Alfedri-Husni Menggugat, MK Diprediksi Menolak

Mantan Ketua KPU Riau Ilham Muhammad Yasir. (Foto: Istimewa)

PEKANBARU, FOKUSRIAU.COM-Pasangan calon bupati dan wakil bupati petahana Alfedri-Husni menggugat putusan KPU Siak yang menetapkan pasangan nomor urut 2 Afni Z-Syamsurizal sebagai pemenang Pilkada serentak, 27 November lalu.

Saat ini, tim petahana tengah bersiap maju ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski sikap Alfedri-Husni menuai berbagai reaksi dan penolakan beberapa tokoh dan masyarakat yang mengharapkan semua calon menerima hasil pilkada dengan legowo.

Namun, harapan masyarakat tersebut tampaknya tak bisa terujud. Bahkan, saat ini masyarakat mulai dibuat bingung dan mulai terkotak kotak.

Ini merupakan dampak dari gugatan pasangan petahana ke MK terhadap hasil pleno penghitungan suara KPU tersebut.

Menyikapi hal ini, mantan Ketua KPU Riau Ilham Muhammad Yasir berpendapat, meski selisih suara antara paslon 02 sebagai pemenang dan paslon 03 sebagai petahana hanya 224 suara, namun hal itu bagi sang petahana tentu sangat berat.

Saat persidangan di MK nanti, menurut Ilham, petahana sebagai pemohon harus berjuang keras.

“Karena pemohon harus mendalilkan ada kekeliruan KPU Siak dalam menetapkan 02 sebagai peraih suara terbanyak. Pemohon juga harus bisa mendalilkan bahwa mereka yang seharusnya menjadi pemenang dengan memaparkan data valid,” ujar Ilham.

Kata Ilham, pemohon harus bisa membuktikan satu persatu gugatannya, dengan menghadirkan data di TPS-TPS nomor berapa fokus salahnya.

Dijelaskan, sengketa di MK biasanya terbagi menjadi beberapa jenis putusannya, yakni diterima, tidak diterima, dikabulkan (sebahagian atau keseluruhan) atau tidak dikabulkan.

“Analisis saya, peluang pemohon tidak dikabulkan seluruhnya. Karena pemohon akan kesulitan untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya. Karena tidak punya alat bukti yang didukung dengan saksi-saksi yang selaras,” ulas Ilham.

Dalam tulisannya berjudul ‘Menelaah Sengketa di MK’ yang dimuat di salah satu media lokal, Ilham menceritakan terobosan yang dilakukan MK, sejak pemilihan 2020. Ini pernah terjadi di Kota Banjarmasin, Boven Digoel dan Nabire serta beberapa daerah lain.

MK mengabaikan, ketentuan selisih ambang batas yang melebihi persyaratan minimal. Namun, di substansi pokok permohonan teridentifikasi ada proses yang dilanggar dan tidak sesuai ketentuan oleh termohon.

Di Kota Banjarmasin, putusannya sebagian dikabulkan dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS. Sedangkan, di Nabire terkait pencalonan.

Permohonannya dikabulkan seluruhnya. Di mana paslon peraih suara terbanyak didiskualifiasi sebagai paslon. Di seluruh TPS dilakukan pemungutan dan penghitungan suara ulang, tanpa mengikutkan paslon tersebut.

Dalam praktiknya, jika tidak terpenuhi selisih ambang batas, permohonan langsung tidak diterima, melalui putusan sela (dismissal). MK pun kerap dijuluki sebagai “mahkamah kalkulator”. Hanya fokus kepada hasil selisih angka-angka saja.

Sementara substansi permohonan diabaikan, dan pemohon kehilangan kesempatan untuk membuktikan di MK. Inilah yang oleh para pakar HTN menyebutnya, sebuah terobosan progresif MK. Meskipun, ambang batas ini masih sebagai syarat formil.

Ilham berharap melalui Pilkada Siak, bisa menghasilkan Bupati yang representatif pilihan dan kehendak masyarakat, serta bisa mewujudkan itu saat menjabat.

“Ketika sudah menjabat Bupati adalah untuk semua, tidak boleh terkelompok lagi antara yang mendukung dan tak mendukung. Terkhusus Siak, menjadi  percontohan bagi daerah-daerah yang lainnya,” harap Ilham. (bsh)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *