Kolom  

Gelar Adat di Tengah Dualisme LAM Riau: Antara Marwah Budaya dan Kepentingan Kekuasaan

Boy Surya Hamta. (Foto: FokusRiau.Com)

Oleh: Boy Surya Hamta*

Lembaga Adat Melayu Riau (LAM Riau), Sabtu (5/7/2025) akan memberikan gelar adat Datuk Setia Amanah kepada Gubernur Riau Abdul Wahid. Sementara Gelar Timbalan Datuk Setia Amanah yang seharusnya ditabalkan kepada Wakil Gubernur SF Hariyanto gagal terujud.

Sebab, SF Hariyanto secara halus menolak gelar tersebut. Dengan penuh kerendahan hati, dirinya mengaku belum tepat untuk menyandangnya, karena belum berbuat banyak untuk kemajuan Riau.

Satu sisi, gelar adat sejatinya adalah bentuk penghormatan tertinggi dari masyarakat adat kepada seorang tokoh yang dinilai berjasa dalam membangun daerah. Gelar adat tersebut juga bisa diberikan karena alasan lain.

Namun, ketika pemberian itu dilakukan pengurus LAM Riau yang saat ini masih diperdebatkan legalitasnya, rasanya sah-sah saja jika muncul pertanyaan: apakah gelar ini benar-benar mencerminkan tradisi ataupun nilai adat atau justru menjadi bagian dari politisasi budaya?

Apalagi, konflik dualisme kepengurusan LAM Riau yang kini masih berlangsung dan diyakinini telah menciptakan keretakan serius dalam struktur kelembagaan adat. Sekarang saja ada dua kubu yang sama-sama mengklaim sebagai representasi sah dari masyarakat adat Melayu Riau.

Keduanya adalah LAM Riau hasil Mubes VIII Dumai dan LAM Riau hasil mubeslub. Dalam situasi semacam ini, setiap tindakan yang diambil salah satu pihak berpotensi mencederai prinsip musyawarah dan marwah adat itu sendiri.

Pemberian gelar kepada Gubernur Abdul Wahid — dilakukan pengurus yang tengah disengketakan — dikuatirkan memicu munculnya kontroversi.

Bisa jadi, hal ini menjadi alasan lain Wakil Gubernur Riau, SF Hariyanto yang secara terbuka menyatakan penolakan terhadap pemberian gelar tersebut pada dirinya.

Penolakan ini harus dibaca sebagai bentuk tanggung jawab moral atas makna gelar adat itu sendiri, bukan sekadar persoalan perbedaan pandangan politik.

Lebih dalam lagi, publik juga harus mencermati bahwa gelar adat bukanlah hadiah politis, bukan juga langkah untuk mengambil hati penguasa.

Ini adalah pengakuan simbolik terhadap hasil kerja nyata, keberpihakan pada rakyat dan penghormatan terhadap budaya Melayu Riau.

Nah, ketika gelar adat tersebut dijadikan alat legitimasi oleh kelompok yang belum tuntas masalah internalnya, maka sama saja dengan mempertaruhkan adat dan budaya itu sendiri.

Rekonsiliasi Adat, Klarifikasi Hukum dan Penundaan Gelar
Penyelesaian masalah ini tidak cukup dengan sikap saling klaim dan adu kuat antar kedua kubu. Setidaknya ada tiga solusi yang bisa dilakukan secara bertahap oleh semua pihak yang menginginkan legitimasi LAM Riau tetap utuh.

1. Rekonsiliasi Internal LAM Riau
Semua tokoh adat dan pihak terkait harus duduk bersama dalam satu meja. Musyawarah besar adat (Mubes) secara terbuka, inklusif dan melibatkan perwakilan kabupaten/kota se-Riau menjadi menjadi sebuah keharusan untuk segera digelar. LAM Riau harus disatukan kembali agar punya legitimasi tunggal di mata masyarakat dan hukum.

Klarifikasi Legalitas dan Regulasi Pemerintah
Pemerintah provinsi dirasa perlu turun tangan membantu menyelesaikan persoalan dualisme ini. Sekarang pertanyaannya, apakah salah satu pengurus memiliki dasar hukum yang sah? Jika belum ada kejelasan, maka semua aktivitas yang mengatasnamakan LAM — termasuk pemberian gelar — ada baiknya ditangguhkan sementara.

Peninjauan Ulang Tradisi Gelar Adat
Sudah saatnya lembaga adat menegaskan kembali standar dan kriteria pemberian gelar adat. Harus ada indikator yang jelas, kontribusi nyata, keberpihakan pada budaya serta penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. Jangan sampai gelar adat kehilangan maknanya, karena menjadi bagian dari strategi politik kekuasaan.

Penutup
Terakhir, sebagaimana kita ketahui bahwa budaya Melayu Riau adalah sebuah kekayaan warisan yang tak ternilai. Gelar adat juga bukan sekadar basa-basi, melainkan lambang penghormatan atas nilai budaya, bukan sekedar kuasa. Jika semua masuk dalam konflik dan kepentingan sesaat, maka kita sedang menyaksikan penghancuran marwah adat dari dalam.

Sudah saatnya LAM Riau kembali ke khitahnya: merawat budaya, menjaga nilai dan menempatkan kepemimpinan adat di atas segala kepentingan politik. Sekedar mengingatkan, adat adalah sarana untuk memperbaiki peradaban manusia. Namun demikian, jauh di atas adat itu sendiri adalah adab.

Adab akan membuat seseorang menjalankan adat dengan benar dan penuh kehormatan atau bermarwah. Sebaliknya, jika tidak adab yang dikedepankan, maka semua yang dilakukan akan cenderung melanggar adat dan merusak nilai-nilai yang terkandung dalam adat itu sendiri.

Terakhir, keberadaan adat dan adab itu sendiri tidak bisa dipisahkan. Karena adat akan memberikan pedoman perilaku manusia, sementara adab memastikan bahwa perilaku tersebut dilakukan dengan benar dan sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam adat. Semoga dualisme di tubuh LAM Riau bisa segera selesai dan marwah serta legitimasi LAM Riau kembali lagi. (*)

* Penulis adalah jurnalis FokusRiau.Com dan Sekretaris DPD Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Riau

Exit mobile version