Kolom  

Rakyat di Ujung Lidah, Oligarki di Ujung Pena

Diska Afrilia. (Foto:: Dok. FokusRIau.Com)

Oleh: Diska Afrilia*

“DI negeri ini, semua kebijakan katanya untuk rakyat. Mungkin maksudnya rakyat yang punya tambang, karporasi, dan akses langsung ke istana”

Di negeri ini, kata “rakyat” adalah mantera paling mujarab dalam setiap panggung politik. Ia disebut dalam kampanyenya, dilafalkan dalam pidato, disematkan dalam setiap nama program, bahkan dijadikan dalih untuk menerbitkan kebijakan.

Tapi semakin sering kata itu diucapkan, semakin samar siapa yang sebenarnya dimaksud.

Rakyat mana yang dimaksud? Rakyat kecil yang antre minyak goreng? Atau “rakyat” versi elite yang duduk di lingkar kekuasaan dan punya saham tambang di dua provinsi?

Politik Indonesia telah lama mengalami krisis representasi. Demokrasi prosedural berjalan dengan ritme lima tahunan, pesta suara digelar, kandidat berlomba-lomba bersolek, dan rakyat diajak memilih dengan slogan manis.

Tapi setelah pemilu usai, suara rakyat tenggelam oleh dengungan pena-pena penguasa, yang lebih sering menulis untuk kepentingan mereka yang berkantong tebal. Rakyat tetap diujung lidah, tapi oligarki nyata-nyata duduk di ujung pena kekuasaan.

Lihat saja bagaimana kebijakan lahir dalam beberapa tahun terakhir. UU Cipta Kerja adalah salah satu contoh paling nyata bagaimana sebuah regulasi disusun dengan semangat investasi, bukan keberpihakan.

Disahkan dengan metode omnibus law yang dipertanyakan dari segi partisipasi public, undang-undang ini menguntungkan korporasi dengan mempermudah pemutusan hubungan kerja, menghapus Batasan outsourching, dan memperlemah perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Sementara buruh dan petani hanya diberi ruang dalam bentuk formalitas, tidak dalam pengambilan keputusan yang sejati.

Belum lagi proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang digeber dengan dalih pemerataan Pembangunan.

Faktanya, mega proyek tersebut didesain sebagai real estate elite, lengkap dengan investor asing, fasilitas premium, dan zona ekonomi eksklusif.

Padahal, Komnas HAM mencatat bahwa warga adat di wilayah Pembangunan IKN belum mendapatkan kejelasan hak atas tanah mereka. Ini bukan pemerataan, ini pemindahan kekuasaan dengan ornamen modernitas.

Oligarki di Indonesia bukan sekedar teori. Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2022, disebutkan bahwa 271 calon kepala daerah di Indonesia memiliki latar belakang sebagai pemilik atau pengurus Perusahaan.

Tak sedikit pula anggota legislatif yang memiliki relasi bisnis langsung dengan proyek-proyek pemerintah.

Maka tak heran jika kebijakan negara sering kali mengikuti logika korporasi: mencari untung sebesar-besarnya, dan menekan biaya semurah-murahnya. Dalam hal ini, biaya sosial dan politik ditanggung rakyat.

Bagaimana ini bisa terjadi? Jawabannya sangat sederhana. Partai politik tidak lagi menjadi alat perjuangan ideologis, tetapi kesadaran pragmatis menuju kekuasaan.

Dalam tubuh partai, suara terbanyak bukan berasal dari kader, tetapi dari penyandang dana. Mereka yang mampu menyuntik modal dalam jumlah besar bisa dengan mudah mencalonkan diri, menempati posisi strategis, dan akhirnya ikut menentukan arah kebijakan. Inilah demokrasi yang disandera modal.

Rakyat, dalam kontruksi semacam ini hanyalah angka statistik. Mereka dibutuhkan saat pemilu, digiring dengan janji dan sembako, lalu dilupakan saat kekuasaan sudah digenggam.

Ironisnya, Sebagian besar dari mereka pun mulai kehilangan harapan, bukan karena apatis, tapi karena suaranya tidak lagi punya daya ubah. Kepercayaan public terhadap DPR RI pun anjlok.

Menurut survey Indikator Politik Indonesia 2023, hanya 48% responden yang mengatakan percaya pada Lembaga legislative, sementara sisanya ragu atau tidak percaya sama sekali.

Namun, tidak semua rakyat tunduk diam. Masih ada api perlawanan yang menyala di jalanan. Di ruang-ruang diskusi, atau di media sosial.

Demonstrasi mahasiswa saat pengesahan UU Cipta Kerja, gelombang kritik terhadap revisi UU KPK, hingga gerakan petani dan masyarakat adat menolak penggusuran, semua adalah bukti bahwa nurani publik belum mati.

Meski kekuasaan mencoba meredamnya dengan stigma dan represi, suara rakyat tak bisa dibungkam sepenuhnya.

Pertanyaannya, sampai kapan kita biarkan pena negara terus menulis untuk segelintir orang? Sampai kapan kita terbuai oleh retorika pro-rakyat, sementara kebijakan justru menjauhkan rakyat dari keadilan?

Politik tak seharusnya menjadi arena transaksi elite. Ia adalah arena perjuangan nilai, kepentingan bersama, dan keberpihakan yang nyata. Jika rakyat hanya ditempatkan diujung lidah, tanpa benar-benar diperjuangkan dalam tindakan, maka demokrasi hanya tinggal nama, sebuah formalitas procedural yang hampa dari subtansi.

Sudah saatnya rakyat tidak hanya menjadi objek retorika, tetapi subjek utama dalam politik.

Kita harus menuntut kembali transparansi, partisipasi, dan keadilan dalam setiap kebijakan yang dibuat atas nama kita. Jika tidak, maka setiap keputusan yang diambil atas nama rakyat, sejatinya hanya mengukuhkan kekuasaan oligarki.

Dan mungkin, pada titik itu, kita harus bertanya : apakah yang kita Jalani ini benar-benar demokrasi atau hanya ilusi yang dibalut kata-kata manis? (*)

* Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *