Sebelum Petang

Ilustrasi. Sebelum petang. (Foto: Istimewa)

Cerpen : Aura K. Tandan Wangi *

MARYAM heran mengapa kue kering di rak dapur cepat sekali habisnya, bahkan beberapa raib stoples-toplesnya. Anaknya memang suka sekali dengan kue kering, tapi biasanya akan ada fase bosan dan kue kering berstoples-stoples akan habis sebulan dua bulan kemudian.

Sebenarnya Ruri membawa kue kering itu ke tempat teman barunya. Teman barunya itu juga suka sekali dengan kue kering. Dan masalah stoples yang raib, Ruri hanya lupa membawanya pulang.

Setiap sore saat Maryam sibuk mengantarkan kue pesanannya, Ruri pergi ke tempat teman barunya. Tidak jauh, hanya di samping rumahnya, tapi sampai saat ini tidak ada yang mengetahui keberadaan teman baru Ruri. Sama sekali tidak ada.

Sebenarnya Ruri sudah menceritakan teman barunya kepada Maryam, bahkan saat Ruri curiga kalau dia adalah hantu penghuni rumah tetangganya. Sayang, Maryam selalu menganggap cerita Ruri hanyalah khayalannya saja.

Dua minggu lalu karena cerita keberadaan hantu di rumah tetangganya tidak digubris oleh Maryam, Ruri mencoba cerita ke teman-teman kelasnya. Sama saja, mereka menganggap omongan Ruri adalah angin lalu. Masalahnya Ruri memang sudah sering sekali menceritakan bermacam-macam hantu yang ditemuinya, dari yang buruk rupa hingga yang bak malaikat.

Tapi kali ini beda. Ruri merasa bahwa yang dilihatnya bukanlah hantu biasa. Ruri juga merasa barangkali dia bukanlah hantu, melainkan manusia sungguhan. Sebab sosok itu sudah beberapa kali muncul. Tidak hanya sekali dua kali saja, tetapi hampir setiap hari ketika Ruri berniat menantikan matahari terbenam di teras samping rumahnya.

Pasalnya hantu yang biasa Ruri lihat hanya sekali muncul saja. Tidak ada yang pernah berkali-kali menunjukkan diri atau bahkan sampai berteman dengan mereka layaknya novel Danur. Ruri hanya bisa melihat hantu saja, bukan berkomunikasi dengan mereka.

“Coba kau datangin saja rumah itu, memastikan dia hantu beneran atau bukan,” respon Tya, teman kelas Ruri yang baginya paling baik sedunia karena satu-satunya yang selalu merespon cerita-cerita hantu Ruri meski dengan malas juga. Tapi setidaknya Tya sudah berusaha untuk menghargai cerita Ruri.

Malam harinya, Ruri memikirkan lagi perkataan Tya. Ada benarnya juga. Tapi masalahnya rumah itu adalah rumah dari keluarga pindahan yang bahkan Ruri tidak mengenal baik mereka. Tidak mungkin dirinya akan tiba-tiba meminta izin untuk masuk ke rumah itu dengan alasan ingin bertemu hantu. Bisa-bisa Ruri dianggap anak ingusan yang aneh.

Enak saja, aku bukan anak ingusan.

Lantas bagaimana caranya? Ruri benar-benar tidak tahu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Ruri mengenal anak dari keluarga rumah itu. Tidak mengenal juga, sih, hanya saja tahu. Anak itu bernama Gia dan Gio. Anak kembar yang sama sekali tidak disukai oleh Ruri.

Masalahnya jika Ruri dan mereka berpas-pasan di depan rumah ketika hendak berangkat sekolah, alih-alih membalas senyum pagi Ruri yang cerah, mereka berdua justru melengos dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Sombong sekali anak-anak itu, anak pindahan saja belagu, batin Ruri setiap kali.

Mereka sebenarnya juga jarang bertemu, berpas-pasan ketika hendak berangkat sekolah pun sangat jarang. Yang Ruri tahu, Gio mengikuti les akademik dan panahan setiap pulang sekolah, bahkan akhir pekan.

Sementara itu, Gia mengikuti les akademik dan balet. Tidak heran, wajah Gia memang cantik dan porposi tubuhnya sangatlah apik. Cocok sebagai penari balet. Sayangnya Ruri tetap saja tidak suka dengan anak itu.

Ruri mengetahui kabar-kabar itu dari teman sekelasnya yang kebetulan satu bimbel dengan si kembar. Tidak sengaja Ruri mendengar temannya sedang menceritakan anak kembar yang memiliki wajah cakep dan cantik.

Ruri pun penasaran dengan mukanya karena temannya itu selalu bercerita dengan heboh, membuat perempuan-perempuan di kelasnya ikut penasaran juga. Ketika diberi lihat fotonya, ternyata yang sedang dibicarakan adalah tetangga Ruri sendiri.

Memang cakep dan cantik, sayangnya mereka tidak tahu bahwa si kembar itu menyebalkan. Tapi Ruri diam saja, malas membicarakannya.

Buang-buang waktu. Lebih baik memikirkan bagaimana cara memastikan sosok itu di rumah si kembar. Tepatnya bagaimana cara masuk ke rumah itu tanpa ketahuan oleh siapa-siapa.

Parah kalau sampai ada yang mengira Ruri maling cilik baru di kompleks. Bisa jelek citra Maryam. Toko kue rumahannya bisa-bisa bangkrut akibat ulah anaknya sendiri.

Keesokan harinya ketika pulang sekolah, Ruri segera bergegas mandi. Dia ingin memastikan keberadaan sosok itu sekali lagi yang sudah kesekian kalinya. Ruri mengatakan dalam hati misal kali itu datang lagi, maka benar, dia adalah manusia.

Maryam sudah pergi mengantarkan kue pesanannya ketika Ruri selesai mandi. Entahlah, bundanya itu suka sekali mengantarkan pesanannya sendiri ketimbang minta bantuan ojek online atau merekrut orang. Katanya, sih, biar bisa silaturrahmi sekalian dengan pelanggan. Cepat-cepat beli, deh, kapan lagi ada pemilik toko kue rumahan yang kelewat ramah.

Ok, kembali ke teras rumah. Maksudnya, Ruri sudah berada di teras samping rumahnya saat itu. Duduk anteng ditemani putri salju satu stoples.

Tahta tertinggi di dunia kue kering bagi Ruri. Mulutnya sudah belepotan gula halus, tapi sosok itu tak kunjung kelihatan juga di jendela lantai atas rumah si kembar.

Ruri tidak tahu menahu akan denah rumah itu. Jadi tidak tahu jendela yang menjadi tempat sosok itu memperlihatkan diri adalah ruangan apa. Barangkali memang kamar.

Sebentar, Ruri baru sadar sesuatu. Jika memang dia adalah manusia sungguhan, siapakah dia di rumah itu? Yang Ruri tahu, keluarga itu hanya beranggotakan empat orang.

Orang tua si kembar dan si kembar itu sendiri. Ruri melihatnya dengan jelas saat mereka pindahan. Tidak ada orang lain lagi selain mereka. Atau mungkin saudaranya si kembar?

Namun, masalahnya rumah itu selalu kosong sebelum petang.

Kalau tidak salah dengar, ayah si kembar adalah dokter bedah di salah satu rumah sakit kota dan ibunya adalah seorang pekerja kantoran yang sering sekali lembur.

Ruri tahu itu dari Maryam ketika mereka berbasa basi sebagai tetangga baru kala itu.

Tidak mungkin juga, kan? Misal ada saudaranya di rumah, tapi tidak ada yang menemaninya. Tapi mungkin juga. Ah, Ruri tidak tahu itu.

Tidak lama kemudian Maryam sudah pulang. Tumben cepat sekali. Ternyata di jalan Maryam mendapat pesanan dari tetangganya. Kue ulang tahun dadakan untuk nanti malam. Maryam menginginkan bantuan Ruri. Akhirnya belum sempat melihat sosok itu lagi, Ruri sudah kembali masuk ke dapur.

Saat jam pelajaran, Ruri membicarakannya lagi dengan Tya. Tepatnya sesuatu yang baru disadarinya kemarin sore. Ruri sedikit menurunkan presentase kemungkinan bahwa sosok itu adalah manusia.

Barangkali saat ini Ruri sudah ditakdirkan untuk bisa melihat hantu yang sama secara berkali-kali. Bisa jadi nanti ia juga mampu berkomunikasi dengan mereka.

“Menurutmu, dia hantu atau manusia kalau begitu?” Bisik Ruri ketika guru di depan sedang menjelaskan matematika yang baginya memuakkan.

“Kalau begitu, dia berarti hantu. Seperti dugaanmu, kini kamu udah ditakdirkan untuk melihat hantu nggak hanya sekali.”

Bagus. Tapi dugaan itu masih meragukan. Dia bisa saja hantu dan bisa juga manusia. Memang ada baiknya dia memikirkan strategi bagaimana masuk ke rumah si kembar tanpa ketahuan orang lain. Mengerikan juga sebenarnya.

Masalahnya seperti melakukan tindak kriminal, mengendap-endap masuk ke rumah orang. Oke, paling tidak dia memiliki akses masuk ke halamannya, mendekat dan mengajak sosok itu bicara. Jika bisa.

“Kenapa aku tidak ikut saja memastikan hantu itu?” Bisik Tya tiba-tiba.

Benar juga, kenapa tidak ikut saja temannya itu. Tapi sepertinya jika dua orang, peluang ketahuannya akan lebih banyak karena membutuhkan ruang lebih banyak pula.

“Tidak, nanti Bundaku nanya aneh-aneh ke kamu. Kamu kan kadang suka keceplosan. Meminimalisir.”
“Yeu, aku kan juga mau lihat hantunya,” ucap Tya.
“Aku pastikan dulu baru kamu boleh ikut ke rumahku,” tawar Ruri.
“Benar, ya?”

Ruri mengangguk kemudian lanjut memperhatikan angka-angka di papan tulis yang membuatnya pening.

Sore harinya seperti biasa, Ruri sudah duduk di teras samping rumahnya. Berharap tidak lagi Maryam meminta bantuan dadakan seperti hari sebelumnya.

Stoples putri salju masih menemaninya. Duduk anteng dan matanya tidak lepas pandang dari jendela lantai dua rumah si kembar. Dia sudah berniat untuk kali ini akan melambaikan tangan ke sosok itu. Penasaran dengan responnya akan bagaimana. Sepuluh menit, lima belas menit, akhirnya sosok itu muncul.

Ruri melihat heran karena lagi-lagi dirinya menyadari sesuatu. Baju sosok itu tidak selalu sama dari hari ke hari. Dirinya yakin beberapa hari lalu sosok itu mengenakan piama bewarna biru.

Kini sosok itu berbaju pink dengan rok putih selutut. Mana ada hantu yang berganti pakaian. Bukannya mereka selalu mengenakan pakaian yang sama hingga mereka benar-benar telah selesai urusan di dunia? Oke, sore itu Ruri menaikkan lagi presentase kemungkinan bahwa sosok itu adalah manusia.

Setelah meyakinkan hal itu, Ruri coba melambaikan tangan ke dia. Mengejutkan, sosok itu membalas lambaiannya. Oke, bukti satu kalau dia manusia. Dia tersenyum pula, dari kemarin tersenyum sebenarnya. Oke, bukti dua kalau dia manusia

Ruri memerhatikan mulut sosok itu yang baru kali ini seperti berbicarasesuatu. Jarinya pun bergerak menunjuk arah ke kiri posisinya saat ini. Tepatnya belakang rumah si kembar. Yang Ruri tahu, arah yang ditunjuk sosok itu adalah pagar belakang rumah. Apa maksudnya?

Apakah sosok itu tahu bahwa Ruri ingin masuk ke rumah si kembar? Lalu dia memberikan isyarat untuk lewat pagar belakang rumah saja. Dia ini hantu atau manusia, sih. Kok tahu saja kemauan Ruri.

Tapi aneh, tidak mungkin kalau pemiliknya tidak mengunci seluruh akses masuk rumah yang bagi Ruri besar itu. Oke, dicoba dulu untuk pergi ke bagian belakang rumah.

Siapa tahu ada sesuatu lain yang bisa ditemukan di sana. Toh, mumpung rumah itu tidak ada orang. Sudah dipastikan si kembar pulangnya larut sore dan orang tuanya belum akan sampai rumah ketika jam belum menunjukkan pukul delapan malam.

“Nda, aku mau main keluar sebentar,” pamit Ruri menghampiri Maryam yang sedang membereskan perabotan.

“Jangan lama-lama, Ri. Bunda mau mengantar pesanan habis ini. Kalau nanti Bunda belum pulang, kuncinya ada di bawah pot bunga mawar pink nomor tiga dari pintu, ya.”

Ruri mengangguk dan segera menuju ke belakang rumah si kembar. Pelan-pelan dia melangkah, memastikan tidak ada tetangga lain yang melihat gerak-geriknya.

Sesampainya di sana, ia tidak menemukan apa-apa kecuali pintu pagar yang terbuka. Ruri sedang dalam mimpi, kah?

Seperti tidak mungkin kalau rencana dia dipermudah dengan sangat mudah begitu. Tiba-tiba diberi akses untuk masuk ke rumah si kembar dan bertemu dengan sosok yang sangat membuatnya penasaran.

