Kolom  

Potret Wajah Digital Masyarakat Indonesia

Dr. Sumartono Mulyodiharjo. (Foto: Istimewa)

Oleh : Dr. Sumartono Mulyodiharjo, S.Sos.,M.Si.,CPS.,CSES.,FRAEL*

DI era digital ini, eksistensi sering kali diukur dari seberapa aktif seseorang di media sosial. Kehidupan nyata tampak tergeser kehidupan virtual, di mana validasi datang dalam bentuk like, komentar dan share.

Setiap momen, mulai dari hal sepele hingga momen paling pribadi, seolah harus dipublikasikan untuk mendapat pengakuan dari khalayak.

Ironisnya, kebebasan ini sering kali berubah menjadi ajang perlombaan. Bukan hanya soal siapa yang lebih dulu mengunggah, tetapi juga siapa yang terlihat lebih sempurna, lebih bahagia dan lebih sukses.

Akibatnya, media sosial menjadi cermin palsu yang menampilkan apa yang ingin dilihat, bukan realitas sesungguhnya.

Kebiasaan ini juga memunculkan fenomena baru, hilangnya sensitivitas terhadap nilai-nilai sosial. Batas antara yang layak dan tidak layak dipublikasikan semakin kabur.

Kehidupan pribadi orang lain, konflik, atau bahkan kesedihan sering kali dijadikan konten tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Namun, di balik hiruk-pikuk ini, muncul pertanyaan mendasar, apakah kita benar-benar hidup untuk diri sendiri atau untuk konsumsi orang lain?

Ketika layar menjadi tempat pelarian, apakah kita sedang menghubungkan diri atau justru semakin terisolasi? Inilah tantangan besar masyarakat digital, bagaimana tetap manusiawi di tengah gempuran teknologi yang terus mengaburkan batas antara realitas dan ilusi.

Demi materi atau gengsi, meski harus menjual harga diri, publikasikan saja. Biarkan semua orang tahu bahwa batasan moral bisa dilanggar demi kepentingan pribadi.

Jika harga diri tak lagi menjadi ukuran, maka yang tersisa hanyalah ambisi yang buta. Publikasi bukan lagi tentang kebenaran, tetapi tentang bagaimana menampilkan citra yang diinginkan.

Di dunia yang penuh dengan ilusi ini, sering kali kejujuran kalah oleh keinginan untuk diakui. Gengsi menjadi kompas, sementara integritas menjadi korban.

Tapi sejauh mana harga diri bisa ditukar demi mendapatkan pengakuan? Apakah semua pencapaian masih layak dirayakan jika dibangun di atas pengkhianatan terhadap nilai-nilai diri sendiri?

Pada akhirnya, setiap tindakan akan menciptakan jejak. Publik mungkin lupa, tetapi hati dan waktu tidak pernah memaafkan. Karena sejatinya, harga diri adalah warisan paling berharga yang dimiliki seseorang –ketika materi dan gengsi telah memudar, hanya harga diri yang tetap bertahan.

Dalam potret wajah digital masyarakat, terdapat beberapa tipe masyarakat yang terbentuk berdasarkan cara mereka berinteraksi dengan teknologi dan media sosial.

Tipe-tipe ini mencerminkan pola perilaku, tujuan, serta dampak yang dihasilkan dari penggunaan dunia digital dalam kehidupan sehari-hari.

Pertama, ada masyarakat yang berperan sebagai content creator. Mereka secara aktif menghasilkan konten, baik itu berupa informasi, hiburan atau opini.

Kelompok ini sering kali memiliki tujuan tertentu, seperti membangun personal branding, mencari penghasilan, atau memperjuangkan isu-isu sosial. Namun, tidak jarang mereka juga terjebak dalam pola pencitraan yang berlebihan untuk menarik perhatian.

Kedua, muncul masyarakat konsumtif digital yang lebih banyak menjadi penonton. Mereka mengonsumsi informasi dan konten yang beredar tanpa terlalu banyak berkontribusi dalam bentuk komentar atau unggahan.

Kelompok ini lebih pasif, tetapi tetap memainkan peran penting sebagai audiens yang menjadi sasaran algoritma media sosial.

Ketiga, ada masyarakat yang tergolong aktivis digital. Mereka memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk menyuarakan opini, mendukung gerakan sosial, atau memobilisasi massa dalam isu-isu tertentu. Aktivitas mereka sering kali berdampak besar, baik secara positif maupun negatif, tergantung pada bagaimana mereka mengelola pengaruhnya.

Keempat, kelompok masyarakat yang dikenal sebagai digital escapist. Mereka menggunakan dunia digital sebagai pelarian dari realitas, baik melalui game, hiburan, atau aktivitas online lainnya. Bagi mereka, dunia maya menjadi tempat mencari kenyamanan atau melupakan tekanan kehidupan nyata.

Kelima, ada tipe masyarakat yang terjebak dalam fenomena oversharing. Mereka mengungkapkan hampir seluruh aspek kehidupan pribadi di media sosial, terkadang tanpa menyadari dampak negatifnya. Motivasi mereka bisa berupa kebutuhan akan perhatian, validasi, atau sekadar mengikuti tren.

Keenam, masyarakat kritikal digital yang lebih selektif dan sadar dalam menggunakan teknologi. Mereka memahami risiko, seperti privasi, misinformasi, dan dampak psikologis dari media sosial. Kelompok ini cenderung membangun keseimbangan antara dunia digital dan realitas.

Ketujuh, masyarakat anti-digital yang memilih untuk meminimalkan atau bahkan menolak penggunaan teknologi dan media sosial. Mereka sering kali merasa bahwa dunia digital tidak sejalan dengan nilai atau prioritas hidup mereka.

Tipe-tipe ini tidak bersifat mutlak, karena seseorang bisa berpindah-pindah antara kategori-kategori tersebut tergantung pada konteks dan fase kehidupannya.

Namun, pengelompokan ini memberikan gambaran komprehensif tentang bagaimana masyarakat beradaptasi dan berevolusi di tengah perkembangan teknologi digital.

Saat ini, di Indonesia mayoritas masyarakat cenderung berada dalam tipe konsumtif digital dan oversharing.

Fenomena ini dapat dilihat dari tingginya aktivitas konsumsi konten di berbagai platform media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook dan YouTube, di mana banyak orang menghabiskan waktu untuk menggulir, menonton dan memberikan reaksi terhadap konten-konten yang mereka temui.

Mereka cenderung menjadi audiens pasif yang mengikuti tren tanpa terlalu banyak menghasilkan konten sendiri atau memberikan kontribusi substansial.

Di sisi lain, fenomena oversharing juga sangat menonjol, di mana banyak orang secara rutin membagikan hampir semua aspek kehidupan pribadi mereka, mulai dari kegiatan sehari-hari hingga masalah yang sangat personal.

Hal ini didorong oleh budaya mencari validasi sosial, di mana jumlah like, komentar, atau share dianggap sebagai ukuran kesuksesan sosial seseorang di dunia digital.

Namun, selain dua tipe dominan tersebut, ada juga pertumbuhan signifikan masyarakat dalam kategori aktivis digital. Banyak individu dan kelompok di Indonesia mulai memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan pendapat, memperjuangkan isu-isu tertentu seperti lingkungan, hak asasi manusia, atau politik, serta memobilisasi dukungan publik untuk gerakan sosial.

Meskipun jumlah mereka masih relatif kecil dibandingkan kelompok lainnya, pengaruh mereka terus meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran digital.

Tipe digital escapist juga cukup banyak ditemukan, terutama di kalangan generasi muda yang menggunakan dunia maya sebagai sarana hiburan dan pelarian dari tekanan kehidupan nyata. Popularitas game online dan konten hiburan berbasis video mencerminkan kecenderungan ini.

Secara keseluruhan, pola perilaku masyarakat Indonesia di dunia digital dipengaruhi oleh akses yang semakin mudah terhadap teknologi, meningkatnya penetrasi internet serta budaya sosial yang cenderung mementingkan kebersamaan dan pengakuan. Hal ini membentuk wajah digital masyarakat yang sangat dinamis dan terus berkembang.

