“Peralihan ‘kiblat’ informasi menjadi penyebab media cetak tak mampu bersaing“
Syafriadi
PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM–Tak bisa dipungkiri, pers mengambil bagian cukup penting dalam memperluas jangkauan penyampaian informasi. Namun, berbagai persoalan masih menghalangi perkembangannya. Salah satunya, profesionalisme pers itu sendiri.
Bicara soal tumbuh kembangnya pers dulu dan kini, FokusRiau.Com berkesempatan berbincang dengan salah seorang tokoh pers Riau, Dr. H. Syafriadi SH, MH, Selasa (6/7/2021).
Bisa diceritakan sejak kapan Anda bergelut di dunia jurnalistik?
Pers saya tekuni ketika masih kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) tahun 1986-1991. Saya belajar jurnalistik di pers kampus bernama Majalah Keadilan yang digarap Fakultas Hukum UII. Majalah ini termasuk salah satu media kampus yang diminati mahasiswa. Inilah awal ‘pertemanan’ saya dengan jurnalistik.
Dan dari sini pula saya mengikuti berbagai pelatihan jurnalistik. Mulai dari tingkat dasar sampai tingkat atas. Setiap waktu kemampuan menulis saya asah dan pertajam dengan terus belajar, baik lewat buku maupun dari senior-senior.
Lantas, sejak kapan pula memulai terjun ke pers komersial?
Setahun sebelum saya menyelesaikan kuliah, tepatnya tahun 1990. Dimana saya menjadi wartawan di Tabloid Eksponen terbitan Jogja dan dikelola orang-orang profesional. Setelah S1 saya selesai di Fakultas Hukum UII tahun 1991, saya balik ke Pekanbaru.
Beberapa media pernah menjadi tempat saya berkiprah. Saya pernah bergabung dengan Tabloid Genta, Tabloid Pantau, Harian Suara Kita, Harian Riau Mandiri, Majalah Gatra sampai bersama sejumlah teman mendirikan Tabloid AZAM.
Bagaimana Anda melihat pertumbuhan industri pers saat ini?
Kebebasan pers saat ini membuat industri pers tumbuh bak jamur di musim hujan. Setiap orang bisa saja membuat media walau tidak memiliki pengalaman di bidang itu. Beda dengan dulu. Dimana untuk mendapatkan izin penerbitan susahnya luarbiasa.
Ini saya alami ketika bergabung bersama (Alm) Ediruslan P Amanriza mendirikan Tabloid Pantau dan Tabloid AZAM. Saat itu tabloid Pantau merupakan tabloid pertama di Pekanbaru yang mempunyai surat izin usaha penerbitan pers di era reformasi.
Untuk mendapatkan SIUP ini susahnya minta ampun. Tapi, kami berhasil mendapatkannya. Begitu juga ketika kami mendirikan Tabloid AZAM. Prosesnya sangat panjang dan rumit. Ada tiga kali pergantian nama sebelum akhirnya lolos di departemen penerangan dengan nama Tabloid AZAM.
Bersama kawan-kawan, AZAM ini kita dayung memberikan warna baru di dunia pers Riau. 20 tahun lamanya (1998 – 2018) tabloid ini menghiasi pers di Riau, tanpa pernah berhenti terbit.