Tapi Ruri ragu. Haruskan ia masuk ke halaman rumah itu? Masalahnya ini bukanlah perbuatan yang baik, masuk tanpa izin si pemilik. Maryam akan marah besar dan mengancam Ruri untuk tinggal di asrama yang kesekian kalinya.

Ingin sekali Ruri mengurungkan niatnya saat itu. Tapi setelah dipikir-pikir niat dia adalah ingin memastikan sosok itu tanpa merusak atau bahkan mengambil sesuatu. Jadi Ruri mantap melangkahkan kakinya masuk setelah memastikan sekali lagi tidak ada tetangga yang melihatnya.

Ruri menutup pintu pagar dengan pelan kemudian menuju teras samping rumah si kembar. Melongak ke atas, mencari keberadaan sosok itu di jendela lantai dua. Nihil, tidak ada siapa-siapa. Ke mana perginya? Seketika bulu kuduk Ruri meremang. Menduga-duga lagi bahwa sosok itu memanglah hantu.

Ruri hendak keluar saja karena belum siap jika tiba-tiba harus masuk ke dalam mencari sosoknya. Dan betapa terkejutnya Ruri ketika membalikan badan tiba-tiba ada sosok itu di hadapannya.

Lemas. Ruri kaget bukan main.Tidak masalah itu hantu, tapi siapa yang menduga bahwa sosoknya tiba-tiba berada di belakang Ruri? Tidak ada.

Jarak antara Ruri dan sosok itu tidak terlalu jauh. Dan yang pertama kali Ruri perhatikan adalah kakinya. Menapak. Oke, bukti tiga kalau dia manusia.

“Aku ma-nusia,” ucapannya membuat Ruri terkejut. Mengapa dia bisa tahu apa yang dipikirkan Ruri? Bahkan perihal dia ingin masuk ke halaman rumah itu sekalipun.

“Li-ly,” sosok itu mengulurkan tangan, mengajak berkenalan Ruri. Ucapannya sedikit terbata dan tatapannya sedari tadi kemana-mana.

Ruri menggapai uluran tangan itu sembari menyebut namanya. Tangannya tidak kaku dan tidak dingin. Suhunya normal seperti manusia biasa. Oke, bukti empat kalau dia manusia.

Ruri sangat penasaran, kalau dia adalah manusia di rumah si kembar, lantas siapakah dia?

“Kamu siapanya si kembar?”
“Ka-mu kalau mau tahu, ayo ma-suk kita ke a-tas,” ucapnya yang membuat Ruri sedikit bingung. Ucapannya sedikit terbata, bukan gagap. Dan sedikit terbalik-balik katanya.

Sebenarnya pun wajah Lily tidak asing di mata Ruri. Seperti sudah berkali-kali lihat wajah yang sama, tetapi jelas berbeda. Ah, lupakan dulu.

Tanpa pikir panjang Ruri mengiyakan ajakan Lily sebelum petang tiba.

Setelah pertemuan secara langsung antara Ruri dan Lily dua minggu yang lalu di loteng rumah si kembar, kini mereka berteman baik secara diam-diam. Ruri menjadi tahu lebih banyak tentang Lily dan tetangga barunya itu.

Dan fakta yang sangat membuat terkejut ialah Lily merupakan kakak kandungnya si kembar. Masalahnya selama ini Ruri tidak pernah melihat anak di rumah itu selain si kembar.

Lily memberi tahu alasan mengapa selama ini dirinya tidak pernah terlihat. Orang tua Lily ternyata menyembunyikannya. Orang tua Lily ternyata tidak ingin orang lain tahu bahwa mereka memiliki anak down syndrome. Tepatnya mereka malu.

Makanya Ruri sangat tidak asing dengan ciri-ciri muka Lily. Setelah ia cari tahu di internet, wajah itu memang ciri khas mereka yang kelebihan kromosom sejak lahir dan disebut sebagai anak down syndrome.

Sebentar, ayah dengan background dokter tega menyembunyikan anak cantik seperti Lily?

Di mana hati nuraninya?

Seharusnya dia lebih bisa merawat Lily lebih dari siapa pun, bukan justu malu. Dan ternyata ibu yang tega dengan anaknya sendiri tidak hanya bisa Ruri saksikan di sinetron-sinetron saja, ternyata dengan jelas terjadi tepat di sekitarnya, di samping rumahnya sendiri pula.

Saat pertama kali masuk ke rumah si kembar, terdapat foto keluarga dengan ukuran besar yang hanya berisi empat orang. Saat itu Ruri kemudian berpikir bahwa Lily memang saudara atau sepupu si kembar yang sedang numpang menginap beberapa hari.

