Kolom  

Flawed Democracy di Indonesia: Kajian Teoritis dan Analitis

Oleh : Alirman Sori*)

Istilah flawed democracy sering disematkan pada Indonesia dalam berbagai laporan indeks demokrasi global, khususnya oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Kategorisasi ini bukan sekadar label politis, melainkan diagnosis ilmiah terhadap kualitas demokrasi yang berjalan secara prosedural namun tidak substansial.

Dalam kerangka akademik, demokrasi dianggap cacat ketika proses elektoral memang tersedia, tetapi kualitas institusi, independensi hukum, perlindungan hak asasi, dan akuntabilitas pemerintahan tidak memenuhi standar demokrasi liberal modern. [The Economist Intelligence Unit. (2023). Democracy Index: Forging New Democracies.]

Indonesia pasca-Reformasi telah berhasil membangun sistem pemilu langsung, desentralisasi, dan jaminan kebebasan sipil, namun perkembangan satu dekade terakhir menunjukkan tren kemunduran demokrasi, terutama karena menguatnya oligarki, melemahnya lembaga pengawas, meningkatnya politik identitas, dan menyempitnya ruang kebebasan sipil. Dengan demikian, demokrasi Indonesia berada pada posisi “setengah matang”—berjalan tetapi belum mengakar.

Konsep demokrasi minimalis ala Joseph Schumpeter mendefinisikan demokrasi sebagai “metode institusional untuk mencapai keputusan politik melalui kompetisi dalam memperebutkan suara rakyat”. [Schumpeter, J. (1942). Capitalism, Socialism, and Democracy. Harper & Brothers.]

Pemahaman ini menempatkan pemilu sebagai inti demokrasi. Indonesia memenuhi aspek ini, sebab pemilu berlangsung reguler dan partisipasi pemilih relatif tinggi. Namun, teori minimalis tidak menilai kualitas institusi maupun kebebasan sipil. Karena itu, negara dapat memiliki pemilu tetapi tetap dianggap “demokrasi yang cacat.”

Guillermo O’Donnell menyatakan bahwa demokrasi bukan hanya pemilu, tetapi rule of law yang kuat dan lembaga politik yang imparsial. [O’Donnell, G. (2004). “Why the Rule of Law Matters.” Journal of Democracy, 15(4).] Bila hukum dapat diintervensi kepentingan elite, demokrasi menjadi sekadar prosedural.

Indikator EIU tentang Flawed Democracy

Menurut EIU, negara masuk kategori flawed democracy apabila: Pemilu berlangsung relatif bebas, Tetapi pemerintah, lembaga negara, dan kebebasan sipil tidak bekerja optimal. [EIU Democracy Index (2022–2023), The Economist Intelligence Unit.] Indonesia konsisten berada pada kategori ini sejak 2016.

Mengapa Indonesia Termasuk Flawed Democracy?, Dominasi Oligarki dan Patronase Politik. Sejumlah akademisi seperti Robison dan Hadiz menegaskan bahwa demokrasi Indonesia dikendalikan oleh jaringan oligarki yang memanfaatkan institusi formal untuk mempertahankan kepentingannya. [Robison, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge.]

Dalam pandangan Jeffrey Winters, Indonesia berada dalam “oligarki uang”, di mana aktor kaya mampu mempengaruhi kebijakan negara melalui pendanaan politik.⁶ “Pemilik modal tidak lagi sekadar aktor ekonomi, tetapi telah menjadi aktor politik yang menentukan arah demokrasi Indonesia.” [Winters, J. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.]

Inilah salah satu faktor utama demokrasi menjadi cacat. Pemilu Kompetitif tetapi Tidak Setara, Pemilu Indonesia memang berlangsung bebas, tetapi tidak selalu adil. Fenomena mobilisasi identitas, politik uang, dan penggunaan aparatur negara sangat memengaruhi hasil.

Studi Burhanuddin Muhtadi menunjukkan bahwa politik uang telah menjadi “fenomena struktural dan menjalar dalam pemilu Indonesia”. [Muhtadi, B. (2019). Money Politics in Indonesia. ISEAS Publishing.]

Pemilu akhirnya menjadi arena kompetisi tidak seimbang — free but unfair — ciri utama flawed democracy. Lemahnya Rule of Law, O’Donnell menyebut kondisi ini sebagai “brown areas”—wilayah tempat hukum tidak ditegakkan secara imparsial.³ Indonesia sering menghadapi: independensi lembaga penegak hukum yang dipertanyakan, politisasi penegakan hukum, pelemahan lembaga seperti KPK.

Menurut Edward Aspinall, “politik Indonesia masih ditandai oleh penggunaan kekuasaan negara untuk kepentingan elite, bukan publik.” [Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale. Cornell University Press.]

Krisis Representasi dalam Partai Politik.

Partai politik tidak melakukan kaderisasi berbasis merit, melainkan berbasis jaringan patronase dan keluarga politik. Dan Slater mencatat bahwa partai di Indonesia lebih merupakan “coalitional presidentialism”—koalisi pragmatis yang rapuh—daripada institusi representatif. [Slater, D. (2018). Ordering Power: Contentious Politics and Authoritarian Leviathans. Princeton University Press.]

Akibatnya, demokrasi kehilangan representasi substantif. Polarisasi Identitas dan Populisme. Sejak 2014, politik Indonesia mengalami polarisasi berbasis agama yang meningkat tajam.

Marcus Mietzner menyebut fenomena ini sebagai “populisme konservatif” yang memanfaatkan sentimen keagamaan demi keuntungan elektoral. [Mietzner, M. (2018). “Populism and Democratic Decline in Indonesia.” Journal of Current Southeast Asian Affairs.]

Polarisasi mengganggu deliberasi rasional (Habermas) dan merusak kualitas ruang publik. Penyempitan Kebebasan Sipil, Tren penurunan kebebasan sipil terjadi melalui: penggunaan UU ITE melawan kritik, kriminalisasi aktivis, pembatasan ruang demonstrasi, tekanan terhadap jurnalis dan akademisi.

Human Rights Watch mencatat bahwa “Indonesia mengalami kemunduran signifikan dalam kebebasan berekspresi sejak 2016.” [Human Rights Watch. (2022). Indonesia Report.]

Implikasi: Demokrasi Indonesia Berjalan tetapi tidak Mengakar, Indonesia menjalankan demokrasi elektoral secara rutin, tetapi demokrasi substantif belum hadir. Akuntabilitas pemerintah terbatas, kebijakan sering dipengaruhi oligarki, sementara masyarakat menghadapi polarisasi dan penurunan ruang sipil. Demokrasi akhirnya bersifat procedural without substance.

Rekomendasi Teoritis dan Strategis untuk Memperbaiki Flawed Democracy ;

1. Reformasi Partai Politik Rekrutmen terbuka dan pendanaan transparan harus dilakukan,

2. Penguatan Rule of Law, Indepedensi peradilan dan lembaga anti-korupsi harus dijamin,

3. Pembatasan Oligarki, Regulasi pendanaan politik dan transparansi kekayaan pejabat harus diperketat,

4. Penguatan Ruang Publik Deliberatif Pendidikan politik dan literasi digital harus diperluas untuk melawan hoaks dan polarisasi, dan

5. Pemulihan Kebebasan Sipil dan UU ITE harus direvisi, dan negara wajib melindungi pers serta aktivis. (*)

Penulis adalah Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *