Oleh: Muhammad Pajri Zullian*
Hati-hati, Bu. Kursi itu terlihat nyaman,
tapi kaki-kakinya pernah dipakai menyangga kekuasaan yang alergi kritik dan haus tepuk tangan.
Kalau kampus ini bikin film, genrenya pasti tragikomedi. Tragis bagi yang masih peduli, komedi bagi yang sudah pasrah hati.
UIN Suska Riau, yang dulu dikenal sebagai rumah ilmu dan akhlak, kini jadi langganan berita konflik. Seolah-olah prestasi akademik hanya jadi selingan, sementara episode utama terus bergulir, pimpinan ribut, dosen saling lapor, mahasiswa jadi penonton.
Kampus ini bukan tenggelam karena krisis, tapi memilih menyelam dalam konflik yang makin manis.
Kalau masjid kampus udah jadi arena ribut-ribut, ya fix… akal sehat lagi antre di IGD sambil pegang kartu BPJS.
Pertengahan 2023, UIN Suska berhasil mencetak sejarah, bukan lewat jurnal, tapi lewat keributan di pelataran masjid. Tempat yang mestinya sakral, malah jadi arena debat adu gengsi antara rektor dan dosen.
Bukan soal tafsir Al-Qur’an atau metode riset, tapi soal ego. Ego yang cukup besar untuk bikin dua orang dewasa saling lapor ke polisi. Yang remuk bukan cuma marwah kampus, tapi juga kepercayaan publik, disiram drama, dipel pakai klarifikasi basi.
Tapi tenang, itu belum puncaknya. Yang ribut di masjid itu baru trailer, film utamanya justru makin gila setelahnya. Tak butuh waktu lama, kampus ini kembali jadi headline. Bukan karena prestasi, tapi karena perkara duit dan dugaan potong-memotong.
Kali ini soal dugaan pemotongan remunerasi yang menjangkiti para dosen dan pegawai. Jumlahnya bukan main. Dan ketika laporan mulai mengalir ke KPK dan Kejati Riau, kita mulai sadar:
Ini bukan konflik personal. Ini sirkus kekuasaan yang udah lama nggak ganti atap. Baunya numpuk, pemainnya ganti-ganti, sirkusnya tetap sama.
Lucunya, yang dilaporkan ke polisi jalannya cepat. Tapi laporan LHKPN? Jalannya kayak siput pensiun.
Mungkin karena yang dilaporkan bukan musuh, tapi diri sendiri, dan mungkin juga ada yang tumbuh subur!!! Saku Istri atau prestasi?
Satu kewajiban paling mendasar dari seorang pejabat publik dilupakan begitu saja. Maka tak heran kalau publik merasa ada banyak hal yang juga disembunyikan di balik meja-meja mewah itu.
Kalau harta saja tak transparan, bagaimana dengan kebijakan? Dengan anggaran? Dengan Pembangunan?
Kala badai yang belum reda, dan reruntuhan masih berserakan, datanglah ia, bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai pertanda bahwa kampus ini masih mungkin bisa disembuhkan.
Dia Seorang perempuan, untuk pertama kalinya, memegang kendali. Dan bersamanya, harapan kecil mulai tumbuh lagi.
Prof. Dr. Leny Nofianti bukan hanya mencatat sejarah sebagai rektor perempuan pertama di UIN Suska, tapi juga mewarisi reruntuhan kepercayaan yang ditinggal pendahulunya.
Kami nggak butuh pewangi ruangan yang cuma numpang harum pas tamu datang. Yang kami butuh itu sabun colek, sikat kawat, dan nyali untuk gosok kerak birokrasi yang udah nempel bertahun-tahun.
Karena yang bau itu bukan cuma sistemnya, tapi budaya bisu, budaya asal aman, dan budaya tutup mata sambil senyum rapat.
Kalau Bu Rektor cuma datang buat poles permukaan biar keliatan kinclong di kamera, ya selamat, kami siap kecewa lagi.
