Kasus Korupsi Lahan Musi Rawas Dipertanyakan, BAP Dicabut, Pemilik Perusahaan Lolos?

Dr Adystia Sunggara SH MH M.Kn, kuasa hukum terdakwa. (Foto: Istimewa)

PALEMBANG, FOKUSRIAU.COM-Dugaan ketidakadilan hukum mencuat dalam kasus dugaan korupsi dan penyerobotan lahan negara seluas 5.974,90 hektare di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan.

Kuasa hukum terdakwa, Dr. Muhamad Adystia Sunggara, S.H., M.H., M.Kn., secara tegas mempertanyakan objektivitas dan integritas proses hukum yang tengah berjalan.

Dalam pernyataan resminya, Rabu (6/8/2025), Adystia menanggapi pemberitaan sejumlah media yang dinilai tidak berimbang.

Menurutnya, narasi yang beredar terlalu prematur dan tidak sesuai dengan fakta yang terungkap di persidangan.

“Pernyataan bahwa para terdakwa telah terbukti bersalah adalah asumsi tidak berdasar. Proses masih berjalan, belum ada vonis. Ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah,” tegas Adystia.

Adystia merupakan kuasa hukum bagi lima terdakwa, yaitu RM (mantan Bupati Musi Rawas), ES (mantan Direktur PT DAM), SAI (mantan Kepala BPMPTP Musi Rawas), AM (mantan Sekretaris BPMPTP), dan BA (mantan Kepala Desa Mulyoharjo).

Mereka dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan penyerobotan lahan yang merugikan negara.

BAP Dicabut, Ada Dugaan Tekanan
Salah satu sorotan utama Adystia adalah cacat prosedur yang diduga terjadi saat penyidikan. Ia menyebut, dari 15 saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU), beberapa di antaranya mencabut atau mengubah isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

Alasannya pun cukup mengkhawatirkan: mereka mengaku mendapat tekanan, waktu pemeriksaan yang tidak manusiawi (dilakukan larut malam), serta ketidaktahuan atas dokumen yang mereka tandatangani.

Bahkan, menurut Adystia, majelis hakim dalam persidangan juga menyatakan ada saksi yang menandatangani BAP yang tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

“Ini memunculkan dugaan kuat telah terjadi cacat prosedural dalam proses penyidikan,” ujarnya.

Pertanggungjawaban “Salah Sasaran”?
Adystia secara khusus menyoroti posisi kliennya, ES, yang hanya menjabat sebagai Direktur PT DAM selama enam bulan pada tahun 2010. Ia menganggap tidak masuk akal jika ES harus bertanggung jawab penuh atas seluruh kegiatan korporasi.

Fakta ini menjadi pertanyaan besar, sebab hingga saat ini, pihak direksi dan pemilik PT DAM belum pernah diperiksa oleh penyidik, apalagi dihadirkan di persidangan.

Adystia menambahkan, majelis hakim sempat berjanji akan memanggil mereka, namun hingga kini belum ada upaya serius.

Apakah ini Kriminalisasi Hukum?
Dengan banyaknya kejanggalan yang terjadi, Adystia melontarkan pertanyaan tajam kepada publik dan penegak hukum: apakah ini bentuk dari kriminalisasi hukum?

Dia menilai, proses hukum yang tidak menyeluruh dan tidak menyentuh aktor utama yang seharusnya bertanggung jawab dapat berpotensi mengorbankan pihak-pihak yang sebenarnya tidak bersalah.

Adystia berharap, semua pihak, mulai dari lembaga peradilan hingga masyarakat sipil, dapat mengawal proses persidangan ini dengan objektif dan transparan. Penilaian kesalahan harus didasarkan pada fakta yang terbukti di persidangan, bukan opini publik.

“Jangan terburu-buru memberikan stempel bersalah. Kita semua terikat pada asas praduga tak bersalah. Biarlah majelis hakim yang memutuskan,” tukasnya. (zen)

Exit mobile version