Oleh: Muhammad Pajri Zullian*
PELURU ditembakkan, GDP dideklarasikan, jet tempur dipertontonkan. Amerika memamerkan kekuatan udaranya, China membanggakan pertumbuhan ekonominya, Rusia menggedor dunia dengan misil-misilnya.
Di tengah pesta adu otot itu, ada satu negara yang memilih cara lebih sunyi namun jauh lebih memikat: bukan dengan tank, bukan dengan angka, tapi dengan nada.
Bukan lewat pangkalan militer, melainkan lewat panggung kecil dan mikrofon sederhana, mereka merebut hati dunia bukan lewat ancaman, tapi lewat nyanyian.
Smart power hari ini bukan soal unjuk gigi, tapi unjuk rasa, rasa yang lahir dari kecerdasan membaca, bukan dari jargon basi soal demokrasi atau diplomasi.
Yang kita butuhkan bukan lagi pengeras suara di forum dunia, melainkan nada-nada yang menyelinap pelan ke ruang hati lawan bicara.
Dan Indonesia, perlahan, mulai paham, membungkam dunia tidak selalu dengan debat, kadang cukup dengan satu lagu yang dinyanyikan di waktu yang tepat.
Lihatlah, Agung Suherman. Namanya mungkin belum menggemakan panggung besar, tapi langkah kecilnya memetik nada yang menggetarkan ruang diplomasi.
Jika smart power bisa berwujud manusia, maka salah satu wujudnya adalah Agung, asisten Pribadi Presiden Prabowo yang tak butuh podium tinggi atau pidato panjang, cukup sebaris lagu dalam bahasa negeri tujuan untuk menaklukkan rasa hormat. Tanpa teks. Tanpa skrip. Tanpa persiapan berlebihan.
Agung Suherman tidak membawa naskah pidato, tidak mengangkat bendera, tidak menggetarkan meja diplomasi.
Ia hanya berdiri tegap, lalu membuka suara. Ge Chang Zu Guo mengalir dari mulutnya, bulat dan dalam, memenuhi ruang yang dijaga ketat itu.
Xi Jinping dan Prabowo menyimak, dunia seakan menahan napas. Dalam keheningan yang membungkus momen itu, Indonesia berbicara lantang—bukan dengan desakan, bukan dengan gertakan, tetapi dengan harmoni yang menggetarkan jiwa.
Saat Presiden Erdogan berkunjung ke Indonesia, Agung kembali mengatur ritme diplomasi dengan caranya sendiri.
Ia membawakan Ceddin Deden, lagu patriotik Turki, dengan kefasihan dan penghayatan yang membuat waktu seolah berhenti. Bukan hanya tamu-tamu yang terpukau, Erdogan sendiri terseret dalam alunan itu, menggenggam mikrofon, bernyanyi, larut tanpa sekat protokol.
Siapa bilang diplomasi harus melulu berlangsung di ruang-ruang rapat berbau formalin, dingin, dan berjarak? Kadang, cukup sebuah lagu untuk menghapus garis antara “kita” dan “mereka”.
Dalam dunia yang kelelahan dengan retorika dan krisis, diplomasi berbasis rasa menjadi barang langka dan karenanya, justru semakin berharga.
Indonesia, lewat langkah sederhana Agung, sedang mengajarkan sesuatu yang kerap dilupakan para pemain geopolitik: bahwa sebelum dunia mau mendengar argumenmu, mereka harus lebih dulu mendengar suaramu.
Dan bukan sembarang suara: suara yang tulus, yang mengenal budaya lawan bicara, yang menunjukkan bahwa kita datang bukan untuk menggurui, melainkan untuk memahami.
Tentu, skeptikus akan mencibir, “Cuma nyanyi doang kok heboh.” Tapi mereka lupa: di dunia diplomasi, yang dihitung bukan volume suara, tapi kedalaman makna.
Lewat lagu dalam bahasa ibu negara sahabat, sebuah pesan tanpa kata melesat jauh lebih kuat dari pada seribu pidato, membelah batas diplomasi dan menyentuh hati mereka yang mendengarkan.
Ia adalah bentuk pengakuan budaya, simbol empati, dan komunikasi yang menembus diplomasi.
Negara mana yang mampu menahan serangan seperti ini, mendengar lagu kebangsaannya dilantunkan oleh orang asing. Sebab tidak ada negara yang tidak tersanjung saat mendengar bahasanya diucapkan, apalagi dinyanyikan.
Bahasa, terutama ketika disalurkan lewat seni, melucuti ketegangan, menghapus batas ideologi dan menciptakan kedekatan emosional yang mustahil dibangun lewat basa-basi.
Dan Agung Suherman membuktikan. Ia bukan diplomat berjas rapi, bukan penyanyi profesional yang akrab dengan gemerlap seni. Ia hanya membawa satu hal: keberanian sejati.
Dengan suara yang jujur dan jiwa yang murni, ia menyelipkan harmoni di dunia yang bising oleh ambisi dan iri hati.
Ia tidak berdiri dengan intimidasi, tidak berbicara dengan dominasi, dan tidak bernegosiasi dengan basa-basi. Ia menyapa dunia dengan ketulusan yang melucuti kesombongan, dan dengan nada yang menembus sekat-sekat perasaan, melampaui batas perbedaan.
Cina tunduk pada nada. Turki luluh dalam harmoni. Korea? India? Hanya soal waktu. Smart power tak mengenal batas negara. Ia lahir dalam simbol, mengalir dalam lagu, dan membungkam ego dengan penghormatan. Seringkali, satu lagu lebih ampuh daripada seribu pasal di atas meja.
Budaya kita kaya. Bahasa kita kuat. Tapi di panggung dunia, kita nyaris tak bersuara. Mungkin karena kita terlalu sibuk menghitung undangan, mengejar catatan, menghafal sambutan, hingga lupa, diplomasi sejati tidak lahir dari teks resmi.
Ia berdenyut dalam kejujuran, bersembunyi dalam keheningan, dan tumbuh dalam sapaan yang membangun kepercayaan tanpa paksaan. Dunia tidak butuh lebih banyak sambutan. Dunia hanya menunggu ketulusan.
Namun di tengah dunia yang makin gaduh, ketulusan itu makin sulit terdengar. Mungkin sudah waktunya kita berhenti bersuara terlalu gaduh, dan mulai bersenandung dengan lembut.
Karena kadang, suara yang paling menggetarkan… adalah suara yang tidak ingin mengalahkan. Mikrofon, ketika di tangan yang tepat, maka dunia akan selamat.
Coba bayangkan: kalau kamu yang diberi mikrofon di tengah forum dunia, suara apa yang akan keluar? Azan yang merdu? Atau lagu gereja masa kecilmu?
Atau… mikrofonmu baru disentuh, sudah disegel jutsu diam seribu kata ala negara Konoha. (*)
* Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir