PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 terus dibayangi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan berbagai alasan, termasuk indikasi praktik politik uang.
Dugaan adanya pelanggaran tersebut, tentu berpotensi menjadi pintu masuk bagi peserta pilkada untuk kembali menggugat hasil PSU ke MK.
Saat ini, setelah pemungutan ulang, ada enam daerah yang justru kembali melayangkan gugatan hasil PSU dan gugatan rekapitulasi ulang.
MK mencatat enam daerah mengajukan PSU, yakni Kabupaten Siak, Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Buru, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Kepulauan Talaud.
KPU Berharap Dismissal
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Afifuddin berharap, gugatan hasil pemungutan suara ulang (PSU) pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 bisa selesai pada putusan dismissal.
“Mudah-mudahan selesai di sidang dismissal, kan enak itu,” ujarnya saat ditemui di Kantor KPU RI, Kamis (17/4/2025).
Afifuddin mengaku belum dapat banyak berkomentar karena materi gugatan PSU untuk enam daerah dan rekapitulasi ulang di satu daerah belum bisa diakses.
Di sisi lain, gugatan PSU ke MK ini mengingatkan kembali dengan adanya PSU jilid II yang pernah digelar pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, PSU jilid II ini kemungkinan saja bisa terjadi lagi pada Pilkada 2024 setelah tujuh daerah kembali menggugat hasil PSU dan rekapitulasi ulang yang telah diselenggarakan.
“Belajar dari pengalaman pilkada terdahulu, ada daerah yang harus menyelenggarakan PSU jilid dua atau kembali dilakukan PSU pasca Putusan PSU MK,” kata Titi, Rabu (16/4/2025).
PSU jilid II sebelumnya pernah terjadi pada pemilihan bupati dan wakil bupati Kabupaten Labuhanbatu 2020. Saat itu, MK yang dipimpin Anwar Usman memutuskan untuk mengulang kembali PSU yang telah dilakukan di Labuhanbatu.
Karena kasus ini pernah terjadi di masa lalu, Titi mengatakan, MK harus mampu menyelesaikan semua permohonan sengketa dengan transparan, profesional dan akuntabel.
“Agar semua pihak mendapatkan perlakuan yang adil dan berimbang dalam setiap proses persidangan yang berlangsung di MK,” ujarnya.
Kata Titi, pihak yang bersengketa bisa secara proporsional menerima Putusan MK dan menindaklanjutinya secara baik sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sementara untuk Bawaslu dan KPU, Titi menekankan harus ada pembuktian bahwa pengawasan dan penegakan hukum sudah dilakukan saat PSU, sehingga PSU bisa berjalan dengan baik tanpa ada pelanggaran yang bisa membuat PSU kembali diulang.
“Penyelenggara harus mampu membuktikan hasil kerjanya dalam penyelenggaraan PSU bahwa mereka sudah profesional dan menjaga integritas dalam pelaksanaan teknis PSU di lapangan,” ujar Titi. (bsh)
Sumber: Kompas.com