Oleh : M Gathan Irfanda*
Di zaman sekarang, tak perlu jadi ustazd untuk bisa bicara soal agama. Cukup modal akun TikTok, sedikit rasa percaya diri, dan satu dua kutipan ayat maka siapapun bisa tampil bak dai sejuta viewers. Tapi celakanya, tak semua yang viral itu benar.
Tak semua yang ramai itu layak dipercaya. Media sosial telah melahirkan generasi yang lebih cepat mengomentari daripada memahami. Mereka berlomba jadi paling benar, paling tahu, paling saleh cukup dari kolom komentar.
Ironisnya, komentar-komentar ini seringkali lebih tajam dari ilmu yang dimilikinya. TikTok dan Instagram hari ini dipenuhi potongan-potongan ceramah berdurasi 30 hingga 60 detik. Tujuannya baik menyampaikan dakwah secara cepat dan ringan.
Tapi alih-alih menjadi pengingat yang menyentuh hati, banyak dari video itu justru jadi sasaran komentar sarkastik. Ustaz dibilang lebay, ayat dibilang tak relevan, bahkan tak jarang isi ceramah dituduh sesat hanya karena tak sesuai selera. Yang lebih menyedihkan, para komentator itu sering kali tak tahu apa yang sebenarnya mereka komentari.
Mereka hanya melihat satu potongan ayat, lalu merasa cukup untuk menghakimi. Mereka tidak tahu konteks, tidak paham latar belakang, dan jelas-jelas tidak belajar tafsir. Tapi tetap saja berani berkata, “Ini salah.
“Inilah era dakwah instan, di mana jempol lebih dulu bicara sebelum hati sempat bertanya”
Menurut data dari We Are Social (2024), Indonesia merupakan salah satu pengguna TikTok terbanyak di dunia, dengan lebih dari 126 juta pengguna aktif. Sebagian besar dari mereka adalah generasi muda usia 16–24 tahun.
Artinya, konten dakwah pendek yang tersebar di TikTok sangat mungkin menjadi sumber ilmu agama utama bagi jutaan anak muda. Tapi pertanyaannya apakah mereka menontonnya dengan niat belajar, atau sekadar lewat di beranda?
Lebih jauh, menurut Kominfo dan Katadata Insight Center (2023), hanya 11% masyarakat Indonesia yang aktif mengakses konten religius. Selebihnya didominasi konten hiburan, prank, gosip, dan tren viral lainnya.
Ini menunjukkan bahwa konten dakwah memang masih kalah pamor, apalagi jika dibenturkan dengan gaya hidup digital yang serba cepat dan instan. Dulu, para ulama belajar bertahun-tahun sebelum berani bicara di depan umum. Mereka menghafal ribuan hadis, mendalami tafsir, berguru dari negeri ke negeri.
Tapi hari ini, seorang netizen bisa berbicara tentang surga dan neraka hanya bermodal ChatGPT, lalu menyebarkannya lewat komentar video dakwah seseorang atau ngestitch video singkat. Seolah-olah ilmu agama bisa dibungkus dalam satu kalimat dan divalidasi oleh jumlah likes.
Padahal, Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Siapa pun yang menyampaikan agama tanpa ilmu, maka ia telah menyesatkan orang lain dan dirinya sendiri.” Kita sedang menghadapi krisis adab dan krisis ilmu dalam dakwah.
Bukan hanya karena maraknya dai dadakan, tapi karena kerumunan netizen sok tahu yang merasa layak menghakimi segalanya. Mereka tidak membaca, tidak belajar, tapi merasa paling islami. Inilah bencana diam-diam yang kini menghantui dunia digital kita.
Sudah waktunya kita berhenti menganggap semua orang bisa berdakwah hanya karena bisa berbicara. Dakwah bukan ajang pembuktian ego, apalagi lomba jadi yang paling keras berkomentar. Dakwah adalah ladang amanah. Ia butuh ilmu, butuh kesabaran, dan yang paling penting butuh akhlak dalam menyampaikan.
Kita semua punya tanggung jawab, jika belum mampu berdakwah, setidaknya jangan merusaknya. Jika tidak tahu makna ayat, jangan asal salin dan sebarkan. Jika tidak paham isi ceramah, belajarlah dulu, baru bicara. Karena dalam Islam, diam lebih baik daripada berbicara tanpa ilmu.
Kebenaran tidak perlu dibela dengan emosi. Tidak perlu diperjuangkan dengan komentar kasar. Ia hanya perlu disampaikan dengan jujur, dipahami dengan hati, dan dijalankan dengan penuh keikhlasan. Jadi sebelum kamu mengetik komentar di video dakwah berikutnya, tanyakan dulu pada dirimu
“Apakah aku sedang menyebarkan ilmu, atau hanya menyalurkan ego?” (*)
* Penulis adalah mahasiswa semester IV UIN Imam Bonjol Padang. Bidang minat meliputi Jurnalisme, Jurnalisme Islam, Dakwah dan Sastra