PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Forum LSM Riau Bersatu mengapresiasi program rehabilitasi atau pemulihan kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau yang kini rusak akibat perambahan liar.
Tak hanya dirambah dan kayunya dijual, kawasan hutan lindung tersebut juga sudah dialihfungsikan sebagai kebun sawit oleh para cukong dan masyarakat. Karena itu, Selasa kemarin, Satgas PKH telah menyita kabun sawit yang berada dalam kawasan TNTN.
Satgas juga memberikan tenggat waktu tiga bulan kepada para penggarap ilegal di kawasan TNTN untuk mengosongkan lahan yang kini telah menjadi perkebunan sawit.
Batas waktu relokasi mandiri ditetapkan mulai 22 Mei hingga 22 Agustus 2025. Kebijakan itu disampaikan langsung Kasum TNI, Letjen TNI Richard TH Tampubolon saat pemasangan plang penyegelan kawasan TNTN, Selasa (10/6/2025).
“Kita apresiasi tindakan tegas Satgas PKH, termasuk menyita kebun sawit yang berada dalam kawasan. Namun demikian, kita meminta pemerintah tetap memperhatikan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menanam sawit di kawasan hutan tersebut,” kata Penasehat Forum LSM Riau Bersatu, Fajar Simanjuntak kepada wartawan, Kamis (12/6/2025) di Pekanbaru.
Dikatakan, masyarakat jangan sampai jadi korban dan dirugikan. Meski tim Satgas PKH memberikan tenggat waktu 3 bulan kepada para petani sawit yang kebunnya disita untuk segera pindah dari TNTN secara mandiri, namun perlu juga difikirkan nasib mereka selanjutnya.
“Selama ini, masyarakat karena ketidaktahuannya atau unsur pembiaran dari pihak tertentu atau oknum pemerintah, sehingga aktivitas berkebun masyarakat dalam kawasan TNTN dianggap sebagai kewajaran,” ujar Fajar.
Bila sekarang lahan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup harus disita, tentu masyarakat petani sawit tersebut akan kehilangan sumber pendapatan dan pekerjaan. Ini perlu menjadi perhatian pemerintah,” tuturnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Forum LSM Riau Bersatu, Robert Hendrico menyebut, peroslan hutan, perkebunan sawit dan penertiban kawasan hutan itu sendiri jauh hari sudah memiliki aturan.
Ada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang perkebunan dan UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang penertiban keselamatan hutan
Menurut Robert, ketiga UU tersebut saling berkaitan dan UU Kehutanan menjadi dasar. Dimana UU Perkebunan sudah mengatur dengan jelas sektor perkebunan, termasuk yang mungkin berbatasan atau menggunakan lahan di kawasan hutan. Sementara UU Pencegahan Perusakan Hutan jelas mengatur tentang penegakan hukum terhadap pelanggaran bagi mereka yang merusak hutan.
Ketiga produk hukum itu, kata Robert, hampir 20 tahun lebih tidak dijalankan secara maksimal. Diduga, selama ini negara tutup mata atas semua kejahatan di bidang kehutanan.
Kemudian muncul UU Cipta Kerja yang juga mengatur bidang perkebunan dalam kawasan hutan. Dimana negara telah memberi waktu tiga tahun untuk merapikan kebun dalam kawasan hutan.
Kini, Presiden Prabowo Subianto secara tegas mengeluarkan kebijakan spektakuler, Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan yang direalisasikan dengan pembentukan Satgas PKH.
“Artinya, tidak saja kebun sawit dalam hutan yang ditertibkan tapi kebun yang tak ada izin, bahkan tambang tak berizin juga ditindak Satgas PKH. Tentu kebijakan ini sangat kita dukung,” ujarnya.
Tapi perlu dicatat, kata Robert, dalam kawasan hutan TNTN itu sekarang terdapat masyarakat yang sudah ada puluhan tahun. “Bila TNTN atau kawasan hutan lainnya ditertibkan, tolong negara juga bijak dengan memperhatikan kelangsungan kehidupan mereka,” harapnya.
Sebab, menurut Robert, apapun ceritanya hutan harus dilestarikan demi kelangsungan alam. Namun demikian, dalam bertindak pemerintah melalui Satgas PKH jangan tebang pilih.
“Jangan hanya kebun masyarakat petani saja yang disita, namun juga milik para cukong atau perusahaan yang tidak sesuai aturan juga harus disita,” tegasnya.
Diharapkan, negara bisa memberikan solusi cerdas dan bijak dalam menyelamatkan nasib masyarakat yang sudah terlanjur menggantungkan hidup di kawasan hutan TNTN tersebut.
“Ada baiknya pemerintah memikirkan cara merelokasi masyarakat. Sehingga, saat mereka meninggalkan kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sekarang, mereka bisa memulai kehidupan baru di tempat baru. Jadi mereka tidak kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidupnya,” tukasnya.
Dikatakan, meski tindakan masyarakat membuat kebun sawit dalam kawasan hutan itu salah secara hukum, namun pemerintah juga harus memikirkan bagaimana kehidupan mereka kelak.
Kondisi Kritis
Sebagai informasi, TNTN merupakan hutan konservasi dengan tingkat kerusakan terparah di Indonesia. Keberadaan TNTN menjadi sorotan dunia di tengah kampanye pemerintah yang mengklaim peduli terhadap deforestasi hutan, namun di lapangan justru tak sesuai.
Dari total luasan TNTN sekitar 81.700 hektare lebih, seluas 40.400 hektare lebih sudah menjadi kebun sawit. Data terkini, luas hutan tersisa di TNTN hanya sekitar 13.700 hektare lebih.
Ini artinya, lebih 65.000 hektare lebih kawasan hutan di TNTN, terindikasi telah mengalami kerusakan.
Penggarapan secara ilegal dan massif TNTN dilakukan oleh individu maupun kelompok masyarakat, termasuk kaki tangan korporasi.
Hasil kebun sawit dari TNTN ditampung sejumlah pabrik kelapa sawit milik perusahaan besar, namun tidak pernah mendapat tindakan hukum.
Kini, kehancuran TNTN sudah masuk dalam kondisi kritis akibat alih fungsi menjadi kebun kelapa sawit secara ilegal dan sudah berlangsung belasan tahun.
Sekretaris Satgas PKH Sutikno menjelaskan, dari 81.793 hektare kawasan hutan TNTN, kini hanya tersisa sekitar 12.000 hektare saja.
Padahal, hutan itu milik negara, namun kini dikuasai dan digarap kelompok tertentu dan masyarakat.
“Selama ini, TNTN itukan dijarah orang-orang ataupun perusahaan tertentu. Dan itulah nanti yang akan kita kuasai kembali untuk dikembalikan ke negara,” ujar Sutikno, Senin (9/6/2025) di Jakarta.
Menurut Sutikno, kawasan hutan di Tesso Nelo bukan cuma milik negara sebagai taman nasional, melainkan juga sebagai paru-paru dunia.
“Tesso Nilo itu, mestinya menjadi konservasi, tetapi dialihkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal kawasan itu, bukan cuma taman nasional, tetapi juga sebagai paru-paru dunia,” tukasnya. (bsh)