Fakta yang anda lihat dan rasakan bagaimana?
Malangnya, apa yang diinginkan UU Pers faktanya tidak seperti itu. Norma yang terdapat dalam UU Pers itu adalah norma yang menghendaki profesionalisme pers. Sementara yang terjadi saat ini adanya pergeseran dari profesi ke pekerjaan.
Pemilik media tidak lagi melihat apakah seseorang itu profesional atau tidak menjadi wartawan. Sampai sekarang, ini menjadi problem. Hasil disertasi saya tahun 2014 terkait tanggungjawab sosial pers, menempatkan bahwa resources pers salah satu problem di era kebebasan pers.
Di tengah tantangan yang berat, banyak media yang tidak didukung sumber daya andal. Siapapun bisa menjadi wartawan, dan siapapun bisa mendirikan media tanpa ada seleksi. Ini satu kenyataan yang kita hadapi sekarang. Di era reformasi problem utama media itu pertama soal sumber daya.
Kedua soal modal. Ketiga, terjadinya pergeseran. Orientasinya tidak lagi bagaimana menyajikan informasi yang benar dalam melayani kepentingan publik, tapi orientasinya ekonomi. Kalau kondisinya seperti itu, pertanyaannya apakah kita masih pantas berbicara tentang profesionalisme pers?
Menurut Anda, apa solusinya?
Solusinya, ini menjadi tanggungjawab seluruh pegiat pers. Peningkatan sumberdaya menjadi tanggungjawab masing-masing perusaan pers bagaimana meningkatkan kualitas wartawannya. Termasuk dalam memberikan gaji kepada karyawan.
Kedua tanggungjawab itu ada pada organisasi perusahaan pers seperti SPS, JMSI, AMSI, dan AMSI. Selain itu organisasi profesi kewartawanan seperti PWI, AJI dan lainnya ikut bertanggungjawab.
Harus bersama-sama berpikir bagaimana kualitas sumberdaya itu bisa diperbaiki secara kontinyu dengan melakukan pelatihan-pelatihan kepada wartawan. Saya sangat setuju dengan program-program yang digagas dewan pers, seperti program Uji Kompetensi Wartawan (UKW).
Karena lewat program UKW ini kita bisa mengetahui seseorang itu kompeten atau tidak. Kedua program verifikasi perusahaan. Menurut saya, inilah yang bisa menolong kita dalam meningkatkan profesionalisme pers. Itupun masih bisa diakal-akali untuk bisa mendapatkan sertifikat verifikasi.
Terkait profesionalisme pers ini apakah masih bisa diselamatkan?
Saya tidak melihat akan ada perbaikan yang signifikan dari kualitas sumberdaya kewartawanan ini. Karena jumlahnya makin hari makin banyak dan tidak didukung kualitas. Sementara kebutuhan masyarakat akan informasi makin tinggi. Apalagi dengan hadirnya media sosial sekarang semua orang dah jadi Wartawan. Netizen journalism bermunculan.
Mereka menyampaikan informasi tanpa mampu melahirkan produk jurnalistik yang sesungguhnya. Jadi, saya pesimis dengan kondisi sekarang apakah situasi profesionalisme pers itu dapat diselamatkan atau tidak. Kalau kita masih berada dalam satu payung UU 40/1999 tentang pers, saya tidak melihat ada harapan.
Kecuali kalau ada keinginan kita bersama untuk merevisi UU ini dengan membuat norma baru yang mengikat masalah profesionalisme pers. (*)
Penulis: M Yasier
Editor: Boy Surya Hamta