Kenapa ini bisa terhenti?
Seiring maraknya media online, media sosial, orang pun mulai beralih ‘kiblat’ informasi dari media cetak ke media online.
Kita tidak kuat lagi menahan gelombang informasi dari media online dan medsos. Alasannya pertama, soal pembiayaan. Dimana media cetak lebih berat pembiayaannya dibandingkan media online. Kedua, tidak bisa bersaing di pasar bebas. Karena orientasi masyarakat berubah.
Awalnya membeli informasi, sekarang tidak lagi. Informasi itu kini diantar lewat WAG, Facebook, Twitter, dan lainnya. Itulah sebabnya kenapa Tabloid AZAM berhenti cetak sampai saat ini. Tapi bagi saya 20 tahun membangun AZAM menjaga kesinambungan penerbitan sudah sangat luar biasa. Saya sendiri tidak menyangka ternyata kami mampu bertahan terbit dalam rentang waktu selama itu.
Apa masalah yang dihadapi dunia pers saat ini, khususnya di Riau?
Salah satu problem media yang dihadapi saat ini adalah soal sumber daya. Dan ini sudah diantisipasi jauh hari oleh kalangan pers lewat UU Pers No 40/1999. Orang sudah meramalkan akan terjadi persaingan bebas di bisnis media. Dan masyarakat sekarang dihadapkan dengan informasi yang beragam.
Paradoksnya, UU pers itu adalah UU yang liberal yang bertumpu pada kebebasan pers. Mestinya, media-media ini harus diback-up oleh tenaga-tenaga yang profesional. Makanya, UU pers itu menitikberatkan liberalisasi pers dengan profesionalisme pers.
Di era anda dulu, apakah sumberdaya juga menjadi problem?
Saat orde baru, masalah sumberdaya ini tidak menjadi problem. Karena untuk menjadi wartawan itu luarbiasa susahnya. Harus orang-orang yang benar-benar terampil. Beda dengan sekarang dimana orang dengan mudahnya menjadi wartawan dan membangun bisnis media.
Seperti apa bentuk profesionalisme pers yang dimaksud?
Profesionalisme pers ini ada pada resources media, baik tenaga keredaksiannya maupun tenaga usahanya. Keredaksian pers yang disebut dengan wartawan adalah orang-orang yang benar-benar profesional dibidang pers. Mampu melakukan interview dengan baik, memiliki etika dan adab yang baik, patuh dengan kode etik serta memiliki kemampuan menulis yang baik.
Karena pers ini profesi, maka ia bertumpu pada kemampuan resource yang kapable dan berkualitas. Jadi, mustahil kita bicara produk jurnalistik yang berkualitas kalau orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak memiliki kemampuan dan keterampilan jurnalistik.