Oleh : Maikal Agus Riandi*)
Pada Senin, 1 September 2025, suasana Kota Padang tampak berbeda. Ribuan mahasiswa Universitas Andalas, bergabung dengan mahasiswa dari berbagai kampus di Sumatera Barat, komunitas ojek online, hingga elemen masyarakat sipil, turun ke jalan.
Mereka menyuarakan tuntutan: penghapusan tunjangan DPR, reformasi Polri, percepatan pengesahan UU Perampasan Aset, dan sejumlah agenda penting lainnya.
Demonstrasi ini dilepas langsung oleh Rektor Universitas Andalas, Prof. Efa Yonnedi, dengan pesan yang sederhana namun sarat makna: “Pergilah dengan hati jernih, niat tulus, dan semangat kebangsaan, pulanglah dengan selamat, dan jangan lupa Shalat Ashar.”
Kehadiran Ketua DPRD Sumatera Barat, H. Muhidi, perwakilan fraksi, dan Wakil Gubernur Vasko Ruseimy menandai bahwa aksi mahasiswa kali ini tidak sekadar “teriakan jalanan,” melainkan ruang dialog antara rakyat dan pemegang kekuasaan.
Lebih dari itu, BEM KM Unand bersama DPM serta BEM Fakultas meluncurkan pakta integritas, sebuah janji moral dan hukum bahwa gerakan ini berdiri di atas basis konstitusional, bukan sekadar ajang hura-hura.
Demonstrasi Sebagai Pembangunan Partisipatif
Dalam kerangka politik, demonstrasi adalah salah satu bentuk pembangunan partisipatif. Ia bukan semata kerumunan massa yang berteriak, tetapi mekanisme demokrasi agar warga negara dapat mengawasi dan menegur pemerintah.
Dalam aksi seperti inilah masyarakat berkesempatan menyampaikan aspirasi secara langsung, dan pemerintah diuji sejauh mana kesediaannya mendengar serta menindaklanjuti.
Namun, demonstrasi tidak jarang berubah menjadi “kekacauan” karena adanya pihak yang datang hanya karena Fear of Missing Out (FOMO). Mereka ikut-ikutan tanpa memahami isu yang diperjuangkan. Situasi inilah yang sering mengaburkan substansi aspirasi, bahkan menjadikan demonstrasi identik dengan kerusuhan.
Kita masih ingat peristiwa di Makassar ketika gedung DPRD dibakar, atau penggunaan gas air mata yang berlebihan hingga menelan korban. Aksi seperti itu jelas merusak esensi demokrasi, bahkan menodai perjuangan mahasiswa sendiri.
Peran Mahasiswa dalam Perubahan
Dalam teori perubahan sosial, mahasiswa kerap disebut sebagai agent of change, guardian of value, dan iron stock. Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa peran agen perubahan tidak hanya terletak pada keberanian untuk menggugat, tetapi juga kemampuan menawarkan solusi.
Sementara Prof. Miriam Budiardjo menekankan bahwa mahasiswa adalah “penjaga moral politik,” kelompok kritis yang berfungsi sebagai pengingat kekuasaan.
Sejarah Indonesia membuktikan peran mahasiswa begitu signifikan. Tahun 1966, mahasiswa menumbangkan rezim Orde Lama. Tahun 1998, mahasiswa menjadi motor penggerak reformasi yang melahirkan demokratisasi.
Kini, mahasiswa kembali dihadapkan pada tantangan: bukan hanya menggulingkan, tetapi mengawal agar demokrasi tidak dikooptasi oleh oligarki.
Demonstrasi damai yang dilakukan Unand dan elemen masyarakat Sumbar adalah cermin bahwa peran mahasiswa tetap relevan, meski formatnya lebih menekankan pada partisipasi konstruktif ketimbang destruktif.
Jalan Tengah: Aspirasi dan Rasionalitas
Demonstrasi harus dipahami sebagai ruang belajar publik. Ia mengajarkan mahasiswa tentang politik praktis, komunikasi publik, hingga seni mengelola konflik. Tetapi, seperti ditekankan rektor Unand, aksi harus rasional, kritis, santun, dan damai.
Dengan begitu, demonstrasi tidak hanya menjadi ritual tahunan mahasiswa, melainkan bagian dari pembangunan demokrasi partisipatif yang sehat.
Kunci keberhasilan demonstrasi terletak pada dua hal. Pertama, mahasiswa sebagai aktor utama harus memastikan diri datang dengan pemahaman isu, bukan sekadar ikut-ikutan. Kedua, aparat dan pemerintah harus belajar menanggapi dengan kepala dingin, bukan dengan tindakan represif. Dialog, bukan kekerasan, adalah jalan keluar.
Demonstrasi adalah wajah demokrasi, dan mahasiswa adalah denyut nadinya. Tanpa mahasiswa yang kritis, bangsa ini akan kehilangan salah satu pilar moral yang menjaga agar kekuasaan tidak melenceng. Tetapi tanpa kedewasaan dalam berdemonstrasi, bangsa ini juga bisa terjebak dalam lingkaran kekacauan.
Jalan tengahnya jelas: demonstrasi harus ditempatkan sebagai pembangunan partisipatif—ruang koreksi, ruang dialog, dan ruang pendidikan politik.
Seperti kata pepatah: “Perubahan besar sering lahir dari jalanan, tetapi masa depan ditentukan oleh kedewasaan mereka yang berjalan di atasnya.” (*)
Penulis adalah mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas.