Ketahanan Pangan, Air dan Energi: Pilar Masa Depan yang Harus Transparan

Musfi Yendra. (Foto: Istimewa)

Oleh : Musfi Yendra*)

Program pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka menempatkan ketahanan pangan, air, dan energi sebagai prioritas utama pembangunan lima tahun ke depan.

Hal ini bukan tanpa alasan. Indonesia adalah negara kepulauan dengan sumber daya alam melimpah, namun rentan terhadap krisis akibat perubahan iklim, geopolitik global, serta tata kelola yang belum sepenuhnya transparan.

Dalam konteks inilah keterbukaan informasi publik menjadi fondasi penting agar kebijakan negara di bidang pangan, air, dan energi berjalan efektif, partisipatif, serta mendapat dukungan masyarakat.

Pangan: Antara Kemandirian dan Tantangan Global

Salah satu fokus pemerintahan Prabowo–Gibran adalah mewujudkan kemandirian pangan. Produksi beras, jagung, kedelai, hingga daging sapi ditargetkan meningkat melalui program hilirisasi pertanian, teknologi pertanian modern, serta dukungan terhadap petani kecil.

Namun, tantangan besar menanti: lahan pertanian menyusut akibat alih fungsi, produktivitas belum optimal, dan ketergantungan impor masih tinggi.

Dalam konteks ini, keterbukaan informasi menjadi kunci. Data akurat mengenai produksi, stok, distribusi, hingga harga pangan harus tersedia untuk publik.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) memberikan dasar hukum agar masyarakat dapat mengakses informasi mengenai kebijakan pangan, termasuk transparansi dalam penentuan kuota impor dan penggunaan anggaran subsidi.

Dengan transparansi, publik dapat mengawasi agar tidak terjadi praktik rente dan monopoli dalam rantai distribusi pangan.

Air: Sumber Kehidupan yang Terancam

Air adalah sumber daya vital yang kini menghadapi ancaman serius. Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan kekeringan melanda berbagai daerah setiap tahun, sementara di sisi lain banjir masih menjadi bencana rutin.

Pemerintahan Prabowo–Gibran menekankan pentingnya kedaulatan air melalui pembangunan waduk, irigasi modern, dan program konservasi.

Namun, pengelolaan air di Indonesia seringkali menghadapi persoalan regulasi dan tata kelola. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 misalnya, menegaskan bahwa pengelolaan air tidak boleh diserahkan sepenuhnya pada swasta, karena air adalah hak publik.

Implementasi prinsip ini menuntut transparansi: bagaimana izin pengelolaan air diberikan, siapa yang menguasai sumber daya air di daerah tertentu, serta bagaimana distribusinya untuk kepentingan masyarakat.

UU KIP memberikan ruang bagi masyarakat untuk menuntut keterbukaan data terkait kualitas air, investasi pengelolaan, dan proyek infrastruktur. Tanpa transparansi, risiko penyalahgunaan wewenang hingga konflik perebutan sumber daya air akan semakin besar.

Energi: Jalan Menuju Kedaulatan Nasional

Indonesia memiliki cadangan energi fosil yang besar, namun ketergantungan pada impor BBM masih tinggi. Di sisi lain, energi terbarukan baru menyumbang porsi kecil dalam bauran energi nasional.

Pemerintahan Prabowo–Gibran menegaskan komitmen mempercepat transisi energi dengan mengembangkan bioenergi, panas bumi, tenaga surya, dan angin.

Tantangannya adalah bagaimana memastikan transisi energi berjalan adil, tidak membebani masyarakat, serta mendorong investasi yang sehat. Di sinilah keterbukaan informasi kembali penting.

Data mengenai kontrak eksplorasi migas, subsidi energi, hingga roadmap energi terbarukan harus tersedia dan mudah diakses publik. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi serta Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan energi.

Tanpa keterbukaan, risiko yang muncul adalah penyalahgunaan dana subsidi, ketidakjelasan proyek energi strategis, hingga maraknya oligopoli.

Transparansi memberi ruang bagi publik, akademisi, dan media untuk melakukan pengawasan kritis sehingga kebijakan energi benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.

Regulasi dan Sinergi Keterbukaan Informasi

UU KIP menjadi instrumen utama dalam memastikan keterbukaan. Selain itu, ada juga regulasi turunan seperti Peraturan Komisi Informasi (Perki) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik dan Perki Nomor 1 Tahun 2022 tentang Monitoring dan Evaluasi Keterbukaan Informasi Publik.

Regulasi-regulasi ini mengikat badan publik, termasuk kementerian dan lembaga yang mengurusi pangan, air, dan energi, untuk membuka data strategis yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.

Keterbukaan ini tidak hanya soal hak, tetapi juga soal membangun kepercayaan publik. Dengan transparansi, pemerintah dapat menunjukkan akuntabilitas dalam penggunaan APBN, terutama di sektor pangan, air, dan energi yang menghabiskan anggaran besar.

Tantangan Transparansi di Lapangan

Meski sudah ada payung hukum, praktik keterbukaan informasi di sektor pangan, air, dan energi masih menghadapi hambatan.

Pertama, budaya birokrasi yang cenderung tertutup. Kedua, masih adanya data yang tidak sinkron antar lembaga. Ketiga, minimnya literasi masyarakat untuk memanfaatkan informasi yang tersedia.

Inilah pekerjaan rumah pemerintahan Prabowo–Gibran: tidak cukup hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun ekosistem informasi yang transparan. Badan publik harus proaktif menyediakan data secara digital, mudah diakses, dan terintegrasi lintas sektor.

Selain itu, diperlukan edukasi publik agar masyarakat dapat menggunakan informasi tersebut untuk advokasi dan pengawasan kebijakan.

Pentingnya Transparansi bagi Masa Depan

Ketahanan pangan, air, dan energi adalah isu strategis yang menentukan masa depan Indonesia. Tanpa ketersediaan pangan, masyarakat rawan kelaparan. Tanpa air, kehidupan terganggu. Tanpa energi, perekonomian lumpuh.

Namun, semua itu hanya bisa diwujudkan jika tata kelola sektor-sektor tersebut dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.

Pemerintahan Prabowo–Gibran sudah meletakkan arah kebijakan yang tepat, tetapi implementasi di lapangan harus diawasi bersama. UU KIP dan regulasi terkait menjadi instrumen kontrol agar kebijakan benar-benar berpihak pada rakyat.

Dengan keterbukaan, peluang penyalahgunaan kekuasaan bisa ditekan, kepercayaan publik meningkat, dan partisipasi masyarakat semakin kuat.

Akhirnya, ketahanan pangan, air, dan energi bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur demokrasi berupa keterbukaan informasi.

Jika transparansi dijadikan landasan, Indonesia tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga melangkah lebih pasti menuju kedaulatan dan kesejahteraan. (*)

Ketua Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *