Oleh : Iwan Ahmad, S.I.Q., S.Ag., C.EQL., C.PS*)
Bencana sering kali dipandang sebagai musibah yang menakutkan, menghancurkan, dan merenggut rasa aman manusia. Gempa bumi, banjir, longsor, dan berbagai peristiwa alam lainnya kerap dimaknai sebagai penderitaan semata.
Namun dalam perspektif iman Islam, bencana tidak sesederhana itu. Ia bukan hanya peristiwa alam atau ujian tanpa makna, melainkan juga dapat dipahami sebagai wujud kasih sayang Allah yang hadir untuk menyadarkan, menguatkan, dan mengembalikan manusia kepada fitrah ketundukan kepada Sang Pencipta.
Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan dan bencana tidak terlepas dari perilaku manusia sendiri. Allah berfirman:
َظَهَر اْلَفَساُد فِى اْلَبِّرَواْلَبْحِر بَِماَكَسَبْت اَْيِدى الَّناِس لُِيِذْيَقُهْمَبْعَض الَِّذْيَعِملُْوا لََعلَُّهْمَيْرِجُعْوَن
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rūm [30]: 41)
Ayat ini menunjukkan bahwa bencana bukan semata-mata hukuman, melainkan peringatan penuh kasih agar manusia berhenti dari kelalaian dan kembali kepada jalan yang benar. Kasih sayang Allah tidak selalu hadir dalam bentuk yang lembut dan menyenangkan.
Terkadang ia datang melalui teguran yang mengguncang, agar manusia menyadari bahwa hidup tidak sepenuhnya berada dalam kendali dirinya.
Ada kekuatan Mahabesar yang mengatur alam semesta, dan kepada-Nya manusia bergantung sepenuhnya.
Lebih dari itu, bencana juga merupakan sarana ujian iman. Allah berfirman:
َولََنْبلَُوَّنُكْمِبَشْيٍءِمَن اْلَخْوِفَواْلُجوِعَوَنْقٍصِمَن اْْلَْمَواِلَواْْلَْنفُِسَوالَّثَمَراِتَۗوَبِّشِر الَّصاِبِريَن
“Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)
Ujian tidak dimaksudkan untuk melemahkan manusia, melainkan untuk mengangkat derajatnya. Seperti emas yang dimurnikan dengan api, manusia ditempa melalui kesulitan agar menjadi pribadi yang lebih sabar, lebih tawakal, dan lebih matang secara spiritual.
Bahkan Allah menegaskan bahwa setiap ujian selalu berada dalam batas kemampuan manusia (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Dalam hadis shahih, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjelaskan dimensi kasih sayang Allah di balik musibah:
“Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kesedihan, kegundahan, gangguan, maupun kesusahan—bahkan duri yang menusuknya—melainkan Allah akan menghapus sebagian dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa bencana bukan tanda kebencian Allah, melainkan sarana penyucian dosa dan bentuk perhatian-Nya kepada hamba yang beriman. Bahkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyampaikan bahwa ujian adalah tanda cinta Allah:
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Selain memperkuat iman personal, bencana juga menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam suasana sulit, manusia belajar tentang empati, gotong royong, kepedulian, dan persatuan. Rasa individualisme yang sering tumbuh di masa lapang justru runtuh ketika bencana datang.
Rasulullah صلى الله عليه وسلمmenggambarkan:
“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang dan kepedulian mereka seperti satu tubuh; jika satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR. Muslim)
Nilai sosial yang hidup di tengah bencana ini sejatinya adalah rahmat Allah yang sering kali tidak kita rasakan ketika hidup dalam kenyamanan.
Di sisi lain, bencana juga berfungsi sebagai peringatan ekologis. Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah [2]: 30), namun sering kali mengkhianati amanah itu melalui eksploitasi alam tanpa etika, penebangan liar, dan pembangunan yang mengabaikan keseimbangan lingkungan. Allah mengingatkan :
حخموًفا و حط حًَعاا ِؕن َّحَمْحَحَهٰنّلل حَنَمْ ٌنَح َِّمْحَمْنِِنمْح َّ
مَنض حبمعحدِن مصحَل نْحها حوِمد حعموهح ف نِحدموِفنیِمَلح حوحَل حت م
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 56)
Maka, melalui bencana, seakan Allah berkata kepada manusia: kembalilah kepada keseimbangan, jagalah bumi sebagai amanah, bukan sebagai objek keserakahan.
Kasih sayang Allah sangat luas, bahkan mendahului murka-Nya. Dalam hadis qudsi, Allah berfirman:
“Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika Allah menghendaki kebinasaan manusia, tentu tidak ada kesempatan untuk bangkit setelah bencana. Namun realitas menunjukkan sebaliknya: selalu ada ruang untuk memperbaiki diri, membangun kembali kehidupan, dan menata masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, bencana bukanlah tanda kebencian Allah terhadap manusia. Ia adalah peringatan penuh cinta, pintu muhasabah, dan jalan untuk kembali mendekat kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah:
ًٔاَّوُهَوَخْيٌر لَُّك ْم ٰٓسى اَْنَتْكَرُهْواَشْيـ عَوَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Semoga setiap ujian yang datang menjadikan kita manusia yang lebih kuat imannya, lebih peka terhadap sesama, dan lebih bertanggung jawab dalam menjaga kehidupan serta alam semesta—sebagai wujud syukur atas kasih sayang Allah yang tak pernah terputus. (*)
*Iwan Ahmad adalah akademisi dan praktisi pendidikan Islam. Menyelesaikan pendidikan di bidang Ilmu Al-Qur’an dan Studi Keislaman dan aktif menulis serta mengkaji isu-isu pendidikan Islam, tahfizh al-Qur’an, pengembangan karakter Qur’ani.