Entah kenapa pada saat itu Ruri sama sekali tidak terpikirkan bahwa Lily bisa jadi orang jahat yang diam-diam menyelinap masuk ke rumah itu sama seperti niatnya. Dan ternyata fakta yang didapatkannya lebih mengejutkan dari apa pun.

Ruri sangat ingin menceritakan hal ini kepada Maryam dan Tya. Namun, sayangnya sejak awal Lily meminta agar Ruri tidak menceritakan ini kepada siapa-siapa.

Lily tidak mau keberadaannya diketahui orang lain. Terlebih keberadaan Ruri di rumahnya yang menyelinap itu. Ia hanya ingin memiliki teman karena selama ini si kembar tidak pernah baik padanya.

Lily bilang saat itu melihat Ruri sedang menyiram tanaman di samping rumahnya. Tentu itu tanaman-tanaman milik Maryam. Kemudian Lily merasa ingin mengajak berkenalan Ruri. Akhirnya terpikirkan oleh Lily untuk memperlihatkan diri di jendela lantai dua.

Sebenarnya Lily takut kalau saja Ruri justru ketakutan dan mengira Lily hantu. Ternyata memang benar Ruri mengiranya hantu, tapi siapa sangka jiwa penasaran Ruri sangat mendominasi hingga akhirnya perempuan 14 tahun itu ingin membuktikan Lily hantu atau manusia.

Selama dua minggu ini, Ruri rutin berkunjung kepada Lily. Kecuali saat Lily tidak menampakkan diri di jendela. Kata Lily jika dia tidak muncul, berarti tandanya sedang ada orang di rumah, entah itu orang tuanya atau si kembar. Jadi kemunculan Lily di jendela dan ketika Ruri sudah melihatnya adalah tanda bahwa Ruri boleh berkunjung.

Pasalnya ketika Ruri pulang sekolah dan keadaan sekitar sepi, Ruri iseng mengecek pagar belakang rumah si kembar. Dikiranya tidak akan terkunci, ternyata terkunci rapat. Sepertinya memang harus melihat Lily terlebih dahulu agar kunci pagar itu dilepaskan oleh Lily.

“Ri, bagaimana kabar hantu di samping rumahmu? Tumben nggak berisik soal hantu,” ucap Tya tiba-tiba yang membuyarkan lamunan Ruri.
“Ah lupakan saja. Dia sudah tidak menunjukkan dirinya lagi,” dalih Ruri agar Tya tidak penasaran.
“Masa, sih? Aneh banget hantunya iseng.”
“ Ya memang hantu, kan tugasnya ngeisengin manusia.”
“Iya bener, sih. Tau, ah.”

Kemudian Ruri dan Tya melanjutkan makan siangnya dengan meributkan PR nanti siang yang sama sekali mereka belum kerjakan. Alias lupa dan bisa-bisanya masih menyempatkan makan mi ayam di kantin.
Pulang sekolah setelah memastikan Maryam tidak memerlukan bantuannya, Ruri menunggu kedatangan Lily di teras samping rumah.

Tangannya kini sudah membawa tas yang berisikan buku gambar dan satu stoples kue kacang yang disukai oleh Lily. Dan mereka berdua senang sekali menggambar dan juga menari di loteng yang kini menjadi markas mereka berdua dua minggu terakhir ini.

Setelah Lily melihatkan diri, Ruri segera menuju ke pagar belakang rumah si kembar. Kemudian Ruri masuk rumah itu melalui pintu samping yang tak terkunci juga. Sepertinya memang Lily yang sudah membukakan kuncinya.

Sesampainya di loteng, Ruri melihat Lily sedang melanjutkan lukisannya kemarin sore. Wajahnya senang ketika melihat Ruri mengeluarkan stoples kue kacang. Itulah mengapa kue kering di rak dapur Maryam beberapa hilang stoples-toplesnya. Ya, karena Ruri bawa ke loteng kemudian lupa membawanya pulang.

Kegiatan Ruri berkunjung ini tentu hanya sebentar. Sebelum matahari tenggelam ia harus sudah pulang. Takut Maryam curiga kalau mainnya terlalu lama.

Padahal Maryam juga sudah curiga karena Ruri jadi kerap sekali main apalagi persediaan kue keringnya cepat sekali habis. Selain itu, Ruri juga takut kalau tiba-tiba si kembar pulang cepat.

Setelah Ruri berpamitan bahwa akan pulang, seperti biasa Lily mengantar Ruri sampai depan pintu samping. Mengingat dua hari yang lalu Maryam mengomel karena stoplesnya berkurang, kali ini ia tidak lupa membawa stoples yang masih berisi setengah itu.

Namun, ketika sampai pertengahan tangga mereka mendengar suara pagar depan terbuka. Jelas ada yang pulang. Entah itu orang tua Lily atau si kembar.

Seketika tubuh Ruri menegang. Kelemahan Ruri adalah gampang panik dan sekarang dirinya tidak bisa tenang. Tas yang berisikan alat menggambar serta stoples itu jatuh.

Pensil warnanya berserakan dan stoples kaca menggelinding dan pecah menghasilkan suara yang kacau.

Mereka berdua bengong cukup lama. Mencerna apa yang barusan terjadi. Ruri dan Lily ingin segera bergegas kembali ke loteng ketika sadar yang seharusnya mereka lakukan adalah sembunyi. Tapi apa boleh buat, Gia sudah muncul di bawah tangga dengan wajah penuh kaget.

Lagipula barang yang berserakan tidak dapat menyembunyikan diri, alias akan ketahuan juga.

“Kamu kenapa jam segini udah pulang?”

Dengan polos Ruri justru bertanya mengapa Gia pulang tidak di jam biasanya.

“Nggak penting. Kamu ngapain di rumah ini? Ternyata kamu ini maling?” Balasan Gia dengan suara kencang. Jelas dirinya marah karena ada orang asing masuk ke rumahnya tanpa izin.

“Aku nggak maling. A-aku c-cuma..” Ruri tidak tahu harus menjelaskannya bagaimana. Rasanya dia ingin menangis dan membutuhkan pertolongan Maryam. Tangannya tidak berhenti menggandeng tangan Lily yang wajahnya juga ketakutan.

“Cuma apa?! Gimana ada orang bisa masuk ke rumah orang kalau dia nggak punya jiwa maling? Kamu tahu trik-trik bobol rumah orang? Hah?!” Ucap Gia sembari tangannya entah menelpon siapa.

Ruri mulai menangis. Dia takut. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan ketahuan karena terlalu senang memiliki teman baru. Dirinya pun sama sekali tidak memikirkan rencana lain ketika akhirnya nanti ketahuan. Minimal memiliki alasan yang dapat dimaklumi.

“Kamu diam di sini! Aku panggilin mamah kamu. Awas kalau kabur!” Setelah berhenti menelpon seseorang, Gia kemudian keluar rumah dan benar memanggil Maryam.

Maryam datang dengan apron penuh noda adonan masih melekat di tubuhnya. Jelas, pasti tadi Maryam terkejut dan langsung bergegas mengikuti Gia. Ruri lantas berlari dan memeluk Maryam.

Dirinya minta maaf berkali-kali. Maryam mengusap air mata Ruri. Berusaha menenangkannya. Sementara Gia terus menghubungi seseorang lewat teleponnya. Semoga saja bukan polisi, harap Ruri.

“Ri, yang kamu maksud main sore tuh di sini?” Tanya Maryam berusaha tenang, padahal dirinya panik karena mendapati anaknya masuk ke rumah orang tanpa izin.
“Aku tuh ke sini cuma main sama Lily, Nda..” Tangis Ruri malah semakin menjadi. “Aku nggak nakal, aku cuma main sama Lily,” lanjutnya.

Maryam terlihat bingung. Asing dengan nama yang disebut Ruri. Siapa Lily? Gia yang mendengar nama itu sangat terkejut, “Tunggu, sama siapa?”

Ruri membisu, tapi tangannya menunjuk ke arah Lily yang sedang ketakutan juga.

Maryam tidak melihat siapa-siapa di arah yang ditunjuk anaknya. Gia pun sama. Padahal dengan jelas Lily sedang berdiri di samping sofa. Wajahnya benar-benar ketakutan, bahkan melebihi Ruri. Hanya saja tidak menangis.

“Lily… Ayo jelasin semuanya ke mereka kalau aku ke sini cuma main sama kamu. Bukan buat yang macam-macam,” pinta Ruri sambil berjalan ke arah Lily kemudian mengajaknya untuk mendekat Maryam. Yang dilihat Maryam dan Gia, Ruri sedang menggandeng angin. Alias tidak melihat siapa yang disebut-sebut sebagai Lily.

“Ruri.. tidak ada siapa-siapa lagi di sini selain Ruri, Bunda, sama Gia,” jelas Maryam.

Maryam tahu bahwa anak itu sejak kecil bisa melihat hantu. Dan saat ini juga tahu bahwa Ruri sebenarnya bermain dengan hantu yang bernama Lily.

Dia sedikit terkejut karena Ruri sekarang tidak hanya mampu melihat saja, melainkan juga berkomunikasi. Persis dugaan Ruri dan Tya saat di sekolah kala itu.

Ruri mendengar ucapan Maryam lantas mengusap air matanya. Pikirannya langsung tertuju akan presentase kemungkinan sosok itu hantu atau manusia sungguhan. Hari ini terjawab sudah. Ternyata Lily adalah hantu yang menyamar sebagai manusia. Lalu untuk apa menyamar?

“Lily adalah kakak kandung Gia dan Gio, Nda. Lily cerita semuanya ke Ruri. Dan ternyata anak dari keluarga Aryo selama ini bukan hanya si kembar, tetapi juga ada Lily.” Jelas Ruri meski tadinya itu hal yang dilarang oleh Lily. Tapi apa buat jika sudah begini.

“Tapi barusan aku mengetahui kebenarannya bahwa ternyata Lily sudah nggak ada. Dari kemarin aku main bukan dengan Lily yang masih hidup sebagai manusia,” Ruri menambahkan.

“Nggak. Kamu ngarang, Ruri. Di keluarga kami nggak ada yang namanya Lily. Anak orang tuaku itu ya cuma aku sama Gio, kembaranku. Saudara kandungku hanya Gio, nggak ada yang lain lagi,” sanggah Gia dengan nada sedikit tinggi.

“Ruri… udah, stop, nak. Jangan berimajinasi,” Maryam menengahi.

“Bunda, bagaimana bisa aku berimajinasi? Bunda tahu sendiri aku bisa lihat hantu dan memang tadinya aku nggak bisa berkomunikasi sama mereka, tapi entah kenapa dengan Lily aku bisa, bahkan aku ngira dia bukanlah hantu. Aku bisa berkomunikasi dengan mereka seolah manusia,” Ruri membela diri kemudian menangis lagi karena Maryam menganggap dirinya hanya berimajinasi.

Tangannya kemudian menggandeng Lily dan mengangkatnya ke atas. Ia berkata, “Tangan yang aku pegang ini adalah tangan Lily.”

Kosong. Yang mereka lihat adalah Ruri menggenggam ruang kosong.

Maryam yang melihatnya sedikit miris kemudian beralih kepada Gia.

“Gia, tapi saya ingin memastikan dulu. Apa benar yang dikatakan Ruri?”
“Ng–” ucapan Gia yang hendak menyangkal ucapan Ruri terpotong dengan kehadiran Gio. Tak lama setelah itu munculah orang tua si kembar.

Ketika datang, Ibu si kembar emosinya sudah tidak tertahan. Akan tetapi ketika Gia membisikan perihal Ruri menyebut-nyebut nama Lily, wajahnya seketika berubah. Amarah tidak lagi terlihat di wajahnya, tetapi muncul raut kegelisahan.

Ruri pikir ibu si kembar ketakutan akan persoalan ada hantu yang menggiring Ruri masuk ke rumahnya secara diam-diam. Ternyata ada fakta yang lebih mengejutkan.

Fakta yang memang ingin diketahui Ruri ketika akhirnya ia sadar bahwa Lily sudah meninggal. Lantas apa yang membuat dirinya meninggal? Gia saja tidak mengakui keberadaannya. Ruri berpikir bahwa ada sesuatu yang sebenarnya mereka sembunyikan. Dan memang benar ada yang disembunyikan.

Permasalahan sebelum petang itu diakhiri dengan duduk di ruang keluarga. Fakta bahwa Lily hantu itu memang benar adanya. Saat dua keluarga itu sedang menyelesaikan masalah Ruri masuk rumah tanpa izin pun Lily berada di samping Ruri. Hanya saja tidak ada yang menyadari.

Setelah Maryam mengucapkan minta maaf yang sebesar-besarnya atas kelancangan Ruri masuk ke rumah keluarga itu, Maryam juga menjelaskan bahwa Ruri memang bisa melihat hantu sejak kecil, istilah ilmiahnya adalah indigo. Dan kemungkinan besar cerita tentang Lily dari mulut Ruri memang benar adanya.

“Orang tua mana yang tega menyembunyikan anaknya hanya karena dia spesial?” Sindir Ruri karena ia merasa kasihan dengan Lily.

Ibu si kembar, Arumi, terkejut mendengar sindiran Ruri. Akhirnya ia mulai bercerita untuk sekalian meminta maaf kepada Lily. Apa maksudnya?

Ternyata alasan Arumi sekeluarga pindah rumah karena ia merasa diganggu oleh mendiang anaknya, Lily. Selama itu pula Arumi dan Aryo diberikan kesadaran bahwa yang dilakukan mereka kepada Lily adalah salah.

Ketika Lily masih hidup memang mereka tidak menunjukkannya kepada orang lain, bahkan keluarga besarnya sekalipun. Mereka malu dan tidak ingin Lily menjadi bahan olokan anak seumurannya.

Alasan kedua masuk akal, alasan pertama adalah pemikiran orang yang tidak mempunyai akal nurani.

“Lalu mengapa Lily bilang bahwa dia menginginkan teman? Apakah dia kesepian selama hidupnya?” Tanya Ruri yang mengingat perkataan Lily kapan lalu.

Arumi mulai menangis. Aryo mukanya masih tegang entah memikirkan apa. Bisa jadi memikirkan dosa-dosanya yang pernah dilakukan kepada Lily.

“Lily sekarang masih sama kamu?” Tanya Arumi kepada Ruri yang dibalas anggukan.
“Bilang ke dia bahwa ibu dan ayahnya serta adik kembarnya ingin meminta maaf dengan tulus. Kami semua menyadari kesalahan kami karena tidak mengenalkannya pada dunia.”
“Tante, maaf. Bilang saja langsung kepada Lily. Dia ada di sebelah saya,” Ruri meminta agar Arumi minta maaf langsung kepada Lily. Ruri menatap Lily yang dibalas senyuman haru.

“Lily, maafkan Mamah, nak. Maafkan Mamah.. Andai waktu itu kamu nggak kami kurung saat ditinggal kerja, pasti kamu bisa teriak minta tolong ke tetangga saat terjadi kebakaran.” Pengakuan yang membuat Ruri serta Maryam terkejut. Lily meninggal karena kebakaran rumah dan posisi dia terkurung karena ditinggal kerja.

“Mamah mohon kamu berhenti ganggu keluargamu ini. Mamah mohon… Kamu berhak hidup bahagia di surga. Selesailah urusanmu di dunia. Mamah mohon kamu pergi dari sini. Kami sudah menyadari kesalahan kami jauh sebelum ini.”

Arumi meminta maaf hingga sesenggukan. Entah apa yang membuatnya sadar dan entah mengapa baru bisa sadar ketika orangnya sudah tidak ada.

Ruri baru menyadari bahwa Lily ternyata sudah menangis dari tadi.

Kemudian Aryo dan juga si kembar giliran minta maaf.

“Mah, Pah, sebenarnya Lily hanya butuh teman dan sa-yang kasih. Lily tidak meminta le-bih. Dan lily tidak menganggu kalian. Lily hanya butuh teman. Hanya itu saja. Terima kasih karena sudah minta maaf. Tapi Mamah, Papah, Gia, dan Gio sudah Lily maafkan jauh-jauh hari juga.

Lily sadar kok kalau keberadaan Lily justru membuat kalian malu.” Ucapan Lily kemudian disampaikan ulang oleh Ruri.

Maryam yang hanya menyimak dari tadi, hatinya ikut merasakan nyeri.

Belum sempat keluarga Lily membalas apa yang diucapkannya Lily melalui Ruri, tiba-tiba saja sosoknya hilang perlahan. Ruri panik.

“A-ku di sini hanya ditugaskan untuk keluargaku meminta maaf kepadaku, Ri. Meski me-reka su-dah aku sejak dulu maaf-kan. Terima kasih karena sudah mau membantuku mendapatkan maaf itu dan menjadi teman baikku selama hari beberapa ini.”

Setelah mengucapkan itu, Lily kemudian lenyap dari pandangan Ruri. Ruri menangis. Semua yang di ruangan itu menangis merasakan atmosfer yang sama. (tamat)

* Penulis: Aura Khairunnisa Tandan Wangi adalah nama aslinya, berusia 22 tahun. Mahasiswa angkatan 2021 di jurusan Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia (PBSI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Kini dalam proses menyelesaikan studi. Aura sering memakai nama Rigel AB sebagai nama penanya dan aktif menulis di Instragram dengan username @rigelab dan Medium dengan link rigelab.medium.com

Anak pertama dari empat bersaudara ini suka sekali menulis puisi, akan tetapi kini ia sedang menekuni belajar menulis cerpen secara mandiri, mengikuti kelas cerpen bersama Jejak Imaji, kemudian memilih mata kuliah yang berhubungan dengan menulis fiksi. Dalam karya cerpennya, Aura sangat mempertimbangkan narasinya agar enak dibaca dan terkesan indah. Hal tersebut tentunya dipengaruhi oleh kegemarannya membaca dan menulis puisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *