Kolom  

Urgensi Penataan Ulang Sistem Transportasi

Mohammad Isa Gautama. (Foto: Dok. FokusSumbar.Com)

Oleh: Mohammad Isa Gautama*

MUSIBAH maut kembali mengguncang. Pada awal Mei 2025, tepatnya 6 Mei lalu, bus ALS (Antar Lintas Sumatera) mengalami rem blong di kawasan terminal Bukit Surungan. Sedikitnya 12 penumpang meninggal di tempat kejadian dan melukai belasan lainnya.

Tragedi ini bukan kecelakaan pertama di jalur yang sama. Dalam catatan Polri, sejak 2020 hingga awal 2024, setidaknya sudah terjadi lebih dari 15 kecelakaan serupa di titik-titik rawan rem blong di Sumatera Barat.

Kasus terbaru ini menjadi cermin retaknya sistem transportasi kita: dari aspek infrastruktur, pengawasan teknis, hingga tata kelola yang lemah.

Data dari Korlantas Polri menunjukkan bahwa sepanjang 2023, terjadi 140.000 kasus kecelakaan lalu lintas di Indonesia, dengan lebih dari 28.000 korban jiwa.

Dari jumlah itu, 21 persen disumbang kendaraan angkutan umum, termasuk bus antar kota dan antar provinsi.

Ironisnya, banyak dari kecelakaan tersebut terjadi karena penyebab klasik, yakni rem blong, kelelahan sopir dan kondisi kendaraan yang tak laik jalan.

Dalam kasus ALS Padang Panjang, investigasi awal mengindikasikan bahwa kendaraan minim pemeriksaan rem yang memadai.

Fenomena ini menandai urgensi penataan ulang sistem transportasi darat kita. Indonesia memang tengah membangun jaringan tol trans-Sumatera dan trans-Jawa, tapi pengawasan moda transportasi umum justru stagnan.

Bus-bus tua, dengan standar uji KIR yang longgar, masih berseliweran di jalur antar kota. Pengemudi kerap dipaksa bekerja di luar batas jam kerja ideal demi mengejar target perusahaan.

Ini menciptakan ekosistem transportasi yang tak hanya tidak aman, tapi juga abai terhadap hak-hak keselamatan publik.

Menyimai wawancara Pakar transportasi dari ITB, Prof. Tri Tjahjono dengan Kompas (2024) yang menyebut bahwa 80 persen kecelakaan rem blong di Indonesia terjadi karena kegagalan sistem pengereman yang dipakai di medan tanjakan panjang, seperti di Sitinjau Lauik.

Jalur ini sejatinya butuh fasilitas pelolosan darurat (emergency escape ramp), tetapi pengadaannya selalu tersendat di meja birokrasi.

Penataan ulang sistem transportasi bukan semata soal infrastruktur. Ini soal perombakan menyeluruh atas tata kelola dan regulasi. Ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan.

Pertama, uji KIR harus direformasi. Standar kelaikan kendaraan angkutan umum wajib dinaikkan, dengan audit acak di lapangan, bukan sekadar formalitas di atas kertas.

Kedua, jam kerja sopir harus diatur secara ketat dengan sistem digital yang diawasi Kementerian Perhubungan. Negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman sudah menerapkan digital tachograph, alat yang merekam jam kerja sopir secara otomatis, mengurangi risiko kecelakaan akibat kelelahan.

Ketiga, jalur-jalur rawan seperti Sitinjau Lauik harus dibekali fasilitas keselamatan kelas dunia. Jika Malaysia bisa membangun escape ramp di Genting Highlands dan Jepang di Hakone, maka Indonesia juga bisa.

Pemerintah daerah Sumatera Barat bersama Kemenhub harus menjadikan tragedi ALS ini sebagai momentum untuk segera membangun jalur penyelamat yang memadai.

Yang tak kalah penting adalah reformasi mental di kalangan pengusaha angkutan umum. Tak boleh lagi ada kompromi soal keselamatan demi keuntungan semata.

Korban jiwa di Padang Panjang bukan angka statistik; mereka adalah warga yang kehilangan masa depan karena kelalaian sistemik.

Dalam hal ini, pemerintah pusat juga harus berani memberi sanksi tegas kepada perusahaan angkutan yang lalai. Izin trayek harus bisa dicabut jika terbukti abai.

Perbandingan dengan negara-negara maju menunjukkan betapa jauh tertinggalnya sistem transportasi publik kita dalam hal keselamatan.

Data dari OECD menyebut, tingkat fatalitas kecelakaan bus di Indonesia adalah 6,2 per 100 juta km perjalanan, jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 1,1.

Jepang misalnya, berhasil menurunkan angka kecelakaan bus ke level terendah dalam 20 tahun terakhir dengan pendekatan regulasi ketat, teknologi pengereman modern, dan pendidikan berkala kepada sopir.

Di sisi lain, publik juga harus dididik untuk menjadi pengguna jasa yang kritis. Penumpang harus berani menuntut kendaraan yang laik jalan, sopir yang segar dan jalur yang aman.

Kampanye keselamatan transportasi harus digalakkan di media, di terminal, dan di sekolah-sekolah. Jangan biarkan budaya permisif terhadap kendaraan tua dan sopir kelelahan terus berlanjut.

Solusi lain yang layak dipertimbangkan adalah revitalisasi transportasi massal berbasis rel di Sumatera, yang lebih aman dan minim risiko rem blong di jalur tanjakan.

Jepang dan Eropa telah membuktikan bahwa transportasi massal berbasis rel adalah jawaban atas persoalan keselamatan di medan berat.

Selanjutnya, kita juga tak bisa mengabaikan peran teknologi. Pemerintah harus mulai menginsentif penggunaan sistem pengereman tambahan seperti retarder dan exhaust brake yang wajib dipasang di bus yang melintasi jalur ekstrem.

GPS tracking dan sistem pemantauan kondisi kendaraan secara real time harus menjadi standar baru bagi armada angkutan umum.

Tragedi ALS Padang Panjang adalah alarm keras yang tak boleh kita abaikan. Setiap kali berita kecelakaan muncul, publik marah sesaat, lalu lupa. Pola ini harus diputus. Peristiwa ini harus jadi pemicu reformasi menyeluruh.

Akhirul kalam, keselamatan di jalan raya adalah hak setiap warga negara, bukan kemewahan. Kita tak boleh lagi mengorbankan nyawa rakyat karena kegagalan sistemik yang bisa dicegah.

Maka, saatnya negara hadir secara penuh: mereformasi, menindak, membangun, dan melindungi warganya. Padang Panjang telah bersuara dengan darah; kini giliran kita bertindak dengan akal sehat. (*)

* Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi dan Kepala Pusat Kajian Gerakan Bersama Antikorupsi (PK Gebrak) Universitas Negeri Padang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *