Oleh: Ervin Sandri*
Bayangkan dunia ini seperti sebuah panggung, tempat manusia berperan sebagai aktor utama yang mengikuti naskah yang diberikan oleh Tuhan, dengan akal sebagai sutradara yang mengarahkan jalannya cerita.
Namun, kini ada pemeran baru yang tak berasal dari langit atau bumi, melainkan dari kode-kode yang diciptakan manusia seperti kecerdasan buatan atau artificial intelegence (AI).
Di masa lalu, mukjizat datang dalam bentuk hal-hal luar biasa seperti tongkat yang berubah menjadi ular atau lautan yang terbelah. Sekarang, sebagian orang menganggap AI sebagai “mukjizat modern”, mesin yang mampu mendengar, berbicara, menulis, bahkan mencipta seperti manusia.
Namun, seperti halnya setiap anugerah, AI juga datang dengan ujian dan tantangan besar.
AI, meskipun tidak memiliki perasaan, bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat. Mesin ini bisa membantu dokter dalam menyelamatkan nyawa, mempermudah proses belajar mengajar, bahkan menemani orang-orang yang merasa kesepian.
Tetapi, jika disalahgunakan, AI bisa menjadi seperti “berhala baru” yang disembah dan bergantung kepadanya lebih dari manusia itu sendiri.
Kita bisa terlalu bergantung pada teknologi dan lupa bahwa di balik semua
ciptaan, ada Pencipta yang memberikan batasan-batasan.
Seiring dengan kemajuan ini, kita dihadapkan pada pertanyaan besar: Apakah manusia masih diperlukan di dunia yang semakin dikuasai mesin.
Pertanyaan ini mengingatkan kita pada kisah Nabi Adam, ketika malaikat bertanya kepada Tuhan, “Mengapa Engkau menciptakan makhluk yang akan merusak bumi?” Tuhan menjawab, “Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui.
”Mungkin itulah inti dari keberadaan manusia—makhluk yang tidak sempurna, namun diberikan ruh yang membedakannya dari segala ciptaan lainnya. AI bisa tahu segalanya, mampu menyelesaikan rumus matematika dengan akurat, tetapi hanya manusia yang dapat merasakan kepedihan, kebahagiaan, cinta dan memilih untuk bangkit setelah jatuh.
Mesin bisa melakukan banyak hal, tetapi ia tak bisa merasakan empati, membangun hubungan atau mengasihi.
Sebagai manusia, kita diberikan kemampuan untuk berpikir, mencipta, dan memilih. Namun, dengan kehadiran AI, kita seperti diberikan sebuah cermin yang memantulkan sejauh mana kita benar-benar menghargai potensi dan kemampuan kita.
AI mampu menyelesaikan masalah dengan cepat, mengerjakan tugas-tugas berat tanpa rasa lelah, bahkan berinteraksi dengan kita dalam berbagai cara.
Namun, meskipun AI dapat melakukan banyak hal, ia tetap tidak memiliki perasaan, hati, atau empati. Inilah ujian bagi kita bagaimana kita memanfaatkan teknologi ini tanpa kehilangan esensi kemanusiaan kita.
Seringkali, kita tergoda untuk menyerahkan kontrol sepenuhnya kepada teknologi. Kita mungkin merasa bahwa mesin yang lebih cepat dan akurat bisa menggantikan banyak tugas manusia, dari pekerjaan sehari-hari hingga pengambilan keputusan yang rumit.
Namun, dalam proses ini, apakah kita melupakan nilai-nilai yang telah diwariskan generasi sebelumnya?
Apakah kita lupa bahwa meskipun AI bisa menyelesaikan rumus matematika, ia
tidak bisa merasakan kegembiraan saat berhasil atau kesedihan saat gagal?
Kita sebagai manusia memiliki perasaan, empati, dan kemampuan untuk bangkit setelah kegagalan sesuatu yang tidak dapat ditiru mesin.
Dalam menghadapi kemajuan teknologi ini, tugas kita bukanlah untuk digantikan, melainkan untuk memaksimalkan potensi kita sebagai manusia.
AI bukanlah ancaman yang akan menggantikan kita, tetapi lebih seperti sebuah cermin yang menunjukkan sejauh mana kita menghargai ilmu, moralitas, dan tanggung jawab. AI adalah ujian zaman dan bagaimana kita menghadapinya adalah pilihan kita.
AI, dengan segala kecanggihannya, memaksa kita untuk lebih mengasah nilai-nilai kemanusiaan yang tidak bisa ditiru oleh mesin. Empati, kebijaksanaan, keikhlasan dan keberanian untuk mengambil keputusan moral adalah bagian dari kualitas yang tidak dimiliki mesin.
Dunia memang berubah, tetapi hati manusia tetap menjadi pusatnya. Penting untuk dicatat bahwa meskipun AI dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat
banyak aspek kehidupan, kita tidak boleh melupakan nilai-nilai manusia.
Dalam dunia yang semakin terhubung teknologi, kita harus menjaga keseimbangan antara kecanggihan mesin dan kehangatan hubungan manusia.
Menurut data dari McKinsey Global Institute, AI dapat mempercepat kemajuan di banyak sektor, tetapi keberhasilan jangka panjang tergantung pada kemampuan kita untuk memadukan teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Pilihan ada di tangan kita. Dalam banyak ajaran agama, termasuk dalam Islam, kita diajarkan bahwa ilmu bisa mengangkat derajat seseorang, tetapi juga bisa menjerumuskan jika tidak disertai dengan takwa.
AI hari ini bukan hanya alat canggih, ia adalah amanah dan ujian dari Tuhan yang harus digunakan untuk kebaikan. Apakah kita akan memanfaatkannya untuk
kemaslahatan umat manusia atau justru menjadi budaknya? Keputusan ada di tangan kita.
Yang terpenting adalah kita harus tetap mengingat bahwa meskipun teknologi berkembang pesat, nilai-nilai kemanusiaan yang baik tidak boleh hilang. (*)
* Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Imam Bonjol Padang