Tapi kalau Ibu berani buka karpet, angkat debu, dan bersihin sampai ke lantai paling bawah, maka ini bisa jadi bukan cuma pergantian rektor, tapi awal revolusi kampus yang sesungguhnya.
Luar boleh cling, tapi dalaman kampus ini udah kayak dapur kontrakan. Lembab, bau, dan penuh sisa gosong yang nggak pernah diberesin.
Rapat sih rajin, tapi hasilnya? Yahh begitulah. Ide bagus tenggelam di meja birokrasi, kritik langsung dicap pembangkang.
Dosen males ngajuin inovasi, mahasiswa bingung mau kemana, semua sibuk jaga muka sambil nahan muntah sama sistem yang makin nggak masuk akal.
Kalau pemimpin cuma hadir pas kamera standby, jangan heran kalau kepercayaan mati sebelum baterainya habis.
Kampus ini bukan panggung endorse. Bu!!!, ini ladang luka yang butuh dipel, bukan di-tag.
Kami tak ingin rektor yang hanya bersuara saat pelantikan. Kami ingin yang mau duduk di ruang dosen dan mendengar. Yang turun ke lapangan bukan untuk inspeksi mendadak, tapi untuk melihat kenyataan.
Karena sekarang, terlalu banyak pemimpin yang tahu masalah hanya lewat grup WhatsApp, tanpa langsung turun untuk melihat.
Kami ingin percaya lagi, sungguh. Tapi kepercayaan bukan lagi bawaan pabrik bagi kami, ia harus diperjuangkan, dibuktikan. Setelah terlalu banyak janji yang menguap, yang kami tunggu bukan kata-kata manis, tapi langkah nyata.
Jika Ibu mampu mengubah arah, maka sejarah tak hanya mencatat Ibu sebagai rektor perempuan pertama, tapi juga sebagai sosok yang berhasil mengembalikan warasnya ruang akademik yang lama kehilangan arah.
Bu!!!, Bu Rektor, jangan hanya datang untuk selfie di api. Datanglah dengan air. Kami tak menuntut kesempurnaan. Tapi kami menuntut kehadiran.
Kami ingin kampus ini kembali jadi tempat belajar, bukan tempat trauma. Tapi semua itu hanya mungkin, jika Ibu bersedia melangkah bukan dengan sorak, tapi dengan jujur, bukan dengan gegap gempita, tapi dengan hati yang tulus ingin membersihkan, bukan sekadar memperindah luka.
Jika Ibu datang sebagai cahaya, kami mohon, nyalalah. Tapi jika tidak, jangan padamkan pelita kecil yang masih berusaha menyala di tengah angin. Karena kadang, satu suluh yang bertahan diam-diam… cukup untuk menerangi jalan yang lama gelap.
Akhir kata dari penulis: Mari!!! Kampus ini tak akan berubah oleh satu tangan saja, ia butuh derap langkah bersama.
Dosen yang mengajar bukan hanya dari buku, tapi dari nurani.
Mahasiswa yang belajar bukan sekadar demi nilai, tapi demi arah.
Pegawai yang bekerja bukan karena rutinitas, tapi karena cinta.
Dan pemimpin yang tak hanya bicara perubahan, tapi menjadi perubahan itu sendiri.
Mari kita bangun ulang rumah ini, dengan hati yang jujur, suara yang tak takut, dan keberanian yang tak bisa dibungkam.
Karena seperti kata Soekarno, “Berikan aku sepuluh pemuda, niscaya kuguncangkan dunia” maka bayangkan apa yang bisa terjadi jika seluruh isi kampus ini bangkit dan berjalan searah.
Dan seperti Buya Hamka pernah menulis, “Jangan takut jatuh, karena yang tidak pernah memanjatlah yang tak pernah jatuh”
Sekaranglah saatnya kita memanjat bersama, meski tertatih, meski terpaksa, asal cahaya tak hilang dari pandang mata. (*)
Penulis adalah mahasiswa pasca sarjana Ilmu al qur’an dan Tafsir UIN Imam Bonjol Padang dan alumni UIN Suska Riau sekaligus anggota SCOCY (Smart Community Literacy)