Berikut adalah data spesifik dan referensi langsung mengenai perilaku digital masyarakat Indonesia:

  1. Laporan “Digital 2024” oleh We Are Social dan Hootsuite
    – Pengguna Media Sosial Aktif, terdapat 167 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia, yang setara dengan 60,4% dari total populasi.

– Waktu Rata-rata Penggunaan Internet, pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata 7 jam 38 menit per hari untuk mengakses internet.

– Platform Media Sosial Populer :
– WhatsApp digunakan oleh 90,9% pengguna internet.
– Instagram digunakan oleh 85,3%.
– Facebook digunakan oleh 81,6%.
– TikTok digunakan oleh 73,5%.

  1. Survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika

– Indeks Literasi Digital, pada tahun 2022, Indeks Literasi Digital Indonesia berada pada skor 3,49, menunjukkan peningkatan dibanding tahun sebelumnya.

– Perilaku Akses Internet, masyarakat Indonesia umumnya mengakses internet melalui ponsel pintar, dengan aktivitas puncak pada pukul 7–10 pagi dan 7–9 malam.

  1. DataReportal “Digital 2024, Indonesia :

– Pengguna Internet, Indonesia memiliki 212,9 juta pengguna internet, yang merupakan 77% dari total populasi.

– Pengguna Facebook, jangkauan iklan Facebook di Indonesia setara dengan 42,2% dari total populasi, atau 53,6% dari populasi yang memenuhi syarat usia (13 tahun ke atas).

  1. Survei Katadata Insight Center mengenai Literasi Digital :

– Tantangan Literasi Digital, literasi rendah menjadi tantangan utama dengan persentase 60,2%, diikuti oleh sumber daya manusia sebesar 57,6%, dan ancaman siber sebesar 54,2%.

Data-data di atas memberikan gambaran komprehensif mengenai perilaku digital masyarakat Indonesia, termasuk tingkat adopsi media sosial, durasi penggunaan internet, platform populer, serta tantangan dalam literasi digital. Strategi agar pemanfaatan media sosial berdampak positif bagi kehidupan masyarakat meliputi:

– Mendorong konten edukatif dengan menyebarkan informasi yang relevan, akurat, dan ber-manfaat dalam bidang seperti pendidikan, kesehatan, atau pengembangan keterampilan.

– Membuat komunitas digital yang inklusif untuk mendukung diskusi dan kolaborasi dalam berbagai isu sosial, budaya, atau ekonomi.

– Menggunakan media sosial untuk promosi kegiatan lokal seperti UMKM, acara budaya, atau kampanye lingkungan guna meningkatkan kesadaran masyarakat.

– Mengedukasi masyarakat tentang literasi digital agar dapat mengenali informasi palsu serta menjaga etika dalam berinteraksi di platform digital.

– Mengintegrasikan media sosial dengan program pemberdayaan masyarakat, seperti pelatihan online atau peluang kerja yang diumumkan melalui platform tersebut.

– Memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi langsung antara pemerintah, lembaga, atau tokoh masyarakat dengan warganya, sehingga keluhan atau masukan dapat segera ditindaklanjuti.

– Membentuk narasi yang mempromosikan solidaritas, toleransi, dan kesadaran sosial untuk membangun komunitas yang lebih harmonis.

Pemerintah dapat menjadi pelopor utama dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan informasi, program, dan layanan publik secara efektif.

Lembaga pendidikan juga memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat, khususnya generasi muda, tentang literasi digital dan penggunaan media sosial secara bijak.

Komunitas lokal, organisasi non-pemerintah, dan tokoh masyarakat dapat mengambil inisiatif untuk menciptakan kampanye sosial dan membangun ruang diskusi yang sehat.

Selain itu, perusahaan teknologi dan platform media sosial perlu mendukung dengan menyediakan alat dan fitur yang mendorong penggunaan positif, seperti edukasi literasi digital, kontrol privasi yang kuat, dan pengurangan penyebaran konten negatif.

Pemerintah memiliki peran penting sebagai inisiator utama dalam memaksimalkan pemanfaatan media sosial untuk kepentingan masyarakat. Dengan mengintegrasikan media sosial ke dalam sistem pelayanan publik, pemerintah dapat memberikan informasi yang jelas, transparan dan mudah diakses mengenai kebijakan, program serta layanan yang bermanfaat.

Selain itu, pemerintah juga dapat mengadakan kampanye literasi digital untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menggunakan media sosial secara bijak dan bertanggung jawab.

Lembaga pendidikan, seperti sekolah dan universitas, dapat menjadi mitra strategis dalam upaya ini. Dengan menyisipkan literasi digital ke dalam kurikulum, lembaga pendidikan dapat membekali generasi muda dengan keterampilan untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat pembelajaran, kolaborasi, dan inovasi.

Mereka juga dapat menyelenggarakan seminar, lokakarya, atau diskusi yang melibatkan siswa, guru, dan orang tua untuk meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan risiko media sosial.

Komunitas lokal dan organisasi non-pemerintah (NGO) juga memiliki peran yang signifikan. Mereka dapat menciptakan ruang diskusi online yang sehat, mempromosikan kampanye sosial, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam isu-isu penting seperti lingkungan, kesehatan, atau pendidikan.

Tokoh masyarakat, seperti pemimpin adat, agama, atau figur publik, dapat memanfaatkan pengaruhnya untuk menyampaikan pesan-pesan positif dan inspiratif melalui media sosial, sehingga menjadi panutan bagi pengikutnya.

Perusahaan teknologi dan platform media sosial juga harus turut ambil bagian dengan menyediakan fitur-fitur yang mendukung penggunaan positif.

Mereka dapat bekerja sama dengan pemerintah dan organisasi untuk mengembangkan alat literasi digital, memperkuat kebijakan moderasi konten, dan menciptakan sistem yang mendorong distribusi informasi berkualitas.

Selain itu, perusahaan ini dapat menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang mendukung pelatihan keterampilan digital bagi masyarakat.

Kolaborasi antara semua pihak ini sangat penting untuk menciptakan ekosistem media sosial yang sehat dan berdampak positif bagi kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Untuk menjaga etika publikasi dan mencegah masyarakat tersangkut pada UU ITE, langkah terbaik adalah mengedukasi masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan etika bermedia sosial.

Masyarakat perlu memahami bahwa setiap informasi yang mereka bagikan atau komentar yang mereka tulis memiliki konsekuensi hukum dan sosial.

Kampanye literasi digital harus menekankan pentingnya memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya dan menghindari konten yang bersifat provokatif, berpotensi menimbulkan konflik, atau melanggar norma hukum.

Pemerintah dan lembaga terkait perlu menyediakan panduan praktis tentang apa yang diperbolehkan dan dilarang dalam publikasi di dunia maya, disertai contoh nyata kasus pelanggaran UU ITE.

Selain itu, diperlukan penguatan regulasi platform media sosial untuk memastikan moderasi yang efektif terhadap konten yang melanggar, seperti hoaks, ujaran kebencian, atau informasi menyesatkan.

Peran komunitas juga sangat penting. Masyarakat perlu dilibatkan dalam membangun budaya digital yang positif melalui kampanye bersama, pelatihan, atau diskusi terbuka tentang dampak negatif penyebaran informasi palsu.

Dukungan dari tokoh masyarakat, agama, dan komunitas profesional dapat memperkuat pesan-pesan moral tentang etika publikasi.

Kolaborasi dengan media arus utama juga dibutuhkan untuk menyediakan sumber informasi yang tepercaya. Media dapat berperan sebagai pihak yang membantu masyarakat memverifikasi informasi melalui program cek fakta atau edukasi tentang penyebaran berita palsu.

Dengan langkah-langkah ini, jagat maya dapat menjadi ruang yang lebih aman, etis, dan konstruktif, serta membantu masyarakat terhindar dari jeratan hukum yang tidak disengaja. (*)

* Dosen Komunikasi Publik Universitas Ekasakti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *