Kolom  

Menelisik Abolisi Tom Lembong

Oleh : Hendra Idris, S.H., Sp.N. *)

KETIKA Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (lebih popular disebut Tom Lembong), publik dibuat terpana.

Abolisi —-yang secara hukum berarti penghentian seluruh proses pidana sebelum ada vonis final— bukan hal lumrah. Apalagi dalam kasus korupsi yang menyita perhatian bangsa.

Restorasi reputasi semestinya datang dari pengadilan, namun di sini beliau dilepaskan lewat hak prerogatif presiden. Tanpa debat panjang, DPR menyetujui pada 31 Juli 2025, dan sehari setelahnya Tom bebas karena Keputusan Presiden (Keppres) dikeluarkan. Efeknya: semua potensi sidang dan putusan dibatalkan.

Lalu, apakah ini keadilan atau sekadar kompromi politik? Apakah benar tak ditemukan bukti “mens rea” (niat jahat yang membuat suatu tindakan jadi kejahatan? Atau apakah ini sinyal, bahwa hukum masih bisa dibeli oleh kekuatan di belakang kursi kekuasaan?

Seberapa banyak masyarakat kita benar-benar memahami apa itu abolisi? Apa bedanya dengan grasi atau amnesti? Apa dasar hukumnya dalam sistem hukum Indonesia? Dan lebih penting lagi—apa pengaruh pemberian abolisi terhadap sistem keadilan dan prinsip rule of law di negeri ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas, akan bahas di tulisan sederhana ini.

Mengapa abolisi, bukan amnesti atau grasi?

Dalam ingatan masyarakat, ada tiga istilah yang sering beredar: amnesti, grasi, dan abolisi. Ketiganya sama-sama terkait pengampunan hukum, tetapi punya nuansa berbeda.  Abolisi: menghentikan proses hukum sebelum vonis punya kekuatan hukum tetap. Efeknya, kasus seolah tidak pernah terjadi.

Amnesti: pengampunan yang dibarengi pencabutan vonis yang sudah dijalankan, tetapi hanya berlaku setelah putusan final. Grasi: pengurangan atau pengampunan hukuman bagi terpidana setelah vonis. Biasanya supaya terpidana tidak menjalani hukuman sepenuhnya.

Dalam kasus Tom Lembong, abolisi bukan sekadar formalitas, karena ia membatalkan semua proses hukum yang tengah berjalan. Di mana landasannya?

Hak memberikan abolisi diberikan oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 Pasal 14 ayat (2), dengan persetujuan DPR sebagai bentuk check and balance. Mekanismenya dituangkan dalam UU Darurat No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

Artinya, hak ini memang sah secara hukum, tapi ekseskusi dan penerapannya terasa sangat politis. Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”

UU Darurat No. 11 Tahun 1954,  masih berlaku secara formal, tetapi secara substansial dan fungsional sudah tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan sistem hukum dan demokrasi modern. Bahwa, pada Pasal 1-nya, menegaskan : “Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orangorang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman 

Dalam praktik hukum pidana, abolisi berarti “penghapusan tuntutan pidana sebelum atau selama proses peradilan berlangsung”, berbeda dengan grasi (pengampunan pidana setelah putusan berkekuatan hukum tetap) atau amnesti (penghapusan pidana untuk sekelompok orang karena alasan politik tertentu).

Dalam konteks sistem peradilan, abolisi adalah “intervensi eksekutif terhadap proses hukum”. Maka dari itu, perlu kehati-hatian agar tidak mencederai prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan independensi lembaga yudikatif.

Sejak era Reformasi, DPR memiliki peran krusial untuk menyerahkan atau menolak pemberian abolisi. Jika DPR menolak, presiden tidak bisa melanjutkan, kecuali mengajukan amnesti bukan abolisi. Dan dari kasus-kasus sebelumnya, abolisi biasanya hanya digunakan di kasus politik atau konflik berskala besar.

Abolisi dalam Praktik Indonesia

Sejarah mencatat beberapa penggunaan abolisi dalam situasi politik. Pada Era Soekarno misalnya, abolisi diberikan kepada pelaku Gerakan PRRI/Permesta yang “ditegakkan” lawan politik pusat.

Di masa Soeharto, ada kasus Komando Jihad dan beberapa konflik internal yang akhirnya diakhiri dengan abolisi untuk menenangkan situasi. Bahwa, penggunaan abolisi cenderung terikat pada loyalitas politik.

Beberapa kasus pengampunan atau penghentian proses hukum disinyalir sebagai bagian dari strategi stabilitas politik dan perlindungan elite kekuasaan.

Dalam beberapa catatan historis, tidak jarang abolisi diberikan kepada aparat atau pengusaha yang memiliki kedekatan dengan lingkaran dalam istana. Sayangnya, dokumentasi abolisi di masa ini relatif minim, sebagian besar tertutup atau tak terdokumentasi dalam narasi resmi negara.

Memasuki era Reformasi, publik menuntut pembatasan kekuasaan absolut Presiden. Reformasi konstitusi mengubah banyak hal, namun pasal abolisi tetap dibiarkan relatif longgar. Meski secara normatif membutuhkan pertimbangan DPR, tidak ada mekanisme veto atau pembatalan oleh lembaga lain.

Akibatnya, Presiden tetap memegang “hak prerogatif” yang sangat besar. Inilah yang membuat isu abolisi selalu memantik kekhawatiran: antara niat rekonsiliasi atau justru penyalahgunaan kekuasaan.

Kenapa Tanpa Vonis?

Tom Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun (baca: 4 tahun enam bulan) penjara dan denda Rp750 juta karena impor gula tahun 2015–2016 yang merugikan negara sekitar Rp194,7 miliar. Namun, dalam proses pengajuan abolisi disebutkan: pertama, tidak ditemukan keuntungan pribadi (personal gain), kedua, ia kooperatif selama investigasi, dan ketiga, ada dugaan kriminalisasi politik, bukan hukum yang netral.

Para pendukung abolisi menyebut, keputusan itu sebagai “pengakuan adanya kesalahan prosedural dalam proses hukum”, bukan sebagai tindakannya tidak salah secara materi.

Kuasa hukumnya menyebut proses ini sebagai langkah akuntabilitas, bukan impunitas. Akan tetapi,  sejumlah pengamat anti-korupsi kuatir: kalau hukum bisa dibatalkan lewat keprerogatifan, apa artinya komitmen pemberantasan korupsi?

Dilema Publik

Sejumlah politikus pendukung keputusan ini,  menyebutnya sebagai cara menjaga stabilitas politik. Isyaratnya kuat: pemerintahan ingin meredam polarisasi dan membangun pendekatan dialog antar kekuatan politik setelah Pilpres 2024–2025.

Di sisi lain, banyak akademisi dan lembaga antikorupsi menilai ini sebagai potensi preseden buruk. Jika abolisi bisa digunakan untuk kasus yang luas, efeknya bisa melemahkan efek pencegah hukum, apalagi jika ada dugaan tindakan “kriminalisasi politik”.

Memang, abolisi bukanlah dosa hukum. Tapi jika digunakan tanpa kehati-hatian, ia bisa mencederai prinsip keadilan dan merusak fondasi demokrasi. Presiden memang memiliki hak prerogatif, tapi dalam demokrasi modern, prerogatif bukanlah kebebasan tanpa batas.

Dampak pemberian abolisi terhadap independensi peradilan

Sebagai instrumen hukum, abolisi adalah alat yang sah. Tetapi,  ketika digunakan tanpa batas dan transparansi, ia mengandung risiko nyata terhadap independensi pengadilan.

Pertama, risiko ini muncul ketika hakim atau jaksa melihat adanya “jalur keluar” eksekutif. Mereka menjadi cenderung berhati-hati dalam menegakkan hukuman terhadap figur tertentu karena potensi intervensi Presiden. Ini menciptakan distorsi dalam proses keadilan, di mana kualitas bukti dan argumentasi yudisial bisa diabaikan karena kekhawatiran akan de-legitimasi oleh kekuasaan eksekutif.

Kedua, persepsi publik bisa berubah, bahwa kepercayaan pada lembaga peradilan bisa menurun jika masyarakat mulai menganggap keputusan hukum bergantung pada preferensi politik alih-alih materi hukum semata. Ini membahayakan, karena sistem hukum bertumpu pada “keyakinan bahwa hukum berlaku adil, tanpa pandang bulu”.

Ketiga, abolisi yang diberikan kepada figur elit memberi sinyal, bahwa hukum lebih lembut terhadap mereka yang punya akses. Ini menciptakan ketidaksetaraan di hadapan hukum, dan memberi ruang bagi kelompok berpengaruh agar mencari jalan politik ketimbang hukum dalam menyelesaikan konflik.

Contoh kasus di masa lampau menunjukkan: jika eksekutif mudah memberi pengampunan, semangat pemberantasan korupsi atau pelanggaran HAM bisa melemah. Lembaga penegak hukum menjadi kurang diyakini ketika hasil kerja keras mereka bisa dibatalkan melalui keputusan politik.

Saran-Saran

Dari uraian di atas —-sebagai urun rembuk atau masukan— izinkan saya memberikan saran-saran antara lain:  

Pertama, segeralah DPR di masa mendatang memikirkan Rancang Undang-Undang Khusus tentang Abolisi. Ketiadaan regulasi khusus yang mengatur abolisi membuat kewenangan Presiden bersifat sangat luas dan berpotensi disalahgunakan. Indonesia perlu segera menyusun UU Abolisi yang:  menjabarkan secara rinci prosedur pemberian abolisi; menetapkan syarat substantif dan administratif yang ketat; serta mewajibkan keterlibatan lembaga pengawasan independen. Tujuannya adalah  untuk memastikan, bahwa abolisi tidak menjadi alat impunitas atau transaksi kekuasaan.

