Oleh : Dr. A.P. Khairul, M.Si*
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah wajah paling nyata dari kehidupan ekonomi rakyat. Mereka hadir di sela jalan, trotoar, dan sudut-sudut kota — bukan untuk membuat semrawut, tapi untuk bertahan hidup.
Ironisnya, kota sering kali memperlakukan mereka seperti gangguan: ditertibkan, diusir, direlokasi tanpa daya. Padahal, kota tanpa PKL adalah kota yang kehilangan denyut keberagamannya, kehilangan hati nuraninya.
PKL bukan sekadar kelompok informal yang mencari nafkah. Mereka adalah bagian dari sistem ekonomi perkotaan yang menyediakan lapangan kerja, jasa murah, dan produk harian bagi masyarakat menengah ke bawah. Dalam data BPS (2023), lebih dari 58% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal — dan PKL adalah salah satu wujud terkuatnya.
Mengapa PKL Selalu Jadi Masalah?
Di banyak daerah, pendekatan terhadap PKL masih dominan bersifat koersif. Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum kerap jadi senjata legal untuk mengusir mereka dari ruang publik. Penertiban lalu menjadi agenda rutin: Satpol PP digerakkan, lapak dibongkar, dagangan diangkut.
Dalam narasi ini, PKL diposisikan sebagai “masalah visual” yang harus segera dihilangkan agar kota tampak rapi dan teratur.
Namun narasi ini mengabaikan dua hal penting: pertama, bahwa PKL hadir karena sistem ekonomi formal belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja; dan kedua, bahwa kota adalah ruang sosial, bukan sekadar ruang fisik.
Menertibkan PKL tanpa solusi berarti mengabaikan hak warganya untuk hidup.
Negara Mengakui, Tapi tak Memberdayakan
Paradoksnya, pada level nasional, keberadaan PKL justru mendapat pengakuan. Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2012 menyatakan bahwa penataan PKL harus disertai pemberdayaan, dengan menyediakan lokasi strategis yang mudah diakses konsumen.
Lebih lanjut, UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM mewajibkan pemerintah memberikan kepastian lokasi dan akses usaha yang layak bagi pelaku mikro, termasuk PKL. Bahkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, partisipasi masyarakat — termasuk pelaku ekonomi informal — merupakan prinsip utama dalam perumusan kebijakan.
Sayangnya, dalam praktiknya, logika pembangunan ruang kota masih didominasi orientasi estetika dan kepentingan komersial. PKL dianggap tidak kompatibel dengan wajah kota modern. Inilah bentuk peminggiran struktural yang sering luput dari perhatian.
Menata PKL secara Inklusif dan Adil
Menata PKL bukan sekadar memindahkan mereka ke dalam bangunan atau shelter. Ini soal mendesain kota agar semua warga — termasuk yang paling kecil modalnya — punya ruang dan peluang.
Beberapa pendekatan alternatif yang lebih adil dan berkelanjutan dapat dipertimbangkan:
1. Zonasi Sosial-Ekonomi Kota
Kota harus berani menyediakan kawasan tertentu — seperti zona niaga rakyat — di mana PKL bisa beroperasi legal dan tertib. Pengaturan jam operasional dan desain ruang bersama bisa menjadi solusi tengah antara ketertiban dan keberlangsungan ekonomi.
2. Desain Partisipatif dan Inklusif
Kebijakan PKL tidak boleh top-down. Komunitas PKL harus dilibatkan sejak awal perencanaan, sebagaimana diatur dalam semangat partisipasi publik dalam UU No. 23/2014.
3. Perubahan Fungsi Satpol PP dari Represif ke Edukatif
Merujuk Permendagri No. 54 Tahun 2011, tugas Satpol PP bukan hanya penegakan perda, tapi juga fasilitasi, edukasi, dan pengayoman. Ini amanat yang sering terlupakan.
Penutup: Kota untuk Siapa?
Kota adalah ruang hidup bersama. Ketika pembangunan kota hanya mengakomodasi kepentingan properti, kendaraan pribadi, dan investasi besar, maka kelompok seperti PKL akan terus tersingkir.
Padahal kota yang baik bukanlah kota yang bebas dari PKL, melainkan kota yang bisa mengatur dan memberdayakan mereka secara adil dan manusiawi
.Jika kita ingin membangun kota yang ramah, maka kita harus mulai dari yang paling sering disingkirkan. Sebab kota tanpa PKL, adalah kota yang kehilangan denyut sosialnya — kota yang kehilangan hati. (*)
*Penulis adalah Dosen dan Peneliti MKP, STIA Adabiah Padang