Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta Slamet Budiarto menilai, tidak adanya dokter yang memantau kondisi pasien setiap harinya menjadi faktor tingginya angka kematian pasien Covid-19 yang isolasi mandiri.
“Mereka itu bingung mau nanya ke siapa, enggak ada dokter pendampingnya. Kalau di luar negeri itu ada dari dokter yang tiap hari video call memantau kondisi pasien isolasi mandiri,” kata Slamet kepada Kompas.com, Kamis (22/7/2021).
Dengan memantau pasien isolasi mandiri, dokter bisa melakukan deteksi dini sebelum terjadinya pemburukan kondisi pada pasien.
Dokter pun bisa memberi penanganan yang tepat seperti memberi obat-obatan atau merujuk pasien ke rumah sakit.
“Tapi masalahnya jumlah dokter kita terbatas. Untuk menangani pasien di rumah sakit saja kurang, apalagi untuk memantau yang isolasi mandiri,” katanya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, fasilitas isolasi mandiri bagi anggota dewan menunjukkan mereka tidak merakyat.
“Merakyat tak hanya untuk urusan basa-basi kampanye politik, tetapi menjadi sama dengan rakyat ketika menghadapi kesulitan. Dengan kata lain makna kata merakyat itu artinya menjiwai situasi dan kondisi rakyat dengan berempati saat rakyat menderita,” kata Lucius.
Lucius menyayangkan, selama masa pandemi Covid-19, DPR terus menerus mengeluarkan kontroversi terkait fasilitas khusus bagi anggota DPR yang kemudian menuai kritik dari publik.
Misalnya, DPR pernah menggelar tes PCR khusus anggota DPR, vaksinasi bagi anggota DPR dan keluarganya, pelat nomor khusus anggota DPR, hingga muncul usulan rumah sakit khusus bagi pejabat.
“Sejak awal pandemi mereka sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan layanan terbaik untuk mereka sendiri, sedangkan layanan untuk rakyat ngga penting-penting amat,” kata dia.
Lucius pun mengingatkan, kebijakan-kebijakan tersebut dapat merusak citra parlemen dan harus menjadi perhatian serius.
Ia mendorong pimpinan DPR untuk bersikap atas kebijakan Sekretariat Jenderal DPR yang memberikan berbagai fasilitas kepada anggota dewan.
“Jika DPR sebagai lembaga membiarkan saja kebijakan-kebijakan itu, mungkin saja pimpinan DPR atau sebagian elite di parlemen terlibat dalam desain kebijakan fasilitas khusus bagi anggota DPR ini,” ujar Lucius. (*)
Editor: Boy Surya Hamta
Sumber: Kompas.com