Oleh: Arif “Krikil” Gusnali, M.M*
Peluang dan Tanggung Jawab BUMD dalam Hulu Migas
Participating Interest (PI) dalam kegiatan hulu migas adalah hak dan kewajiban bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memiliki saham dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di wilayahnya.
Skema ini memberi ruang bagi daerah untuk ikut serta secara langsung dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya migas, melalui kepemilikan hingga 10 persen saham pada KKKS, sebagaimana diatur dalam Permen ESDM No. 37 Tahun 2016 yang diperbarui melalui Permen ESDM No. 1 Tahun 2025.
Namun penting dipahami, bahwa keikutsertaan BUMD dalam PI bukanlah tanpa risiko. Sebagai pemegang saham dalam entitas berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), BUMD berkewajiban menyetor modal dan menanggung risiko usaha sebesar porsi sahamnya.
Sebagai balasannya, BUMD berhak atas bagian keuntungan dari hasil produksi migas dalam bentuk deviden. Deviden ini merupakan pendapatan perusahaan dan tidak otomatis menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Menurut UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD, dividen baru dapat dibagikan kepada pemegang saham, dalam hal ini pemerintah daerah. Bila perusahaan memiliki saldo laba positif setelah dikurangi beban usaha dan dialokasikan minimal 20 persen untuk cadangan.
Paradoks Praktik: Dividen yang Dipaksakan
Sayangnya, di banyak daerah praktiknya tidak sejalan dengan ketentuan regulatif tersebut. Deviden yang diterima BUMD dari PI sering langsung dianggap sebagai laba bersih tanpa melalui mekanisme laporan keuangan dan audit yang layak.
Bahkan ada daerah yang secara sepihak menetapkan 99 persen dari deviden PI sebagai laba bersih dan segera mendistribusikannya sebagai deviden kepada pemerintah daerah, bahkan sebelum tutup buku tahun berjalan (deviden interim).
Lebih memprihatinkan, kebijakan ini diberlakukan meskipun kondisi keuangan BUMD mencatatkan saldo laba negatif. Pemerintah daerah memperlakukan deviden dari PI seolah seperti Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang langsung masuk kas daerah dan segera habis digunakan untuk belanja jangka pendek.
Jelas hal ini keliru secara tata kelola dan merusak prinsip dasar usaha yang menyebutkan, bahwa keuntungan harus dikelola untuk mendukung pertumbuhan usaha berkelanjutan.
Melepaskan BUMD dari Fungsi Investasi Daerah
Jika deviden PI hanya dianggap sebagai uang “numpang lewat” di BUMD, maka peran strategis BUMD sebagai penggerak ekonomi daerah pun menjadi hilang. Harus diingat, deviden mestinya menjadi sarana dalam memperkuat permodalan BUMD agar bisa berkembang dan menciptakan nilai ekonomi lebih besar bagi daerah.
Jika seluruh deviden ditarik sebagai PAD, maka BUMD kehilangan kemampuannya untuk tumbuh, berinovasi dan menciptakan lapangan kerja.
Sikap gegabah menarik seluruh keuntungan BUMD sebagai PAD sama artinya dengan menggerogoti sumber penghasilan masa depan.
Uang yang seharusnya menjadi modal kerja dan investasi malah dijadikan dana konsumtif, sehingga berhenti tumbuh. Dalam istilah kasarnya, dana itu berubah menjadi “ampas“–tidak produktif, tidak berkembang dan hanya menunggu habis dipakai.
Rekomendasi: Tata Kelola yang Seimbang dan Bijak
Pemerintah pusat dan daerah harus menyadari pentingnya menjaga ekosistem usaha BUMD agar sehat dan produktif. Perlu penguatan regulasi dan pengawasan dalam penetapan dividen serta pengelolaan keuntungan BUMD.
Prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance harus ditegakkan, bukan diabaikan demi kepentingan anggaran jangka pendek.
Deviden dari PI memang penting sebagai salah satu sumber PAD, namun bukan satu-satunya tujuan. Jauh lebih penting adalah memastikan bahwa BUMD mampu menjadi motor penggerak ekonomi lokal secara berkelanjutan, menciptakan lapangan kerja, memperkuat industri daerah dan memberikan kontribusi jangka panjang yang lebih besar bagi masyarakat. (*)
* Penulis adalah praktisi dan pemerhati BUMD di Riau