Kolom  

Tradisi Tabuik Pariaman Bergeser: Mengejar Ekonomi Berpotensi Gerus Nilai Budaya

Oleh: Selby Jopima

Tabuik merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan setiap tahunnya di Kota Pariaman. Berakar pada nilai-nilai religi untuk mengenang wafatnya Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW.

Peringatan ini sejatinya berlangsung setiap 10 Muharram dalam penanggalan Hijriyah. (Elian dan Dalmenda, 2017). Upacara tabuik menjadi salah satu identitas budaya yang dimiliki masyarakat dan daerah Pariaman, sebagaimana tercermin dalam lagu karya Anasben, berjudul Pariaman dalam bentuk pantun.

Pariaman tadanga langang,
Batabuik mangkonyo rami
Dek sanak tadanga sanang
Baolah tompang badan diri

Makna dari lagu tersebut, selama ini Pariaman biasanya sepi, akan tetapi karena ada kegiatan Tabuik, baru daerah ini ramai. Mendengar kabar saudara sedang senang, bawalah diri ini menumpang pada saudara.

Sebuah pertanyaan yang melintas saat ini, apakah tradisi ini masih murni atau sudah terjadi pergeseran? Perbedaan Tabuik dulu dan sekarang adalah pergeseran dari Tabuik yang sakral dan murni tradisi menjadi tabuik yang lebih pariwisata dan komersial.

Dulu, Tabuik adalah tradisi yang murni dan sakral, sangat dihormati masyarakat Pariaman.

Proses pembuatan tabuik dulu memakan waktu yang lama dan megah. Kerangka tabuik terbuat dari bambu dan tidak terpisahkan dari proses ritual.

Masyarakat Pariaman dulu percaya bahwa saat membuang Tabuik ke laut diyakini sebagai upaya buang masalah dan kesedihan. Simbol melepas duka atas kematian Husain.

Tradisi tabuik ini dulu dilaksanakan sesuai kalender Hijriah, tanggal 10 Muharram. Dahulunya, tradisi ini lebih ke fungsi religius, solidaritas, spiritual dan bersifat lokal, hanya masyarakat sekitar yang menyaksikan.

Sekarang? Lihat dan amati pelaksaan tradisi Tabuik. Semakin banyak wisatawan yang datang Tradisi Tabuik semakin mengalami pergeseran. Tabuik telah berubah menjadi Tabuik Pariwisata.

Mengutamakan unsur kepariwisataan agar Pariaman lebih dikenal. Ritual yang dulu penuh doa dan khidmat bisa berubah jadi sekadar atraksi untuk wisatawan.

Hal ini jelas membuat unsur sakral tradisi Tabuik mulai berkurang karena lebih ditekankan pada aspek tontonan dan hiburan. Risikonya membuat nilai spiritual dan kesakralan Tabuik semakin memudar.

Globalisasi bisa membuat tradisi Tabuik “dijual” seperti festival lain di dunia, sehingga kehilangan kekhasan lokalnya. Misalnya, jika hanya difokuskan sebagai atraksi wisata, makna historis peristiwa Karbala bisa terlupakan.

Sekarang jadwal pelaksanaan puncak perayaan, seperti Hoyak Tabuik, sudah disesuaikan dengan kebutuhan wisata, bukan lagi pada 10 Muharram.

Kini, kerangka tabuik terbuat dari besi agar lebih tahan lama dan bisa digunakan kembali, sehingga tidak lagi menjadi bagian dari prosesi ritual yang panjang dan bertujuan untuk kemeriahan.

Penggunaan kerangka besi membuat Tabuik lebih hidup, meriah dan indah, yang membuat penonton bergairah.

Tradisi Tabuik sekarang diperlakukan seperti “barang jualan” untuk menarik turis. Lebih berfokus pada keuntungan ekonomi (berjualan pangan,sandang,dan lainnya), berpotesi mengalahkan nilai budaya dan spiritual.

Mengembangkan tradisi Tabuik memberikan nuansa tersendiri bagi daerah dan lingkungan. Jika dulunya pengunjungnya selingkungan Pariaman, Padan Ppariaman, kemudian Sumbar, kini sudah dapat memancing wisatawan nusantara dan mancanegara.

Hal tersebut tak bisa dilepaskan dari kemasan yang disesuaikan dengan kebutuhan pariwisata/ Pengembangan menjadi event pariwisata memberikan dampak peningkatan ekonomi, selain itu juga menghadirkan kemacetan, sampah, gesekan antar kelompok yang ikut mengarak Tabuik.

Akan tetapi “festival unik” ini memberikan dampak luas, Pariaman lebih dikenal dunia luar, walau mungkin tak seberapa diantaranya yang memahami tragedi Karbala yang menjadi dasar ritualnya. Pengunjung lebih cenderung melihat pada keramaian, musik, makanan.

Terhadap hal ini, ada kekuatiran, dimasa depan, hakikat dan nilai-nilai dasar Tabuik tak akan diketahui dan tak lagi dipahami generasi mendatang. Mereka hanya akan tahu bahwa ada pesta Tabuik sebagai sebuah agenda pariwisata.

Tak salah jika dikembangkan menjadi obyek wisata, akan tetapi tugas berat Pemerintah Kota Pariaman haruslah tetap melakukan edukasi kepada semua kalangan sebagai antisipasi tidak tergerusnya makna dari tradisi tabuik. Perlu langkah-langkah khusus untuk menyikapi pengembangan tersebut.

Pariwisata penting untuk menarik orang ke Pariaman yang tadanga langang akan tetapi merawat nilai dan hakikat sebuah agenda budaya tetaplah perlu dijaga.

Edukasi dan mengenalkan filosofi dan nilai spiritual Tabuik perlu tetap dilakukan, khususnya kepada generasi muda di Pariaman.

Pemuka adat, ulama, dan pemerintah perlu bekerja sama menjaga garis antara ritual sakral dan festival pariwisata. Misalnya, memisahkan waktu khusus untuk prosesi sakral yang tidak bisa diganggu atraksi wisata.

Pemerintah juga harus menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pelestarian Tabuik sebagai warisan budaya yang dilindungi. Membuat standarisasi tata cara pelaksanaan Tabuik agar nilai sakral tetap terjaga meskipun menjadi atraksi wisata.

Pemerintah kota pariaman juga harus mengintegrasi muatan lokal Tabuik dalam kurikulum sekolah di Pariaman. program pelatihan generasimuda dalam pembuatan Tabuik, musik gandang tasa, serta sejarah Tabuik.

Beasiswa atau insentif bagi pemuda yang aktif dalam komunitas pelestarian Tabuik. Dengan ini tradisi Tabuik pariaman tidak akan bergeser nilainya. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Andalas

Exit mobile version