Kedua, revisi total atau pencabutan UU Darurat No. 11 Tahun 1954, yang lahir dalam situasi krisis negara pascakemerdekaan dan sudah tidak relevan dalam konteks konstitusional kekinian. Maka, perlu diganti dengan: regulasi baru yang selaras dengan UUD 1945 hasil amandemen, dan lebih memertegas akuntabilitas pemberian abolisi di bawah prinsip checks and balances, bukan otoritas mutlak eksekutif.

Ketiga, pembentukan Rancangan Undang-undang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (RUU GAAR) sebagai kerangka hukum induk yang mengatur: wewenang Presiden dalam memberikan GAAR, mekanisme konsultatif dengan lembaga yudikatif dan legislatif.. dan  standar minimal keadilan dan prinsip-prinsip non-diskriminatif. RUU ini penting sebagai pelindung terhadap praktik penyimpangan kekuasaan dan penghilangan tanggung jawab hukum oleh pejabat negara.

Keempat, Pemberian abolisi tidak boleh mengganggu independensi yudikatif, keputusan abolisi oleh Presiden harus tetap menghormati independensi peradilan. Maka: setiap permohonan abolisi wajib dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK); dilarang diberikan pada kasus yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (belum inkracht); harus sejalan dengan prinsip due process of law dan asas non-impunitas; wajibkan transparansi dan keterlibatan publik yang proaktif dalam negara demokrasi, pengambilan keputusan hukum yang berdampak besar pada keadilan publik harus: melibatkan konsultasi terbuka dengan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi bantuan hukum; disampaikan secara resmi ke publik melalui dokumen pertanggungjawaban eksekutif dan DPR, serta mewajibkan adanya policy paper yang memuat alasan hukum, pertimbangan moral, dan dampaknya.

Kelima, optimalisasi fungsi DPR sebagai mitra pengimbang eksekutif
DPR tidak boleh sekadar menjadi pemberi stempel formal terhadap permintaan abolisi Presiden. Oleh sebab itu, maka  perlu dibentuk Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk setiap permintaan abolisi yang diajukan, dan harus dilakukan uji publik, uji dampak sosial, serta pertimbangan etika tata negara sebelum menyetujui abolisi.

Keenam, buka jalan judicial review atas abolisi bermasalah untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Pemberian abolisi harus: dapat diajukan judicial review ke MK bila bertentangan dengan prinsip konstitusi; dan diperkuat mekanisme etik melalui Mahkamah Kehormatan Konstitusi atau Komisi Etik Pemerintahan, agar Presiden dan DPR tetap berada dalam koridor akuntabilitas hukum.

Ketujuh, batasi pemberian abolisi terhadap pelanggaran berat. Abolisi tidak boleh diberikan dalam kasus-kasus: kejahatan korupsi, terorisme, dan kejahatan HAM berat, serta  tindak pidana dengan dimensi internasional atau transnasional. RUU GAAR harus menetapkan “daftar hitam” (non-applicable offenses) yang tegas dan tidak dapat dinegosiasikan., atau ditolal abolisinya.

Kedelapan, fokuskan abolisi pada tujuan keadilan restoratif. Bila abolisi diberikan, maka harus berdasarkan: kepentingan pemulihan nasional atau rekonsiliasi pascakonflik; perlindungan terhadap korban dan upaya penyembuhan kolektif, dan bukan alasan subjektif atau politis —-misalnya “demi stabilitas elite”—  atau untuk menyelamatkan pejabat yang sedang menjalani proses hukum.

Kesembilan, perluas peran lembaga independen untuk pengawasan proses GAAR
Abolisi dan pemutihan pidana sejenis harus dipantau secara ketat oleh: Komnas HAM, untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak konstitusional warga; Komisi Yudisial, untuk menilai independensi dan keabsahan proses peradilan; dan Ombudsman, sebagai lembaga pengawas prosedur administrasi dan potensi maladministrasi dalam pemberian abolisi.

Kesepuluh, dorong literasi hukum konstitusional di kalangan public pemerintah, kampus hukum, dan media harus proaktif, dalam: mensosialisasikan secara massif tentang fungsi, batasan, dan risiko penyalahgunaan GAAR, serta mendorong masyarakat ikut mengawasi proses hukum dan memprotes bila abolisi digunakan sebagai instrumen politik kekuasaan.

Keseebelas, pertimbangkan mekanisme multisektor dalam RUU GAAR.
Dalam naskah akademik dan draf RUU GAAR, perlu dimasukkan: mekanisme multi-stakeholder panel (yudikatif, eksekutif, masyarakat sipil) untuk menilai kelayakan abolisi; Prosedur “voting terbuka” dalam pengambilan keputusan akhir oleh DPR, dan kewajiban pelaporan berkala kepada publik tentang jumlah dan alasan pemberian abolisi dan pemutihan hukum lainnya.

Demkian, semoga bermanfaat. Aamiin.

Penulis adalah seorang Notaris PPAT, Praktisi Hukum, Penulis dan Trainer

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *