetapi seberapa dalam kita bisa membentuk manusia yang berpikir, peduli, dan bertindak. Kurikulum bisa menjadi titik awal, tetapi metode dan hati dalam mengajar adalah jiwa dari pendidikan itu sendiri. (*)

Penulis adalah Guru SD IT Darul Azzam Rao Kabupaten Pasaman sekaligus Mahasiswa STAI YDI Lubuk Sikaping Program Studi Pendidikan Agama Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *